Kamis, 25 Desember 2008

Dunia Ketiga Harus Bersatu Atau Mati

Dunia Ketiga Harus Bersatu Atau Mati
Minggu, 07 Desember 2008

Fidel Castro

Pengelompokan negeri-negeri dunia ketiga di Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah Kelompok-77 (G77), yang dibentuk tahun 1964 dan kini berjumlah 133 negeri. Pada pertengahan April tahun 2000, bangsa-bangsa yang mewakili mayoritas rakyat sedunia ini bertemu di Havana, Kuba, dan mengeluarkan proklamasi yang sangat kritis terhadap kebijakan Bank Dunia (WB) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Pidato berikut oleh Presiden Kuba saat itu Fidel Castro disambut dengan tepukan tangan yang menggeluruh pada saat KTT G77, tapi pers di AS tidak meliput pidato Castro maupun kritik lainnya yang berasal dari G77.

Belum pernah umat manusia memiliki potensi ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian hebatnya dengan kapasitas yang luar biasa untuk menghasilkan kekayaan dan kesejahteraan, namun belum pernah pula terdapat kesenjangan dan ketaksetaraan yang begitu mendalam di dunia.

Keajaiban teknologi yang telah menyusutkan planet ini dalam hal komunikasi dan jarak, kini hadir bersamaan dengan jurang yang semakin lebar memisahkan kekayaan dan kemiskinan, pembangunan dan ketertinggalan.

Globalisasi adalah realitas obyektif yang menggarisbawahi kenyataan bahwa kita semua adalah penumpang dalam kapal yang sama - planet ini di mana kita semua bertempat tinggal. Tapi penumpang kapal ini melakukan perjalanan dalam kondisi yang sangat berbeda.

Sejumlah kecil minoritas melakukan perjalanan dalam kabin mewah yang dilengkapi dengan internet, telepon seluler dan akses terhadap jaringan komunikasi global. Mereka menikmati makanan yang bergizi, berlimpah dan seimbang berikut persediaan air bersih. Mereka memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang canggih dan seni budaya.

Sejumlah besar mayoritas yang menderita melakukan perjalanan dalam keadaan yang menyerupai perdagangan budak yang menakutkan dari Afrika ke Amerika dalam masa kolonial kami yang lalu. Jadi, 85 persen penumpang kapal ini disesakan ke dalam lambung kapal yang kotor, menderita kelaparan, penyakit, dan tak mendapat pertolongan.

Tentunya, kapal ini mengangkut terlalu banyak ketidak-adilan sehingga tidak akan terus mengapung, mengejar rute yang begitu tak rasional dan tak masuk akal sehingga tidak akan selamat sampai di pelabuhan. Kapal ini tampak ditakdirkan untuk karam menabrak bongkah es. Bila itu terjadi, kita semua akan tenggelam di dalamnya.

Para kepala negara dan pemerintahan yang bertemu di sini, yang mewakili mayoritas besar manusia yang mengalami penderitaan, tidak saja berhak tapi juga berkewajiban mengambil kepemimpinan dan mengoreksi arah perjalanan yang menuju bencana. Adalah tugas kita untuk mengambil tempat kita yang selayaknya sebagai pemimpin kapal dan menjamin bahwa semua penumpang dapat melakukan perjalanan dalam kondisi solidaritas, setara dan adil.

Dogma Pasar Bebas

Selama dua dekade, Negeri Dunia Ketiga telah berulangkali mendengarkan diskursus tunggal yang simplistik, sementara hanya terdapat satu kebijakan tunggal. Kita telah diberitahu bahwa pasar yang terderegulasi, privatisasi maksimum dan penarikan-diri negara dari aktivitas ekonomi merupakan prinsip-prinsip terampuh yang kondusif terhadap pembangunan ekonomi dan sosial.

Dalam dua dekade terakhir, segaris dengan ini, negeri-negeri maju, terutama Amerika Serikat, perusahaan transnasional besar yang diuntungkan oleh kebijakan di atas dan Dana Moneter Internasional (IMF) telah merancang tatanan ekonomi dunia yang paling merugikan kemajuan negeri-negeri kita dan paling tidak berkesinambungan dalam melindungi masyarakat dan lingkungan hidup.

Globalisasi telah dicengkram erat oleh pola-pola neoliberalisme; maka, bukanlah pembangunan yang menjadi global melainkan kemiskinan; bukanlah saling menghormati kedaulatan nasional negara-negara kita tapi pelanggaran sikap saling menghormati tersebut; bukannya solidaritas antara rakyat tapi sauve-qui-peut [masing-masing orang memikirkan dirinya sendiri] dalam kompetisi tak adil yang berlangsung di pasar.

Dua dekade dari apa yang disebut dengan penyesuaian struktural neoliberal telah memberikan kita kegagalan ekonomi dan bencana sosial. Adalah tugas para politikus yang bertanggung-jawab untuk menghadapi situasi yang menyulitkan ini dengan mengambil keputusan yang tak dapat dihindarkan dan kondusif untuk menyelamatkan Dunia Ketiga dari gang buntu.

Kegagalan ekonomi sudah terbukti. Di bawah kebijakan neoliberal, ekonomi dunia mengalami pertumbuhan global antara 1975 dan 1998 yang besarnya tidak mencapai setengah tingkat pertumbuhan yang diraih antara tahun 1945 dan 1975 dengan kebijakan regulasi pasar Keynesian dan partisipasi aktif negara dalam ekonomi.

Di Amerika Latin, di mana neoliberalisme diterapkan dengan ketat menurut doktrinnya, pertumbuhan ekonomi dalam tahap neoliberal lebih rendah daripada yang dicapai dalam kebijakan pembangunan negara sebelumnya. Setelah Perang Dunia II, Amerika Latin tidak memiliki utang tapi sekarang kita berutang sebesar hampir $1 trilyun. Inilah jumlah utang per kapita terbesar di dunia. Kesenjangan pendapatan antara miskin dan kaya di wilayah ini adalah yang terbesar di dunia. Terdapat lebih banyak rakyat miskin, menganggur, dan lapar di Amerika Latin pada saat ini dibandingkan pada saat mana pun dalam sejarahnya.

Di bawah neoliberalisme, ekonomi dunia tidaklah berkembang lebih cepat dalam hal-hal yang riil; justru terjadi lebih banyak ketakstabilan, spekulasi, utang luar negeri dan pertukaran yang tidak adil. Begitu juga, terdapat kecenderungan lebih besar bagi lebih sering terjadinya krisis finansial, sementara kemiskinan, ketaksamaan dan jurang antara negeri Utara yang kaya dan negeri Selatan yang jadi korban penjarahan terus melebar.

Krisis, ketakstabilan, gejolak dan ketakpastian merupakan kata-kata yang paling umum digunakan dalam dua tahun terakhir untuk menggambarkan tatanan ekonomi dunia.

Deregulasi yang menyertai neoliberalisme dan liberalisasi rekening kapital memberikan dampak negatif yang mendalam terhadap ekonomi dunia di mana berkembang subur spekulasi mata-uang asing dan pasar derivativ; sementara transaksi harian yang kebanyakan spekulatif, besarnya tak kurang dari 3 trilyun dolar AS.

Negeri-negeri kita dituntut untuk lebih transparan dalam informasi dan lebih efektif dalam pengawasan bank tapi institusi finansial seperti hedge funds tidak perlu membuka informasi tentang aktivitasnya, dan sepenuhnya tak teregulasi dan menjalankan operasi yang melebihi semua cadangan devisa yang dimiliki oleh negeri-negeri Selatan.

Dalam atmosfir spekulasi yang tak terkendali, pergerakan kapital jangka-pendek membuat negeri-negeri Selatan rentan terhadap ancaman di masa depan. Dunia Ketiga dipaksa untuk menahan sumber daya finansialnya dan semakin banyak berhutang untuk mempertahankan cadangan devisa mata uang asing dengan harapan dapat digunakan untuk bertahan dari serangan spekulator. Sebesar 20% pemasukan kapital dalam beberapa tahun belakangan ditahan sebagai cadangan devisa tapi mereka tidak cukup untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan tersebut sebagaimana dibuktikan dalam krisis finansial baru-baru ini di Asia Tenggara.

Saat ini, cadangan devisa Bank-bank Sentral di dunia sebesar 727 milyar dolar AS berada di Amerika Serikat. Ini menciptakan paradoks bahwa dengan cadangan devisanya, negeri-negeri miskin memberikan pendanaan murah berjangka-panjang kepada negeri terkaya dan terkuat di dunia, padahal cadangan devisa tersebut dapat diinvestasikan dalam pembangunan ekonomi dan sosial.

Tuntut Pembubaran IMF

Bila Kuba berhasil menjalankan pendidikan, layanan kesehatan, budaya, ilmu pengetahuan, olah-raga dan program-program lainnya dengan sukses, yang mana hal ini tidak lagi dipertanyakan oleh dunia, meskipun selama empat dekade diblokade ekonomi, dan melakukan revaluasi mata uangnya terhadap dolar AS sebanyak tujuh kali dalam lima tahun terakhir, itu berkat posisi istimewanya sebagai non-anggota Dana Moneter Internasional (IMF).

Suatu sistem finansial yang dengan paksa menahan mobilisasi sumber daya yang demikian besar, yang amat dibutuhkan oleh negeri-negeri itu untuk melindungi diri dari ketakstabilan yang diakibatkan oleh sistem tersebut, yang menyebabkan rakyat miskin mendanai kaum kaya - itu harus dihapuskan.

Dana Moneter Internasional adalah organisasi yang melambangkan sistem moneter saat ini dan Amerika Serikat menikmati hak veto terhadap segala keputusannya. Terkait krisis finansial terakhir, IMF menunjukkan ketidakmampuan dalam membayangkan apa yang akan terjadi dan telah menangani situasi dengan ceroboh. Ia menerapkan klausa persyaratan yang melumpuhkan kebijakan pembangunan sosial pemerintah sehingga menciptakan bencana domestik yang serius dan menghalangi akses terhadap sumber daya yang penting justru ketika mereka sedang paling dibutuhkan.

Sudah saatnya negeri-negeri Dunia Ketiga menuntut keras pembubaran institusi yang tidak memberikan stabilitas kepada ekonomi dunia maupun berfungsi memberikan dana pencegahan kepada peminjamnya untuk menghindari krisis likuiditas; sebaliknya, ia justru melindungi dan menolong para pemberi pinjaman.

Di manakah letak kerasionalan dan etika dari suatu tatanan moneter internasional yang memungkinkan segelintir teknokrat, yang posisinya bergantung pada dukungan Amerika, untuk merancang di Washington program-program ekonomi yang identik untuk diterapkan ke dalam beragam negeri untuk menghadapi problem-problem spesifik Dunia Ketiga?

Siapa yang bertanggung-jawab ketika program-program penyesuaian menghadirkan kekacauan sosial, sehingga melumpuhkan dan mendestabilisasi bangsa-bangsa yang memiliki sumber daya manusia dan alam yang besar, seperti kasus Indonesia dan Ekuador?

Adalah suatu keharusan yang krusial bagi negeri-negeri Dunia Ketiga untuk mengupayakan pembubaran institusi sinister tersebut, dan filosofi yang dipertahankannya, untuk digantikan dengan badan regulasi finansial internasional yang akan beroperasi atas landasan demokratik di mana tak satu pun memilik kekuasaan veto; sebuah institusi yang tak hanya mempertahankan para kreditor kaya dan menerapkan syarat-syarat yang mengintervensi, tapi akan memungkinkan penerapan regulasi pasar finansial untuk menghentikan spekulasi liar.

Cara yang mungkin untuk ini adalah menerapkan - bukannya pajak sebesar 0,1 persen terhadap transaksi finansial spekulatif sebagaimana diusulkan dengan brilian oleh Mr Tobin - tapi pajak sebesar minimum 1 persen yang akan memungkinkan pembentukan dana yang besar, yang melebihi $1 trilyun pertahunnya untuk menggalakkan pembangunan yang berkelanjutan dan komprehensif di Dunia Ketiga.

Utang Dunia Ketiga Sudah Dilunasi

Utang-utang luar negeri dari negeri kurang berkembang telah melebihi $2,5 trilyun dan dalam tahun 1990an itu telah bertambah dengan lebih berbahaya dibandingkan tahun 1970an. Sebagian besar dari utang baru tersebut dapat dengan mudah berpindah tangan dalam pasar sekunder; ia saat ini lebih tersebar luas dan lebih susah untuk dijadwal ulang.

Sebagaimana telah kami katakan sejak 1985: Utang tersebut sudah dilunasi, bila kita memperhatikan cara pembayarannya, peningkatan yang cepat dan semena-mena terhadap tingkat suku bunganya dalam dolar AS pada tahun 1980an dan penurunan harga komoditas dasar - suatu sumber pendapatan fundamental bagi negeri-negeri berkembang. Utang tersebut terus memakan dirinya sendiri dalam suatu lingkaran setan di mana uang dipinjam untuk membayar bunga dari utang lama.

Saat ini, terlihat lebih jelas bahwa utang bukanlah persoalan ekonomi tapi politik, oleh karena itu, ia membutuhkan solusi politik. Tidaklah mungkin menutup mata dari kenyataan bahwa solusi terhadap problem ini harus berasal dari mereka yang memiliki sumber daya dan kekuasaan, yakni, negeri-negeri kaya.

Inisiatif Pengurangan Utang Negeri-negeri Miskin (Heavily Indebted Poor Countries Debt Reduction Initiative - HIPC) menunjukkan nama yang besar tapi hasil yang kecil. Ia hanya dapat digambarkan sebagai upaya konyol untuk menghapus 8,3 persen total utang negeri-negeri Selatan. Hampir empat tahun setelah penerapannya hanya empat di antara tiga-puluh-tiga negeri termiskin telah menyusuri proses yang rumit hanya untuk menghapus angka yang tak seberapa sebesar $2,7 milyar, yakni sepertiga dari jumlah uang yang dibelanjakan Amerika Serikat untuk kosmetik tiap tahunnya.

Saat ini, utang luar negeri adalah rintangan terbesar bagi pembangunan dan bom waktu yang siap meledakkan fondasi ekonomi dunia saat krisis ekonomi.

Sumber daya yang dibutuhkan sebagai solusi yang mengarah pada akar permasalahan ini tidaklah besar bila dibandingkan dengan kekayaan dan pembelanjaan negeri-negeri kreditor. Tiap tahun $800 milyar digunakan untuk membiayai persenjataan dan pasukan, bahkan setelah usai Perang Dingin, sementara tak kurang dari $400 milyar dihabiskan untuk narkotika, dan milyaran lainnya untuk publisitas komersial yang menciptakan alienasi yang sebanding dengan narkotika.

Sebagaimana telah kami katakan sebelumnya, pada kenyataannya, utang luar negeri Dunia Ketiga adalah tak dapat dibayarkan dan tak dapat dipungut.

Perdagangan Dunia

Di tangan negeri-negeri kaya, perdagangan dunia adalah alat dominasi. Di bawah globalisasi neoliberal, perdagangan telah memelihara ketimpangan dan menjadi ruang penyelesaian sengketa antara negeri-negeri maju dalam upaya mereka mengontrol pasar pada saat ini maupun masa depan.

Diskursus neoliberal menyarankan liberalisasi komersial sebagai formula terbaik dan satu-satunya bagi efisiensi dan perkembangan. Sementara neoliberalisme terus menerus mengulangi diskursusnya tentang peluang yang diciptakan oleh pembukaan perdagangan, partisipasi negeri-negeri miskin dalam ekspor dunia menurun pada tahun 1998 dibandingkan tahun 1953. Brasil dengan area 3,2 juta mil persegi, penduduk sebesar 168 juta dan nilai ekspor sebesar $51,1 milyar pada 1998, ekspornya lebih sedikit dibandingkan Belanda yang berarea 12.978 mil persegi, dengan populasi 15,7 juta dan nilai ekspor sebesar $198,7 pada tahun yang sama.

Liberalisasi perdagangan pada intinya terdiri atas penyingkiran instrumen proteksi negeri-negeri Selatan secara sepihak (unilateral). Sementara, negeri-negeri berkembang tidak bisa melakukan hal yang serupa untuk membolehkan ekspor-ekspor Dunia Ketiga memasuki pasar mereka.

Bangsa-bangsa yang kaya telah membangun liberalisasi dalam sektor-sektor strategis yang diasosiasikan dengan teknologi maju - jasa, teknologi informasi, bioteknologi, dan telekomunikasi - di mana mereka menikmati keuntungan besar yang semakin meningkat dengan deregulasi pasar.

Di sisi lain, pertanian dan tekstil, dua sektor yang secara khusus signifikan bagi negeri-negeri kita, tidak mampu menyingkirkan rintangan yang telah disetujui dalam Putaran Uruguay karena ini bukanlah kepentingan negeri-negeri maju.

Dalam OECD [Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi], kelompok negeri-negeri terkaya, tarif rata-rata yang diterapkan pada ekspor manufaktur dari negeri-negeri kurang berkembang adalah empat kali lebih tinggi daripada yang diterapkan pada negeri anggota kelompok tersebut. Tembok penghalang antara tarif dan non-tarif sesungguhnya telah ditegakkan untuk menyingkirkan produk-produk negeri Selatan.

Komoditas dasar tetaplah rantai terlemah perdagangan dunia. Bagi 67 negeri Selatan, komoditas semacam itu berjumlah setidaknya lima puluh persen pendapatan ekspornya. Gelombang neoliberal telah menyapu skema pertahanan yang termuat dalam panduan (terms of reference) komoditas dasar. Diktum supremasi pasar tak dapat mentolerasi distorsi apa pun, dengan demikian Kesepakatan Komoditas Dasar (Basic Commodities Agreements) dan formula lainnya yang membahas ketimpangan pertukaran (unequal exchange) ditinggalkan begitu saja. Atas alasan inilah maka kini daya beli komoditas seperti gula, kokoa, kopi dan lainnya hanya dua puluh persen dari angka sebelumnya pada 1960; akibatnya, pendapatan penjualan bahkan tidak menutupi biaya produksi.

Perlakuan khusus dan berbeda bagi negeri-negeri miskin telah dipandang sebagai, bukannya tindakan adil dan kebutuhan yang tak dapat diabaikan, melainkan tindakan kemurahan hati yang hanya sementara. Sesungguhnya, perlakuan berbeda bagi negeri-negeri miskin bukan saja merupakan pengakuan terhadap perbedaan besar dalam perkembangan tiap negeri, sehingga mencegah digunakannya penggaris yang sama bagi negeri kaya dan miskin, tapi juga menyadari masa lalu kolonial yang menuntut kompensasi.

Signifikansi Perlawanan di Seattle

Kegagalan pertemuan WTO di Seattle menunjukkan bahwa kebijakan neoliberal menciptakan oposisi yang semakin intensif di antara semakin banyak rakyat, baik di negeri Selatan dan Utara. Amerika Serikat mempresentasikan Putaran Negosiasi Perdagangan yang seharusnya dimulai di Seattle sebagai langkah liberalisasi perdagangan yang lebih maju, padahal negeri itu masih memberlakukan Akta Perdagangan Asing-nya sendiri yang agresif dan diskriminatif. Akta tersebut menyertakan peraturan seperti "Super 301", sebuah pertunjukkan diskriminasi dan ancaman yang sesungguhnya dalam menerapkan sangsi bagi negeri-negeri lainnya atas alasan yang berkisar dari asumsi bahwa suatu negeri menerapkan rintangan untuk menolak produk-produk Amerika, hingga penilaian yang sewenang-wenang dan sering kali sinis oleh pemerintah AS terkait situasi hak asasi manusia di negeri-negeri lainnya.

Di Seattle, terjadi perlawanan terhadap neoliberalisme. Preseden terkininya adalah penolakan terhadap penerapan Multilateral Agreement on Investments (MAI). Ini menunjukkan bahwa fundamentalisme pasar yang agresif, yang telah mengakibatkan kerusakan besar terhadap negeri-negeri kami, menghadapi penolakan sedunia yang keras dan sudah sepantasnya.

Jurang Teknologi

Dalam sebuah ekonomi global di mana pengetahuan adalah kunci bagi pembangunan, jurang teknologi antara Utara dan Selatan cenderung melebar dengan meningkatnya privatisasi penelitian ilmiah dan hasil-hasilnya.

Negeri-negeri maju di mana berdiam lima belas persen penduduk dunia, pada saat ini mengonsentrasikan delapanpuluh-delapan persen pengguna Internet. Terdapat lebih banyak komputer di Amerika Serikat dibandingkan dengan gabungan seluruh jumlah komputer di negeri lainnya di dunia. Negeri-negeri kaya mengontrol sembilanpuluh-tujuh persen hak paten secara global dan menerima lebih dari sembilan-puluh persen hak lisensi internasional, sementara bagi banyak negeri-negeri Selatan penerapan hak milik intelektual tidaklah eksis.

Dalam riset swasta, elemen lukratif (keuntungan besar) mendahului pertimbangan kebutuhan; hak milik intelektual menjadikan pengetahuan berada di luar jangkauan negeri-negeri kurang berkembang, dan legislasi tentang hak paten tidak mengakui transfer pengetahuan atau pun sistem kepemilikan tradisional yang begitu penting di Selatan. Penelitian oleh swasta berfokus pada kebutuhan konsumen yang kaya.

Vaksin telah menjadi teknologi yang paling efisien untuk mempertahankan pembelanjaan kesehatan yang rendah karena dapat mencegah penyakit dengan hanya menggunakan satu dosis. Walau begitu, karena itu memberikan profit yang rendah, vaksin dikesampingkan untuk mengutamakan pengobatan yang membutuhkan dosis berulang kali dan memberikan keuntungan finansial yang lebih tinggi.

Pengobatan baru, bibit terbaik, dan, pada umumnya, teknologi terbaik telah menjadi komoditas yang harganya hanya dapat dijangkau oleh negeri-negeri kaya.

Akibat sosial yang suram dari perlombaan neoliberal menuju bencana ini sudah ada di depan mata. Dalam seratus negeri, pendapat perkapita lebih rendah dibandingkan lima belas tahun lalu. Pada saat ini, 1,6 milyar orang bernasib lebih buruk dibandingkan pada awal 1980an.

Lebih dari 820 juta orang kekurangan gizi dan 790 juta di antaranya hidup di Dunia Ketiga. Diperkirakan 507 milyar orang yang hidup di Selatan saat ini tidak akan menyaksikan ulang-tahunnya yang ke-40.

Dalam negeri-negeri Dunia Ketiga yang terwakili di sini, dua dari lima anak menderita hambatan pertumbuhan dan satu dari tiga menderita kekurangan berat badan; 30.000 anak yang dapat diselamatkan, tiap harinya menderita sekarat; 2 juta anak perempuan terpaksa menjalani prostitusi; 130 juta anak tidak memiliki akses terhadap pendidikan dasar dan 250 juta anak di bawah 15 tahun terpaksa bekerja. Tatanan ekonomi dunia berfungsi baik bagi dua puluh persen penduduknya tapi mengabaikan, memojokkan dan memperburuk delapan puluh persen sisanya.

Kita tak dapat begitu saja memasuki abad baru dalam barisan akhir yang terbelakang, miskin, dan tereksploitasi; korban rasisme dan xenofobia dihalangi dari akses pengetahuan, dan menderita alienasi budaya kita akibat pesan-pesan asing berorientasi-konsumerisme yang diglobalisasikan oleh media.

Bagi Kelompok 77, ini bukanlah saat untuk mengemis dari negeri-negeri maju atau untuk patuh, mengalah, atau saling menghancurkan. Inilah saatnya untuk mengembalikan semangat berlawan kita, kesatuan dan kohesi kita dalam mempertahankan tuntutan kita.

Lima puluh tahun lalu kita diberikan janji bahwa suatu hari nanti tidak akan ada lagi jurang antara negeri-negeri maju dan kurang-berkembang. Kita dijanjikan roti dan keadilan; tapi hari ini kita memiliki semakin sedikit roti dan semakin banyak ketidakadilan.

Dunia dapat diglobalisasi di bawah kekuasaan neoliberalisme, tapi tidaklah mungkin menguasai milyaran lebih orang yang lapar akan roti dan haus akan keadilan. Gambaran ibu-ibu dan anak-anak di bawah derita kekeringan dan bencana lainnya di seluruh wilayah Afrika mengingatkan kita akan kamp konsentrasi di Jerman Nazi; mereka mengembalikan memori tentang tumpukan mayat dan orang sekarat, perempuan, dan anak-anak.

Perlu digelar semacam Nuremberg untuk mengadili tatanan ekonomi yang dipaksakan ke kita: sebuah sistem yang dengan menggunakan kelaparan dan penyakit yang tersembuhkan telah membunuh lelaki, perempuan, dan anak-anak tiap tiga tahun dalam jumlah yang melebihi korban jiwa Perang Dunia II yang berlangsung enam tahun.

Di Kuba kami biasa berkata: "Merdekalah Tanah Air atau Mati!" Pada KTT Dunia Ketiga ini kita akan harus berkata: "Bersatulah dan Bangun Kerjasama Erat, atau kita mati!"

Diterjemahkan oleh Data Brainanta, diambil dari Media NEFOS (http://www.nefos.org)

Jumat, 08 Agustus 2008

rakyat miskin dilarang pintar III

Rakyat Miskin Dilarang Pintar III


Di bawah Pemerintahan SBY-JK nasib dunia pendidikan Indonesia sungguh sangat dramatis, pendidikan nasional sebagai salah satu variabel untuk memajukan pendidikan justru di jadikan lahan akumulasi modal(pendidikan Layaknya komoditi yang siap di perdagangkan). Problem utama pendidikan saat ini bisa di simpulkan menjadi (1) Biaya Pendidikan yang semakin Mahal; janji realisasi anggaran pendidikan minimal 20% (menurut Konstitusi) tidak juga di berikan. Dalam kesepakatan pemerintah dan DPR untuk 2007 dana yang dianggarkan untuk sektor pendidikan hanya Rp.51.3 Trilyun atau 10,3% dari total APBN, hanya Naik sedikit dari tahun 2006 sebesar Rp. 36,7 Trilyun atau 9,1 % dari APBN. Sedangkan alokasi anggaran pendidikan dari tahun 2006 sampai 2009 adalah sebesar 210 trilyun sebuah angka yang sedikiti bila di banding dengan komitmen pembayaran utang luar negeri. Alokasi pembayaran hutang yang terdiri dari bunga hutang dalam negeri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga hutang luar negeri Rp. 25,14 trilyun dan cicilan pokok hutang luar negeri Rp. 46,84 trilyun, hal tersebut artinya pembayaran utang luar negeri telah menggerogoti 25,10% dari total belanja negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, serta menguras pendapatan negara sebesar 29,33%. Dan jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, anggarannya jauh di atas Indonesia. Di Malaysia, anggaran untuk mahasiswa mencapai 114 juta rupiah per mahasiswa per tahun. Dan ini belum termasuk soal pengembangan sumber daya manusia yang juga membutuhkan biaya besar.

Menurut data Balitbang Depdiknas tahun 2003, murid SD dan madrasah ibtidaiyah (MI)-negeri dan swasta-berjumlah 25.918.898 orang dan murid SMP dan madrasah tsanawiyah (MTs)-negeri dan swasta-berjumlah 7.864.002 orang. Jadi, jumlahnya adalah 33.782.900 orang. Dari jumlah itu akhirnya yang putus sekolah dan berhenti tamat SD ada 56,2 persen dan yang hanya tamat SMP 16,65 persen. Jadi, putus sekolah dalam wajib belajar 62,67 persen. Penyebab Utama mereka untuk putus sekolah karena faktor ekonomi orang tuanya(baca; Miskin), Meskipun Pemerintah memberikan beasiswa, memilih 9,6 juta dari 33,78 juta orang bukan pekerjaan gampang, apalagi yang miskin jumlahnya 21,16 juta. Memberikan beasiswa hanya kepada sebagian kecil orang miskin sia-sia saja. Lebih baik adalah sekolah gratis kepada seluruh siswa wajib belajar (SD-SMP-SMA). Data sensus tahun 2003 menampilkan gambaran bahwa penduduk berusia 10 tahun ke atas terdiri atas 8,5 persen tak masuk SD, 23,0 persen drop out SD, dan 33,0 persen hanya tamat SD, atau penduduk berpendidikan SD ke bawah 64,5 persen. Yang bisa menamatkan SMP dan dilanjutkan ke SMA hanya 16,8 persen. Dari 42 juta usia belajar, wajib belajar hanya mencapai 32,9 persen, atau gagal 64,5 persen. Maknanya apa? Bahwa 62 tahun Indonesia merdeka Rakyat Indonesia yang tidak bisa menikmati pendidikan lebih banyak ketimbang yang bisa menikmati pendidikan. Ini tidak ada perkembangan yang significant paska politik etis.

DI DKI Jakarta, untuk menyekolahkan anak di TK-SD orang tua mesti mengeluarkan biaya kira-kira ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Untuk SMP dan SMA lebih parah lagi harus mengeluarkan Jutaan rupiah, untuk sekolah tipe –Unggulan biaya yang dikeluarkan bisa puluhan juta. Sedangkan bagi orang tua untuk mengirimkan anaknya di bangku perguruan tinggi/Universitas harus piker-pikir dulu, karena untuk biaya pangkal saja minimal 1- sampai 3 Juta, untuk jurusan elit seperti kedokteran bisa mengeluarkan puluhan sampai ratusan juta. Ini sangat bertentangan dengan realitas bahwa menurut data resmi yang diluncurkan Bank Dunia hasil studi tentang kemiskinan di Indonesia (Kompas, 11 Desember 2006) estimasi jumlah orang miskin hampir 109 juta (49 persen) dari total penduduk Indonesia dengan indicator pendapatan 2 Dollar perhari. Jika di hitung secara matematis maka di dapatkan data ada sekitar 109 juta orang dengan pendapatan 30 × 2 US$(18.000)=Rp.540.000 per bulan harus menanggung biaya pendidikan yang berkisar 1 sampai ratusan juta rupiah.

Problem ke (2) adalah infrastruktur/fasilitas pendidikan yang sangat minim; jumlah TK-SD,SMP,SMA dan perguruan tinggi belum memenuhi kapasitas peserta didik di Indonesia. Banyak sekolah-sekolah yang ruangnya di pakai secara bergiliran, bahkan di beberapa daerah klas-klasnya di gabung padahal ini sangat tidak efektif untuk proses belajar mengajar. Selain itu keterbatasan infrastruktur ini semakin di perparah dengan kenyataan bahwa infrastruktur ini banyak yang ber-usia sudah tua dan tidak layak pakai. Sebagai contoh kejadian di Serang, Banten sebuah bangunan sekolah ambruk karena hujan terus menerus selama tiga hari. Maka tidak heran kondisi mengenaskan dari bangunan sekolah-sekolah ini menjadi kekhwatiran dari para guru, murid, dan orang tua murid sehingga sering berbuntut protes terbuka seperti kejadian pada peringatan hari pendidikan Nasional tahun 2006 di Stadion Manahan (Solo) yang membuat Yusuf Kalla ngomel-ngomel.Belum kalah mirisnya, terkadang bangunan sekolah yang terbatas ini di robohkan, (sengaja) ditutup karena arealnya mau dijadikan lahan untuk pembangunan Mall, perkantoran, atau karena komflik lahan dengan pihak swasta. Pemerintah yang mestinya berdiri melindungi kepentingan sekolah justru lepas tangan dan membiarkan hal tersebut terjadi.

Infrastruktur/fasilitas juga terkait dengan fasilitas laboratorium, buku-buku pelajaran, sarana olahraga, sarana kesenian, tempat ibadah, kantin, pusat bahasa, perpustakaan, Internet, dan lain sebagainya. Sekolah-sekolah unggulan di Jakarta yang (ber-status Internasional) manpu menyediakan fasilitas ini secara lengkap Namun problemnya hanya bisa di akses orang-orang kaya ( Anak pengusaha, Pejabat, selebriti).

Problem ke(3) adalah Kurikulum, system pendidikan dan pelembagaannya. Semasa orde baru kurikulum pendidikan di arahkan untuk kepentingan mendukung ideologis penguasa, lembaga pendidikan di control ketat oleh pemerintah. Namun di bawah pemerintahan SBY-JK pendidikan justru di arahkan untuk kepentingan Neoliberalisme; kurikulum pendidikan sama sekali tidak berkualitas (beberapa masih sesuai dengan kepentingan orde baru seperti pencantuman kata “PKI” dalam buku pelajaran sangat tidak sesuai dengan semangat reformasi), pendidikan di arahkan untuk kepentingan neoliberalisme. Kurikulum berbasis kompetensi-pun tidak mengangkat pendidikan menjadi ilmiah dan demokratis, malah aspek kekerasan buah dari hubungan sub-ordinat subjek –Objek masih terus terjadi seperti kematian siswa akibat penganiayaan oleh gurunya, atau kasus penganiayaan di IPDN. menurut Dave Meier - seorang pakar accelerated learning - Sekolah saat ini kadang-kadang mencekik dan melumpuhkan orang dan merenggut kegembiraan belajar anak didik, sehingga dapat menghalangi mereka mengasah pikiran dan mewujudkan potensi sepenuhnya. Tentu kita tidak mau anak-anak kita menjadi tumpul potensinya, dan juga tidak mau jika melihat potensi anak-anak kita mati sia-sia karena harus mempelajari yang bukan minatnya

Persoalan lainnya adalah kesejahteraan guru yang sangat minim, gaji seorang guru belum memenuhi standar hidup laya keluarganya(kebutuhan ekonomi keluarga), sehingga tidak jarang guru-guru terlibat kerja sampingan( buka usaha, jadi tukang ojek, dan lain-lain), dan ini sangat mengganggu konsentrasinya untuk mengajar. Tidak ada upaya pemerintah menambah kualitas tenaga pengajar dengan memberikan beasiswa untuk untuk melanjutkan kuliah. Di media massa seringkali kita mendengan nasib memprihatinkan dari guru-guru, seperti kasus di Mandar, Sulawesi barat seorang guru harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer lebih untuk menghemat ongkos daripada naik angkot atau ojek(Koran SINDO). Nasib ratusan ribu guru kontrak di Indonesia sekaligus kenyataan bagaimana kondisi perbudakan modern yang di jalankan pemerintah, yang kemudian dalam beberapa kasus seperti kegagalan Ujian Nasional(Unas) kelompok inilah(guru Bantu dan guru kontrak) yang banyak di salahkan. Bagaiamana mungkin mereka bisa memaksimalkan kinerjanya kalau statusnya saja tidak jelas, apalagi kesejahteraannya.

Untuk mencari muka mendorong pendidikan nasional, sejak jaman orde baru sudah di canangkan wajib belajar 9 tahun, tetapi sama sekali tidak manpu mengurangi jumlah orng putus sekolah atau memberantas buta huruf. Penyebabnya Wajib belajar ala Indonesia tidak identik dengan wajib belajar (compulsory education) seperti yang dipersepsi oleh negara-negara maju, yang secara ekonomis telah lebih makmur. Dalam pengertian negara maju, compulsory education mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah; (2) pemerintah menggratiskan sekolah(SD,SMP,SMA); (3) tolok ukur keberhasilan wajib belajar adalah tiadanya orangtua yang terkena sanksi karena telah mendorong anaknya bersekolah; dan (4) ada sanksi bagi orangtua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah.
Selain itu, munculya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. Dalam hal ini, sekolah "dipaksa" untuk melengkapi dirinya dengan komputer dan peralatan canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat sampingan dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah penerima bantuan block grant di Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan mengalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik (Kompas, 9 April 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan KBK. Dari sini timbul kesan bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap infrastruktur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.

Masih ada program dana Biaya Operasional Pendidikan(BOS) tetapi hitung-hitung manfaat dari program ini, malah banyak di selewengkan(baca; dikorupsi) oleh pihak kepala sekolah dan birokrasi Depdiknas. Kalaupun ada yang sampai ketangan sekolah itupun banyak yang salah sasaran, mestinya mengurangi biaya yang di keluarkan siswa/orang tua siswa malah dana BOS dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak pokok; menge-Cat dinding sekolah, memperbaiki pagar dan gerbang sekolah dan lain-lain. Program MDG,S yang juga di jalankan oleh SBY-Kalla tidak manpu mengankat martabat pendidikan nasional, hanyalah sebuah tipuan antara SBY-Kalla dan Tuannya(Modal Internasional).

Neoliberalisme di Institusi Pendidikan

Lembaga Universitas Indonesia sejak tahun 1999 telah mengalami perubahan fundamental, seiring dengan di berlakukannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 61/Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum. Dari 4 kampus percobaan( UI, UGM, ITB, dan IPB) kemudian bertambah 8 tahun 2000 yaitu UPI Bandung, Univ, Airlangga(Unair), Univ Diponegoro(Undip), dan Univ Sumatra Utara(USU), dan untuk tahun 2007 jumlah Perguruan tinggi negeri yang akan berubah status menjadi BHMN semakin bertambah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa lembaga Unversitas di Indonesia mulai mengarah pada privatisasi Kampus(Neoliberalisme). Semakin agressifnya ingin menjadikan kampus-kampus di Indonesia sebagai lahan akumulasi modal maka pemerintah dan DPR pun memaksakan penegsahan RUU BHP-Badan Hukum Pendidikan.

Komersialisasi pendidikan Universitas meskipun belum berjalan sepenuhnya namun dampaknya sudah sedemikian buruknya. Pada tahun 1999(awal pemberlakuan BHMN) di perkirakan kenaikan biaya kuliah dari 300 hingga 400%. Di Universitas Indonesia uang pangkal—Admission Fee(untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp.5 Juta hingga Rp 25 juta, sedangkan untuk program Prestasi Minat Mandiri(PPMM) Rp. 25 Juta-Rp75 Juta. Untuk kampus sekelas Institut Tekhnology Bandung(ITB) di kenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik ---bisa mencapai 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Universitas Gajah Mada(UGM) memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik(SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp.20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-SPMB. Argumentasi dari pendukung neoliberal bahwa biaya pendidikan sebesar itu di peruntukkan untuk kualitas pendidikan agar mengikuti standar internasional(syarat memasuki free trade). Sehingga keterlibatan swasta, atau para pemodal dalam lingkup kampus adalah untuk menolong pembiayaan kampus(konsep Otonomi Kampus) bukan lagi mengandalkan subsidi pemerintah. Mari kita lihat kebenaran argumentasi tersebut? Akibat pemberlakuan uang masuk(Biaya pendidikan) yang mahal maka bisa di pastikan bahwa banyak orang-orang yang secara IQ cerdas namun karena tidak mampu membayar sehingga tidak di terima di PTN. Pemberlakuan jalur khusus(dengan biaya puluhan juta hingga ratusan) justru lahan subur nepotisme, hanya anak-anak orang kaya yang belum tentu kualitasnya bagus masuk ke dalam PTN. Universitas seperti UGM hanya menempati urutan 77 dari 77 Universitas di kawasan Asia-Australia, apalagi universitas-universitaslain yang hanya mengandalkan “Papan nama” harus bersaing dalam kompetisi global.

Dalam persoalan fasilitas setelah BHMN juga tidak ada perubahan, di UGM mahasiswa masih memiliki problem dengan ruangan kelas yang terbatas sehingga harus berdesak-desakan. Di beberapa kampus memang di bangun fasilitas seperti jasa Internet M-Web, atau pembangun Toko buku(gramedia,dll) tetapi harganya susah di akses oleh semua mahasiswa terutama dari klas menengah kebawah. Di kampus Universitas Hasanuddin(Makassar) setelah BHMN di lakukan renovasi dan pembangunan fasilitas besar-besaran(satelit, Bis Kampus, AC untuk tiap ruangan, kamera CCTV) tetapi semua fasilitas ini harus di bayar mahal oleh mahasiswa dengan mengbengkaknya biaya pendidikan SPP dan lain-lain, belum lagi untuk mengakses fasilitas tersebut harus membayar Fee—dengan kedok biaya penelitian.

Korporasi yang merambah kampus sekarang bukan hanya dalam bentuk penempatan orang di Majelis Wali Amanat(MWA), tetapi juga pembentukan Unit Komersil yang berada di bawah naungan WMA. Di berbagai PTN/bahkan PTS di Indonesia kita bisa menjumpai minimarket (semisal Alfamart), layanan Bank dan ATM-nya(BNI, BCA, Mandiri), Jasa komersil internet-an, Mc. Donald, dan lain-lain. Fasilitas-fasilitas kampus yang di bangun dengan dana mahasiswa dan Subsidi pemerintah( Pajak Masyarakat) justru kini di komersilkan seperti Aula, Gelanggang Olahraga, asrama mahasiswa, hingga perpustakaan. Gedung alumni IPB lebih sering di pakai untuk seminar umum ketimbang di pergunakan oleh mahasiswa, Baruga AP Pettarani(Auditorium UNhas) lebih sering dipergunakan oleh pihak luar untuk acara-acara seminar, pernikahan, dan lain-lain ketimbang di manfaatkan mahasiswa.

Ancaman terbesar mahasiswa saat ini (selain UU Sisdiknas, PP Nomor 61/Tahun 1999 yang sudah berlaku) adalah pengesahan RUU-BHP, Alih-alih menjadi lembaga universitas menjadi mandiri secara finasial. Justru semangat utama RUU-BHP adalah swastanisasi dan Komersialisasi pendidikan, pendidikan akan berubah menjadi bahan dagangan yang tidak lagi menitikberatkan kualitas. Dalam RUU BHP antara lain disebutkan kepemilikan PTS oleh yayasan, perorangan, atau badan hukum maksimal memiliki saham 35 persen dan sisanya "dijual" kepada masyarakat yang berminat. Memang tidak adalagi kesenjangan swasta dan PTN tetapi kenyataannya adalah bahwa pendidikan semakin mahal dan susah di jangkau oleh warga masyarakat. semua kebijakan ini hanyalah pelaksanaan dari kebijakan World Trade Organization(WTO) yakni General Agreement on Trade and Service(GATS), sebuah aturan pemaksaaan bagi Negara-negara dunia ketiga untuk meliberalkan sector pendidikan, dan sekaligus membuka kampus untuk para pemodal menanamkan modalnya.

Jelaslah bahwa biaya pendidikan yang semakin mahal semakin menghalangi keinginan lulusan SMA dari klas menengah dan bawah untuk mengandalkan otak dan prestasi akademiknya karena itu tidak di hargai dalam kampus neoliberal. Akibatnya jumlah orang yang kuliah di Universitas terus menerus turun, lihat saja untuk tahun 2003 hanya 10% dari penduduk usia mengenyam pendidikan Perguruan tinggi yang bisa mengenyam pendidikan. Kampus yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar. Van Hoof & Van Wieringen (1986)mengatakan dalam suatu konferensi pendidikan tinggi Eropa, "Jika pemerintah suatu negara tidak secara serius memerhatikan arah dan pengelolaan pendidikan tinggi di negaranya, dapat dipastikan pembangunan ekonomi Negara tersebut akan terhambat."

Perubahan struktur ekonomi-politik kampus kea rah neoliberalisme, telah merubah paradigma pendidikan kapitalisme bukan hanya sekedar sebagai penyedia robot-root untuk industri, menyediakan riset, media transmisi ideology Negara tetapi di jaman sekarang(baca; Neoliberalisme) kampus telah menjelma sekaligu tidak ubahnya pasar. Dimana hanya orang-orang yang memiliki kesanggupan daya beli-lah yang bisa mengaksesnya, sedangkan orang-orang miskin cukup melihat-lihat dari luar.

Selain persoalan biaya pendidikan yang semakin mahal(komersialisasi) akibat utama reformasi neoliberalisme di perguruan tinggi adalah kurikulum yang sangat mengabdi kepada pasar tenaga kerja(Labour Market). Dalam kasus BHMN kampus telah berubah status menjadi reserarh University(dulu di cetuskan di jerman Untuk mendukung pemerintahan NAZI melakukan penemuan baru dalam persenjataan). Yang salah dari konsep ini penemuan technology dan IPTEK bukan di peruntukkan untuk kepentingan seluruh umat manusia, tetapi nantinya akan di kuasai oleh Korporasi Asing dalam bentuk Hak Cipta dan hak paten. Selain itu pendidikan di Universitas akan menjalin kerjasama dengan korporasi-korporasi dengan pola Link and Match atau pola magang di korporasi untuk ketersediaan tenaga professional. Jelas status BHMN tidak menghasilkan kualitas seperti yang dimitoskan, malah status ini menjerat pendidikan sekedar mesin penjaga kestabilan akumulasi modal dalam alam kapitalisme. Hubungan tidak linear antara PT dan sektor ekonomi disebabkan oleh pergeseran paradigma penyelenggaraan PT sebagai akibat langsung industrialisasi modern pasca-Perang Dunia II. Para pakar ekonomi sosial,

seperti Castells (2000), Callinicos (1999), dan Rifkin (2000), mencatat, semangat membangun kembali setelah perang melalui industrialisasi modern menumbuhkan tuntutan pragmatis masyarakat atas peran PT. Pola pengelolaan modal industri membentuk persepsi masyarakat bahwa investasi ekonomi dalam bidang pendidikan juga harus kembali dalam bentuk profit ekonomi. Akibatnya, tolok ukur masyarakat atas keberhasilan pendidikan adalah kerja yang mengembalikan investasi.

Imbas lain dari BHMN-isasi ini adalah persoalan tatahubungan kelembagaan dalam Universitas yang tidak demokratis, penyebabnya posisi lembaga mahasiswa tidak sederajat dengan birokrasi kampus. Status Badan Hukum telah merubah wajah kampus menjadi anti Unionisme(serikat mahasiswa),di berbagai kampus yang menjalankan Badan hukum ini sangat anti dengan aktivitas gerakan mahasiswa. Di UI tahun 1990/2000 dilakukan DO/skorsing terhadap mahasiswa kritis, di Universitas hasanuddin hal yang sama juga dilakukan terhadap mahasiswa(Korbannya si penulis Makalah ini), di USU, dan berbagai kampus di Indonesia. Penyempitan ruang demokrasi bagi mahasiswa untuk melakukan aktivitas kemahasiswaan(kecuali untuk minat dan bakat/UKM) hampir terjadi dimana-mana. Di IKIP Mataram protes mahasiswa karena keluarnya kebijakan yang tidak melibatkan mahasiswa memakan korban mahasiswa (Ridwansyah, tewas terbunuh oleh preman yang dibayar rektorat). Di berbagai kampus di keluarkan kebijakan pelarangan melakukan aktivitas mimbar bebas, melakukan diskusi, pelarangan mengedarkan selebaran, bahkan pelarangan berorganisasi(terutama organisasi radikal).

SBY-JK Anti Kemajuan Pendidikan Nasional

Kebohongan SBY-JK dengan realisasi anggaran 20 % dalam APBN adalah bukti bahwa SBY-JK tidak punya itikad baik untuk memajukan pendidikan nasional, ini sangat beda dengan komitmen seorang Bupati Jembrana yang berani menggratiskan Pendidikan di daerahnya kendati Jembrana bukanlah kategoti daerah ber-pendapatan Asli Daerah(PAD) tinggi. Upaya memaksakan pemberlakuan RUU BHP-sebagai implementasi dari kehendak WTO dalam General Agreement On Trade and Service(GATS) adalah bukti persekongkolan pemerintahan SBY-Kalla dan DPR untuk mendorong pendidikan kearah Liberalisasi dan privatisasi. Pendidikan nasional terus di remehkan, di hilangkan watak ilmiahnya, dan rasionalitasnya semakin terjebak dalam pragmatisme korporasi-korporasi. Di bawah panji-panji neoliberalisme Universitas dipaksa mencari sumber pendanaan sendiri, anggaran pendidikan dari pemerintah semakin di perkecil bahkan coba untuk dihilangkan. Data dari PBB dan Bank Dunia menunjukkan bahwa dana untuk mencapai target pendidikan dasar secara global memerlukan US$ 8 milyar dolar setiap tahunnya, atau setara dengan dana untuk kegiatan militer secara global selama 4 hari saja. Dalam setahun, kegiatan militer global menghabiskan biaya sebesar US$ 780 milyar, atau US$25 ribu per detik. Mengingat fakta ini, patut dipertanyakan, apakah memang terhambatnya pendidikan lebih dikarenakan kurangnya sumber dana atau tidak adanya kemauan politik dari negara-negara dunia, khususnya negara-negara utara yang telah memberikan komitmennya untuk mengalokasikan dana hibah yang lebih besar bagi pendidikan di negara-negara berkembang?

SBY-Kalla mencoba menutupi kebohongannya dengan sejumlah ilusi baru; misalnya pemberian beasiswa kepada aktivis mahasiswa, kemudahan untuk beasiswa luarnegeri, program bantuan untuk penyelesaian study, dan lain-lain. Namun program tersebut tidak sanggup menghentikan kesenjangan sosial dalam memperoleh pendidikan layak dan berkualitas, tetap saja orang miskin tidak tertolong. Menurut Faisal Basri, seorang pengamat ekonomi, justru mengkhawatirkan anggaran 20 persen itu akan menciptakan Depdiknas sebagai gudang korupsi. Sementara itu, Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Sofian Effendi mengingatkan bahwa alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN itu tidak berpengaruh banyak pada biaya pendidikan tinggi. Biaya pendidikan tinggi tidak serta merta akan murah. Dengan asumsi total APBN mencapai 550 sampai 660 trilyun rupiah, maka anggaran 20 persen itu sama dengan 120 trilyun rupiah. Dari jumlah tersebut, perguruan tinggi diperkirakan mendapat 20 persen atau sekitar 24 trilyun rupiah. Dana itu harus digunakan untuk seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta dengan total mahasiswa sekitar 4 juta orang. Padahal, kata Sofian seperti ditulis Media Indonesia (3/4), anggaran mahasiswa standar nasional untuk Strata Satu adalah 18,1 juta rupiah per mahasiswa per tahun, atau sama dengan 72 trilyun pertahun. Dengan demikian, anggaran yang ditetapkan MK pun tidak mencapai standar nasional. Dan tidak bia diharapkan akan menurunkan biaya pendidikan tinggi. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, anggarannya jauh di atas Indonesia. Di Malaysia, anggaran untuk mahasiswa mencapai 114 juta rupiah per mahasiswa per tahun. Dan ini belum termasuk soal pengembangan sumber daya manusia yang juga membutuhkan biaya besar.

Jika Mau sebenarnya SBY-Kalla bisa menggratiskan pendidikan, selama ini Anggaran negara banyak di hambur-hamburkan untuk sektor yang bukan kebutuhan mendesak(darurat) Rakyat. Misalnya dalam APBN posting untuk membayar hutang luar negeri masih sangat besar, (contoh untuk tahun 2005) alokasi pembayaran hutang yang terdiri dari bunga hutang dalam negeri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga hutang luar negeri Rp. 25,14 trilyun dan cicilan pokok hutang luar negeri Rp. 46,84 trilyun, hal tersebut artinya pembayaran utang luar negeri telah menggerogoti 25,10% dari total belanja negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, serta menguras pendapatan negara sebesar 29,33%. Bayangkan untuk total anggaran yang direncakan pemerintah dari tahun 2006-hingga 2009 yang hanya sebesar 210 trilyun. Selama ini perangkat Hutang telah di jadikan jerat/debt Trap bagi negara-negara selatan(baca;negara miskin) Karena itu sangatlah tepat thesis yang mengatakan bahwa utang merupakan instrumen utama yang digunakan imperialis untuk mempertahankan akses bahan baku murah di negara lain, terutama negara-negara berkembang. Untuk menutupi hutangnya kepada negara-negara maju, negara-negara berkembang tersebut saling berlomba memacu ekspornya ke negara- negara maju. Akibatnya terjadi kejenuhan pasar, sehingga harga komoditas tersebut semakin tertekan yang berdampak pada penurunan pendapatan produsen (misalnya, petani) di negara berkembang. Sementara negara-negara maju yang terletak di belahan utara menikmati surplus dan produk harga murah dari negara berkembang.

Janji-janji bohong SBY-Kalla untuk menggratiskan pendidikan hanyalah sebahagian kecil bukti bagi kita untuk membuktikan bahwa pemerintahan ini tidak akan mau mencerdaskan kehidupan bangsa. Partai-partai borjuis yang kini berkuasa diparlemen dan tidak berjuang mencabut/menolak keberadaan UU/RUU yang berbau Komersialisasi/Privatisasi seperti UU sisdiknas No. 20 tahun 2003, PP nomor 61/tahun 1999, RUU BHP,RPP tentang Pendidikan Dasar dan Menengah. RPP ini tidak membicarakan tentang tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, dan RPP Wajib Belajar yang tidak konsisten dari pemerintah(mengharuskan wajib belajar tetapi tidak menciptakan syarat-syaratnya).

Perlawanan terhadap Usaha Komersialisasi Pendidikan

Perubahan status BHMN di berbagai kampus negeri mendapat penolakan mahasiswa, di UI mahasiswa yang menolak di kenakan DO/skorsing, di Universitas hasanuddin juga dilakukan D.O/Skorsing terhadap aktivis mahasiswa yang menolak BHP, bahkan pembekuan lembaga kemahasiswaan yang ber-posisi menolak kebijakan rektorat. Di USU ketua Presiden Mahasiswa USU di D.O karena berupaya membongkar kasus korupsi rector USU. Di Universitas Sam Ratulangi(Unsrat) Manado sosialisasi BHP di gagalkan oleh aksi spontan mahasiswa, karena Unsrat juga di prediksikan akan mengarah ke BHMN. Naiknya biaya pendidikan telah menimbulkan perlawanan dari massa mahasiswa, di UGM aksi mahasiswa mendapat dukungan dari tenaga pengajar(dosen), demikian pula di Unsrat Manado aksi mahasiswa mendapat sokongan penuh dari tenaga pengajar. Kejadian serupa juga pernah terjadi di kampus UPN (Surabaya), Unila(Lampung), Univ.Udayana(Bali) dan beberapa kampus lainnya di Indonesia.

Catatan untuk perlawanan mahasiswa dan (sedikit) tenaga pengajar(dosen) ini adalah bahwa(1) perlawanan ini masih relatif kecil, belum melibatkan massa luas mahasiswa padahal persoalan biaya pendidikan adalah kepentingan mayoritas mahasiswa.(2) perlawanan ini masih ber-sifat lokalis dan spontan, tidak ada jaringan antar kampus yang mengkoordinasikan perlawanan mahasiswa. Padahal kebijakan ini akan merambah keseluruh Universitas di seluruh Indonesia, sehingga butuh perlawanan dalam skala nasional pula yang di organisasikan oleh sebuah komite nasional. (3) pemahaman aktivis mahasiswa masih cupet, terkadang persoalan –persoalan di kampus dianggap terpisah dengan akibat proyek neoliberal di sektor rakyat lainnya. Sehingga menurut pandangan cupet ini, agenda menolak BHP/BHMN cukup menjadi agenda mahasiswa saja.

Agenda perempuan II

Perempuan-Perempuan di Seputar Marx dan Engels

SEJARAH seringkali merupakan sejarah ’laki-laki’ (his-story). Jarang sekali peranan perempuan yang dekat dengan tokoh-tokoh tersebut, baik istri, kekasih (gelap maupun terang), serta saudara perempuan, juga mendapat perhatian dari para peneliti. Begitu pula dalam sejarah Marxisme, di mana orang kurang mendengar (atau membaca) tentang peranan isteri Marx, kekasih Engels, atau anak-anak perempuan Marx. Makanya, dalam handout ini, saya berusaha mengumpulkan semua data tentang tokoh-tokoh perempuan yang selama ini sering tersembunyi dalam bayang-bayang Marx dan Engels. Tujuannya untuk melihat pengaruh tokoh-tokoh perempuan itu, dalam perkembangan pemikiran dan gerakan Marxisme. Setidak-tidaknya, tulisan ini bermaksud mengurangi bias gender dalam mendalami sejarah Marxisme dini.

Perempuan-perempuan di seputar Marx & Engels:

Karl Marx (5 Mei 1818 - 14 Maret 1883):

19 Juni 1843: Karl Marx menikah dengan Jenny von Westphalen, kekasih sejak masa muda Marx, anak dari Baron Ludwig von Westphalen, seorang bangsawan yang berjiwa liberal. Mereka mendapatkan tujuh orang anak, di mana empat orang di antaranya meninggal karena kondisi kemiskinan Marx di London, sewaktu menulis karya akbarnya, Das Kapital (Gurley 1975: 57; Mandel 1990: 27; Aditjondro 2006; Wikipedia 2008a).

Dua di antara keempat anak Karl & Jenny Marx yang meninggal, Franziska dan Edgar (lihat Aditjondro 2006), tidak banyak informasi yang didapat, kecuali bahwa “Franziska” adalah juga nama ibu Friedrich Engels, dan “Edgar” adalah nama teman sekolah yang kemudian menjadi abang ipar Karl Marx (Wikipedia 2008ª, 2008d).

Anak tertua: Jenny Caroline, yang lahir pada tanggal 1 Mei 1844, mengikuti jejak ayahnya menjadi penulis. Dengan nama samaran J. Williams, tahun 1870, ia menulis di koran Perancis, Marseillaise¸ tentang perlakuan yang tidak manusiawi terhadap narapidana asal Irlandia. Dua tahun kemudian, ia menikah dengan seorang aktivis sosialis asal Perancis, Charles Longuet, dan memperoleh enam orang anak. Ia meninggal dalam usia 38 tahun, pada tanggal 11 Januari 1883, dua bulan sebelum kematian ayahnya (Wikipedia 2008a, 2008b).

Anak kedua, Laura, puteri kesayangan Marx. Lahir di Brussels tanggal 26 September 1845. Tanggal 2 April 1867, ia menikah dengan Paul Lafargue (1842-1911), seorang sosialis Perancis, kawan baik Engels dalam gerakan Marxis Perancis dan internasional, termasuk aktif dalam Komune Perancis tahun 1871. Laura yang mewarisi bakat bahasa dari ayahnya, telah menerjemahkan sebagian karya Marx ke dalam bahasa Perancis, dan karya suaminya ke dalam bahasa Inggris. Sejak pernikahan Laura dengan Paul Lafargue, pasangan ini aktif berkorespondensi dengan Engels yang terdokumentasi hingga tahun 1886, dan diterbitkan tahun 1959 oleh Foreign Languages Publishin House di Moscow. Paul Lafarge telah menerjemahkan tiga bab dari karya Engels, Anti-Duehring, ke dalam bahasa Perancis, menjadi Socialism: Utopian and Scientific, yang diterbitkan dengan kata pengantar Paul Lafarge tahun 1880 dalam bahasa Perancis dan dalam bahasa Inggris tahun 1892. Paul yang terbuka terhadap pemikiran aliran sosialis lain, yakni kaum utopis, juga sudah membaca hasil penelitian antropolog AS, Lewis Henry Morgan, sebelum Engels merujuknya dalam bukunya tentang asal-usul keluarga (The Origin of the Family, Private Property and the State, 1884), yang membeberkan kelebihan komunisme purba konfederasi Iroquois di perbatasan AS-Kanada. Karya Lafargue yang sejajar dengan pemikiran Engels dalam buku The Origin berjudul, The Evolution of Property from Savagery to Civilization (1890). Karya-karya menantu Marx ini adalah Idealism and Materialism in the Interpretation of History (1895) dan The Problem of Cognition (1910). Setelah kejatuhan Komune Paris, keduanya mengungsi ke Spanyol dan Inggris, sebelum kembali ke Perancis tahun 1882. Ketiga anak mereka meninggal selama masa pengungsian itu. Tragisnya, Laura dan Paul bunuh diri bersama pada tanggal 26 November 1911 di Paris dengan suntikanhydrocyanic acid, bukan karena putus asa, tapi karena ingin menghindar dari kesusahan di hari tua (Wilczynski 1984: 301; Carver 1983: 132, 163-4; Geoghegan 1987: 60; Magnis-Suseno 2001: 245-6; Wikipedia 2008e).

Anak keenam (bungsu): Eleanor (”Tussy”), lahir di London tanggal 16 Januari 1855. Sepeninggal kedua orang tuanya, ia terjun aktif dalam gerakan Marxis internasional, dan sering menjadi rujukan dalam karya-karya biografis Marx (misalnya dalam McLellan 1970: 49, 51). Sewaktu ayahnya masih hidup, Tussy bersama ibunya membantu ayahnya dengan menulis kembali tulisan Marx yang seperti cakar ayam, agar terbaca oleh penerbit. Setelah ibunya jatuh sakit, Tussy praktis menjadi sekretaris pribadi ayahnya, dengan menangani korespondensi, buku-buku, dan naskah-naskah Marx. Sebelum kematian Marx, sang ayah menugaskan Tussy mempersiapkan penerbitan volume pertama Das Kapital, dengan bantuan Friedrich Engels (Spartacus 2008; Wikipedia 2008c).

Waktu baru berumur 17 tahun, ia jatuh cinta dengan Prosper-Olivier Hippolyte Lissagaray, seorang aktivis Komune Paris, yang dua tahun lebih tua dari pada Eleanor. Itu sebabnya, walaupun segaris politik dengan Marx, ayah Tussy tidak merestui hubungannya dengan Lissagaray. Untuk merebut kemerdekaan pribadinya, Tussy meninggalkan rumah keluarga mereka di London, dan pindah ke kota peristirahatan Brighton, bekerja sebagai guru sekolah. Setelah setahun, dia bergabung dengan Lissagaray, membantunya menulis buku The History of the Commune of 1871. Marx, yang begitu senang dengan buku itu, sehingga menerjemahkannya ke bahasa Inggris, tetap tidak merestui hubungan putrid bungsunya dengan Lissagaray. Baru pada tahun 1880, Marx akhirnya mengizinkan Tussy menikah dengan Lissagaray, namun si bungsu sudah meragukan hubungannya dengan laki-laki ini dan di bulan Januari 1882 memutuskan hubungannya dengan Lissagaray (idem).

Tahun 1884, Eleanor mulai hidup bersama Edward Aveling (1851-98), seorang sosialis Inggris yang sudah menikah. Mereka berdua menjadi anggota Social Democrats’ Federation (SDF), di mana Eleanor terpilih menjadi anggota Badan Pengurus. Di bulan Desember 1884, menolak cara-cara otoriter ketua SDF, H.M. Hyndman, lalu bersama William Moris mendirikan Socialists League. Selanjutnya, Eleanor Marx secara terbuka mengkampanyekan Revolutionary International Socialism dan membantu mengorganisasi kongres International Socialist Congress di Paris di tahun 1885. Ia juga melakukan kunjungan ceramah yang sukses bersama Aveling. Kekasihnya itu telah terkenal karena menerjemahkan karya akbar Marx, Das Kapital bersama Samuel Moore di tahun 1887 (Wilczynski 1984: 29; Hook 1983: 114; Wikipedia 2008c; Spartacus 2008).

Sementara itu, Eleanor Marx sendiri telah terkenal, selain sebagai orator, juga karena menulis beberapa buku dan artikel, seperti The Chicago Anarchists (1877, bersama Edward Aveling); Marx’s Theory of Value (1883), The Irish Dynamics (1884), The Factory Hell (1885, bersama E. Aveling), The Women Question (1886, bersama E. Aveling), The Working Class Movements in America (1888, bersama E. Aveling), Shelley’s Socialism (1888), Speech on the First May Day (1890), The Working Class Movement in England (1896), dan Biographicl Notes on Karl Marx (1897), serta menyumbang artikel buat jurnal politik Justice, yang disunting oleh H.H. Champion (Spartacus 2008; Wikipedia 2008c).

Di bulan Januari 1989, waktu kekasihnya jatuh sakit parah, Eleanor merawatnya dengan penuh cinta, sampai Edward Aveling sembuh kembali. Namun tidak lama kemudian, Tussy menemukan bahwa kekasihnya telah menikah kembali secara diam-diam dengan seorang perempuan lain. Putri bungsu Marx ini begitu patah hati, sehingga pada tanggal 31 Maret 1898 ia mengakhiri nyawanya dengan bunuh diri pada umur 43 tahun (Wilczynski 1984: 29; Hook 1983: 114; Spartacus 2008).

Jenny Marx, isteri Karl Marx, meninggal dunia tanggal 2 Desember 1881, disusul dengan kematian Jenny Jr, anak sulungnya, tanggal 11 Januari 1883. Akibat kesehatannya yang terus merosot, dan karena sangat terpukul akibat kematian isteri dan anak perempuan kesayangannya, Karl Marx meninggal pada hari Rabu, 14 Maret 1883. Ia dikuburkan pada hari Sabtu, 17 Maret 1883 dalam liang lahat bersama isterinya di pemakaman Highgate di pinggir kota London (Gurley 1975: 57; Stepanova 2004: 114-5).

Selain anak-anak dari Jenny, Helene Demuth, pembantu rumah tangga dan pengasuh anak-anak yang dibawa dari Jerman, di tahun 1850-an lahir seorang anak laki-laki bernama Frederick (”Freddy”), hasil hubungan gelap dengan Karl Marx. Anak itu diaku dan dibesarkan oleh Engels, yang baru mengungkapkan rahasia identitas Freddy kepada Eleanor, menjelang kematian Engels pada tanggal 5 Agustus 1895. Sebelum Marx meninggal, Helene telah diangkat menjadi PRT Engels. Eleanor, sangat terkejut waktu diberitahu asal-usul Freddy, karena dia merasa sangat dekat dengan pemuda itu. Namun setelah mengetahui bahwa Freddy adalah saudara tirinya, Eleanor semakin akrab dengan pemuda, yang di kemudian hari menjadi aktivis serikat dagang Inggris (Berman 2002: 38; Hook 1983: 118-9; Wikipedia 2008a, 2008c, 2008d).

Marx bukannya tidak menyadari kemiskinan dan penderitaan isteri dan anak-anaknya, akibat konsentrasinya pada studinya selama belasan tahun untuk menghasilkan karya akbarnya, Das Kapital. Menurut Sidney Hook, seorang penulis yang sangat kritis terhadap Marx, kesadaran itu mempengaruhi sikap Marx dalam menyetujui atau menolak calon-calon menantunya. Seperti tulis Hook (1983: 118):

You know that I have sacrificed my whole fortune to the revolutionary struggle. I do not regret it. On the contrary. Had I my career to start again, I should do the same. But I would not marry. As far as lies in my power, I intend to save my daughter from the reefs on which her mother’s life has been wrecked.”

Ada juga penulis yang lebih keras lagi menyoroti bagaimana Marx sering mengabaikan kebutuhan hidup dan cinta keluarganya, sementara ia sendiri sibuk dengan organisasi, studi, dan penulisan karya-karya besarnya. Jerrold Seigel dalam bukunya, Marx’s Fate: The Shape of a Life, mengecam kehidupan domestik Marx sebagai berikut (Berman 2002: 42-3):

...... ketika Jenny dan anak-anak mereka kelaparan dan menderita selama 15 tahun (keadaan itu baru pulih di akhir tahun 1860-an), Marx malah melupakan dari tanggungjawabnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, dan bergulat dengan kesendirian untuk mencari kebenaran sejati, (”Ketika kamu, setan kecil yang menyedihkan, harus mengalami semua kenyataan pahit ini” – dia menulis ini untuk Jenny saat istrinya itu sedang melawan tuan tanah, pedagang grosir dan juru situ – ”aku juga harus hidup dalam siksaan dalam mencapai cita-cita.” Jadi, dia menyuruh istrinya menghadapi realitas seorang diri, sementara dia dengan bebas melayang, walaupun dia dalam kebahagiaan, dalam lingkaran dunia cita-cita.)

.... terutama di tahun-tahun terakhirnya, Marx mendorong dirinya dan orang di sekitarnya menjadi gila karena penolakannya menyelesaikan Capital. ”Aku harus menggunakan setiap detik waktuku untuk menyelesaikan bukuku, dengan mengorbankan kesehatanku, kebahagiaanku, dan keluarga.” Marx menulisnya di tahun 1867, hanya sesaat sebelum Capital Volume 1 terbit; tetapi dia akan terus berkorban seperti itu dalam 16 tahun ke depan, bahkan sampai dia menghembuskan napas terakhirnya. Engels, Jenny, anak perempuan mereka, dan semua teman Marx mendesaknya menghentikan pekerjaannya itu, menerima dengan lapang dada ketidaksempurnaan dan ketidaklengkapannya, serta mendesaknya meraih kesempatan dan bekerja di luar dunianya sendiri; tetapi dia telah menyerahkan hidupnya sendiri, terbenam lebih dalam ke arah dialektika, menolak menghentikannya sampai cita-citanya terwujud”.

Namun berbeda dengan gambaran Hook dan Siegel yang sangat negatif, catatan-catatan lepas Eleanor sangat positif tentang ayahnya, yang digambarkannya sangat sering bermain kuda-kudaan dengan anak-anaknya yang selamat dari kematian dini, sering memberinya buku di hari ulang tahunnya, selalu ramah terhadap anak-anak dan orang lain yang ingin belajar sesuatu darinya, sangat mencintai ibunya, Jenny von Westphalen, dan kedua orang tuanya sangat sedih dengan kematian dua orang kakak dan seorang adiknya (Mark-Aveling 2006).

Friedrich (Frederick) Engels (28 November 1820 - 5 Agustus 1895)

Selama 20 tahun, Engels hidup bersama Mary Burns, seorang buruh di pabrik tekstil milik ayah Engels di Manchester, Ermen & Engels. Buruh berdarah Irlandia ini yang memperkenalkan kondisi kelas pekerja di Inggris kepada Engels, dan mengajaknya ikut gerakan buruh Chartist dan para sosialis dini di Inggris. Mary Burns meninggal di bulan Januari 1863. Engels kemudian hidup bersama Lizzy Burns, adik Mary Burns, yang meninggal di bulan September 1878 (Tucker 1978: 1863; Hobsbawm 1979: 15; Dennehy 1996: 106; Wikipedia 2008d).

Belum banyak terungkap tentang hubungan antara Engels dengan kedua bersaudari Mary dan Lizzy Burns, dan keturunan mereka. Yang terungkap hanyalah bahwa Engels mengangkat anak ilegal Marx, Freddy Demuth (Wikipedia 2008d).

Konsep Cinta, Seks dan Keluarga dalam Pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels:

CINTA Marx yang begitu besar pada Jenny von Westphalen, dengan siapa ia bertunangan secara rahasia di tahun 1836, sudah diekspresikan dalam surat pemuda itu pada ayahnya, yang ditulisnya setahun kemudian (lihat Tucker 1978: 7-8; Easton & Guddat 1967: 40-50).

Cintalah, kata Marx, yang ”pertama mengajarkan manusia untuk percaya pada dunia di luar dirinya” (Berman 2002: 34).

Kekuatan utama síntesis Marx berada pada cinta seksual. Para penulis biografi mencatat bahwa Karl dan Jenny Marx mampu mempertahankan perkawinan selama 40 tahun dan hanya dipisahkan oleh kematian, walaupun melewati berbagai kekacauan, penderitaan, gairah, dan sekaligus kebahagiaan dalam perkawinan. Marx adalah salah satu dari pemikir besar dalam sejarah yang menjalani kehidupan perkawinan dan keluarga yang berbahagia (Berman 2002: 38).

Marx membuat banyak tulisan tentang cinta seksual di pertengahan tahun 1840-an, tidak lama setelah perkawinannya, ketika dia berusaha memenuhi cita-cita ayahnya untuk hidup dengan orang lain. Dia menolak Idealisme Jerman pada tahun 1845; dia menjelekkannya dengan mengatakan bahwa filsafat itu dan “studi aktualitas” mempunyai hubungan yang sama bagai masturbasi dan cinta seksual”. Kesan itulah yang didapat oleh seseorang yang mulai dewasa dalam pemenuhan kebutuhan seksual. Dia juga memberikan penilaian buruk terhadap pemikiran-pemikiran yang menolak kehidupan seksual seperti masturbasi, hidup menyendiri dan keasyikan dengan diri sendiri. Dia tumbuh dewasa dalam dua pertentangan itu, dia merasakan, dan tumbuh dalam pemikiran yang lebih sehat dan lebih dewasa dalam “studi aktualitas” seperti cinta seksual, melihat dunia luar dan berhubungan dengan orang lain (Berman 2002: 39).

Manuskrip-manuskrip Ekonomi & Filsafat yang ditulis Marx tahun 1844, menampilkan pendapat Marx tentang cinta dan seks, yang sering dirujuk oleh para peneliti dan penulis tentang Marx dan Marxisme, sebagai berikut:

Hubungan antarmanusia yang tidak terasing, diperlihatkan oleh Marx dengan indah pada hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan. ”Hubungan langsung, alami, niscaya, manusia dengan manusia adalah hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Dalam hubungan alami ini hubungan manusia dengan alam langsung menjadi hubungan dengan manusia, sebagaimana hubungan dengan manusia langsung adalah hubungan dengan alam ... Dalam hubungan ini juga terlihat sejauh mana kebutuhan manusia menjadi kebutuhan manusiawi, jadi sejauh mana orang lain menjadi kebutuhan, sejauh mana ia dalam eksitensi individual sekaligus makhluk sosial” [EPM, MEW EB 1, 534]. Maksud Marx: dalam cinta, laki-laki dan perempuan saling menjadi kebutuhan secara alami; secara alami dan spontan manusia yang satu terdorong dan gembira untuk memenuhi kebutuhan manusia yang lain, tanpa melirik pada keuntungan egoisnya sendiri. Apabila dua orang saling mencintai, mereka ingin saling membahagiakan. Kebahagiaan yang satu adalah kebahagiaan yang lain dan sebaliknya. Apabila mereka saling memberi hadiah, mereka tak pernah berpikir untuk menuntut pembayaran. Maka cinta sejati merupakan hubungan di mana individu bersifat individu sekaligus bersifat sosial” (Magnis-Suseno 2001: 99).

Atau, mengutip langsung dari Manuskrip-Manuskrip Ekonomi dan Filsafat Marx tahun 1844:

”In the approach to woman as the spoil and handmaid of communal lust is expressed the infinite degradation in which man exists for himself, for the secret of this approach has its unambiguous, decisive, plain and undisguised expression in the relation of man to woman and in the manner in which the direct and natural procreative relationship is conceived. The direct, natural, and necessary relation of person to person is the relation of man to woman. In this natural relationship of the sexes man’s relation to nature is immediately his relation to man, just as his relation to man in immediately his relation to nature – his own natural function. In this relationship, therefore, is sensuously manifested, reduced to an observable fact, the extent to which the human essence of man. From this relationship one can therefore judge man’s whole level of development. It follows from the character of this relationship how much man as a species being, as man, has come to be himself and to comprehend himself; then relation of man to woman is the most natural relation of human being to human being. It therefore reveals the extent to which man’s natural behavior has become human, or the extent to which the human essence in him has become a natural essence – the extent to which his human nature has come to be nature to him. In this relationship is revealed, too, the extent to which man’s need has become a human need; the extent to which, therefore, the other person as a person has become for him a need – the extent to which he in his individual existence is at the same time a social being”. (Marx 1961: 101).

”Assume man to be man and his relationship to the world to be a human one: then you can exchange love only for love, trust for trust, etc. If you want to enjoy art, you must be an artistically-cultivated person; if you want to exercise influence over other people, you must be a person with a stimulating and encouraging effect on other people. Every one of your relations to man and to nature must be a specific expression, corresponding to the object of your will, or your real individual life. If you love without evoking love in return – that is, if your loving as loving does not reproduce reciprocal love; if through a living expression of yourself as a loving person you do not make yourself a loved person, then your love is impotent – a misfortune.” (Marx 1961: 141)

Sementara itu, baik Engels maupun Marx sangat memperhatikan penderitaan perempuan, khususnya buruh perempuan, dalam perkembangan kapitalisme di Inggris. Engels lebih dulu melakukannya dalam The Condition of the Working Class in England: From Personal Observation and Authentic Sources, yang mula-mula terbit dalam bahasa Jerman tahun 1845. Sedangkan Marx dalam jilid pertama Das Kapital, yang terbit di tahun 1867. Walaupun jilid kedua dan ketiga dari studi yang begitu mendalam tentang kapitalisme itu disunting oleh Engels, bahan bakunya juga sudah dikumpulkan oleh Marx. Mengikuti jejak Engels dalam karya mendalam yang pertama tentang eksploitasi buruh dalam kapitalisme dini di Inggris, Das Kapital, terutama jilid pertama dan ketiga, sangat tajam membeberkan penderitaan buruh perempuan dan anak-anak dalam pabrik-pabrik di Inggris, mulai dari penyakit-penyakit lingkungan pekerjaan sampai dengan angka kematian perempuan dan anak-anak yang jauh lebih tinggi ketimbang buruh laki-laki (lihat Aditjondro 2006).

Selain itu, Marx dan Engels sempat berkolaborasi dalam ”membaca” kembali hasil penelitian antropologis Lewis Henry Morgan tentang masyarakat komunis purba bangsa-bangsa asli Amerika, sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa dengan sistem ekonomi kapitalisnya. Berdasarkan catatan etnologis Marx, yang mula-mula mendalami karya Morgan, Engels mengolahnya dan menerbitkan buku, The Origin of the Family, Private Property and the State di tahun 1884. Buku itu kemudian menjadi Injilnya gerakan feminis Marxis di AS, dengan merujuk kepada “penemuan” Engels bahwa masyarakat-masyarakat tribal di belahan benua Amerika Utara, belum dikuasai oleh patriarki sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa (lihat Tong n.d.: 150; Heywood 1992: 232).

Kesimpulan:

DARI seluruh uraian ini ternyata bahwa pemikiran Marx dan Engels untuk zaman mereka, sudah sangat maju peduli terhadap nasib buruh perempuan di awal Revolusi Industri di Inggris itu. Namun di awalnya, mereka tidak melihat hubungan antara penderitaan perempuan dalam sistem kapitalis, dengan patriarki yang merupakan ideologi dominan dalam hubungan di antara kedua jenis kelamin. Memang, dalam naskah-naskah ekonomi dan filsafatnya di tahun 1844, Marx mendambakan kesetaraan di antara kedua jenis kelamin, khususnya hubungan cinta seksual, sebagai relasi manusia yang paling ideal.

Tetapi dia, maupun sahabat karibnya, Engels, belum menyoroti relasi antara patriarki dan kapitalisme. Baru dalam dasawarsa terakhir hidupnya, setelah mempelajari karya Lewis Henry Morgan, Marx mulai melihat bahwa masyarakat komunis purba – di mana juga ada kesetaraan gender – seperti yang dia cita-citakan bersama Engels, sudah pernah ada. Sesudah kematian Marx, pengolahan pemikiran itu dituntaskan oleh Engels, yang bukunya, The Origin, menjadi acuan bagi aliran feminisme sosialis, khususnya feminis Marxis.

Apakah teori mereka sama dengan praxis mereka? Seperti juga kehidupan para pemikir besar yang lain, tentu saja tidak. Namun boleh dikata, praxis mereka dalam relasi mereka dengan significant others yang berkelamin perempuan, cukup mendekati teori mereka. Dengan perkecualian hubungan gelap Karl Marx dengan Helene Demuth, yang masih sangat terbatas referensinya, kehidupan perkawinan Karl Marx dan Jenny von Westphalen bisa bertahan, sampai maut memisahkan mereka. Begitu pula hidup bersama antara Friedrich Engels dengan Mary dan Lizzy Burns.

Bertahannya kehidupan perkawinan Karl dan Jenny Marx, tentu saja tidak bisa hanya didasarkan pada kesetiaan Marx, tapi juga pada kerelaan Jenny untuk ikut mendukung perjuangan suaminya, sebagai bukti dan bakti cinta dia pada Karl, kekasih sejak masa remajanya. Begitu pula kita perlu angkat topi buat kedua bersaudari Mary dan Lizzy Burns, yang ikut berperan dalam radikalisasi pemikiran dan perjuangan Engels, membela hak-hak buruh di Inggris, selama hidup bersama Engels selama dua dasawarsa.

cerita pendek

Anak-anak dan Beban Pasif


Seperti biasa dihari Jumat, setelah melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim yaitu Shalat Jumat di Masjid Al-Falah, anak-anak (begitu biasanya saya menyebut teman-teman saya) biasa mencari sandaran di luar altar masjid untuk sekedar ber-kongkow-an dalam rangka melepas lelah setelah letih melawan rasa kantuk pada saat khatib berkhutbah. Dan kebetulan saat itu memang khutbah terasa lama sekali. Memang Jamaah kampung kami sedikit maklum akan kebiasaan KH. Abdillah Isak yang jika sudah berkhutbah tidak pernah ingat waktu.

Jumat itu Yomi tidak biasanya absen dalam kongkow-Jumatan yang biasa digelar setelah memenuhi kewajiban jumatan. Dan sebagai gantinya saya yang hadir waktu itu. Karena memang saya hampir tidak pernah ikut riutal ini disebabkan saya biasa shalat ditempat saya bekerja. Dan kebetulan hari Jumat ini sedang libur.

“Yomi kemana, Bay” ivan memulai ritual ini dengan menanyakan keberadaan yomi yang memang tidak kedengaran beritanya. “Katanya sih pergi ke Tangerang, ke rumah kakaknya yang perempuan” jawab ubay sambil mulai menyundutkan rokoknya yang baru saja diantarkan oleh Ujang, tukang warung yang di samping Masjid Al-Falah.

Lalu tiba-tiba Om Kur, tetangga depan saya, datang dan mengagetkan saya yang sedang merebahkan badan yang sudah agak sedikit kelebihan beban ini. “Woi.. Anak-anak muda, Jumat ini gelar diskusi apa nih?” om Kur tiba-tiba bertanya dan sepertinya telah mengetahui pergelaran ritual yang biasa kami lakukan setelah jumatan. Memang om Kur, yang juga pegawai pajak dan kebetulan sedang libur karena tanggal merah yang telah digeser dari hari kamis ke hari jumat dengan seenaknya (entah apa alasannya atau pertanyaannya sebenarnya adalah pentingkah alasannya?) oleh pemerintah, pernah bergabung sekali, kira-kira 3 jumatan yang lalu.

“Eh, om Kur,” aku terkejut dan langsung merubah posisiku menjadi duduk bersandar di dinding masjid tepat disebelah ivan yang sudah lebih dulu bersandar, “ngga Om Kur, kebetulan dari tadi kita belum diskusi apa-apa, dan sebenarnya memang dah sepakat untuk tidak banyak omong jumat ini. Kita cuma lagi melihat anak-anak di tanah lapang itu yang sedang asyik menerbangkan layang-layangnya.”

“Bener, Om,” ivan melanjutkan dan nampak tak enak akan kehadiran om Kur namun tanpa ada diskusi atau pembicaraan, “kita Cuma lagi khidmat dan sedikit menikmati anak-anak itu yang sedang asyik bermain layang-layang. Dan nampaknya anak-anak itu malah seperti layang-layang itu sendiri.”

“Maksudnya seperti layang-layang itu apa Van?” tanya om Kur dengan sedikit penasaran dengan kata-kata yang digunakan ivan dalam menilai kejadian yang sama-sama kita saksikan. “Ane sepertinya tahu maksud perkataan ente van,” ubay langsung mencoba menafsirkan perkataan ivan tadi, “maksud ente anak-anak itu seperti layang-layang yang bebas terbang dan bermain seperti tiada beban. Seperti tidak terbebani atas setiap kebijakan pemerintah yang kadang agak ‘usil’, tidak terbebani atas kenaikan harga beras yang menjulang tinggi, dan juga tak terbebani atas carut-marut sistem pendidikan kita. betul, Kan?” ubay menjawab dengan penuh keyakinan. Dan memang saya kira cukup masuk akal apa yang diucapkan ubay dalam menafsirkan perkataan ivan tadi.

“Hehehe… iya betul juga, Bay. Sepertinya memang anak-anak itu tak pernah ingin sibuk memikirkan hal-hal yang ‘tidak bermanfaat’ bagi mereka. Lagian juga memang seharusnya anak-anak itu seperti itu kan? Mereka harus dipelihara oleh negara untuk kemajuan negara sendiri” om Kur langsung menyetujui pendapat ubay yang memang sangat benar juga menurut saya. Lalu saya menambahkan perkataan om Kur, “Bener tuh om Kur. Seharusnya anak-anak itu dijadikan sebagai investasi negara dengan cara diberi kebebasan dalam setiap melangkah sehingga nantinya, paling tidak, sedikit ikut serta dalam membentuk budaya negara itu sendiri.”

“Menarik, dan ada benarnya. Tapi menurut saya layang-layang itu tidak terbang dengan bebas. Ia dikuasai oleh seseorang dengan perangkat yang namanya benang.” Ivan coba bermain-main lagi dengan kata-katanya. “Jika kita bicara seharusnya atau apa yang biasa disebut dengan suatu yang ideal, apa yang Om Kur ucapkan tadi dan apa yang sudah ditambahkan oleh Aid(panggilan saya) adalah benar. Tapi, mbo ya kita dalam melihat suatu itu jangan yang ideal terus, sekali-kali lihat suatu dengan pandangan yang riil.”

"Maksudnya yang riil?” tanya om Kur kepada ivan sambil meletakkan gelas berisi kopi yang telah lama berada di genggamannya.

“Riil menurut saya bahwasanya anak-anak itu sepertinya memang tak terbebani oleh masalah yang ada. Namun sejatinya anak-anak itu telah dilibatkan oleh penguasa bahkan mungkin telah dipertaruhkan kehidupannya dengan setiap kebijakan-kebijakan yang diambil. Bahkan anak-anak itu sepertinya telah menjadi korban zaman rusak, yaitu zaman salah urus yang menyebabkan anak-anak itu utnuk mendapatkan pendidikan yang cukup tak pernah terwujud. Zaman revitalisasi feodalisme yang hanya melahirkan priyai-priyai kemaruk, kagetan, dan gumunan.” Ivan sengaja tidak lagi menyandarkan tubuhnya dan mulai duduk bersila.

“Kebebasan mereka, yang seperti tiada beban dalam menjalani hidupnya, hakikatnya adalah kebebasan semu yang mungkin dapat merusak, jika tidak sekarang, kehidupan masa depannya. Keterbebanan anak-anak itu bersifat pasif, ya karena memang mereka hanyalah anak-anak yang hanya seperti layang-layang itu, terbang menembus udara namun tetap ‘dibebani’ oleh pemain layang-layang itu dengan menggunakan benang yang ditarik-ulur. Sama seperti pemerintah kita menguasai anak-anak itu, yang salah satunya, dengan perangkat hukum UUD’45. Pasal berapa, Id?” ivan bertanya kepada saya mengenai pasal yang mengatur anak-anak, terutama anak-anak terlantar.

“Pasal 34, Bang” saya jawab dengan seyakin-yakinnya karena memang pasal ini yang sangat saya hapal pada UUD45, selain pasal 29 tentang kebeasan beragama.

“Ya, itu! Pasal 34 itu merupakan perangkat hukum untuk menjaga keutuhan anak-anak, terutama yang terlantar. Namun perangkat itu telah ditarik-ulur oleh pemerintah dengan kasar. Yah dengan kasar.”

“Jadi bagaimana kita menghilangkan keterbebanan-pasif anak-anak diseluruh negeri ini, supaya bisa membentuk kebudayaan seperti yang dikatakan Aid tadi, Van?” Om Kur dengan sedikit menggebu menanyakan solusi apa yang harus dilakukan.

“Hehm….., ivan sedikit tersenyum dan melanjutkan bicaranya. ”Mbo ya jangan muluk-muluk banget, Om, melepaskan keterbebanan-pasif seluruh anak di negeri ini,” seperti biasa ivan menjawab santai, “Mbo ya… anak sendiri dulu. Pendidikannya dijamin, makanannya yang halal, jangan terlalu dimanja, dan yang paling penting jangan lupa, yaitu kasih sayang supaya nanti besarnya selalu menebar kasih kepada sesama.”

“SETUJU…..!!!!” Saya dan ubay langsung bersama-sama mengucapkannya.

“Terus kita juga berharap dari orang-orang seperti Om Kur ini, yang punya kerjaan di tempat yang ‘basah’. Hehehehehe……, supaya memberi sedikit basah-basahnya sama anak-anakdi negeri ini.” saya langsung menyambungnya.

“Ah…, kalian bisa aja.” Om Kur merasa tersindir. Tapi kita semua tahu bahwa Om Kur adalah salah satu orang yang sangat dermawan di kampung ini. Walaupun kita semua tidak tahu status atas harta yang beliau infak-kan pada kebutuhan kampung ini. Maklum saja bahwa sudah menjadi rahasia umum bahwa tempat kerja Om Kur syarat dengan maal-syubhat. Tetapi mudah-mudahan Om Kur tidak seperti ‘itu’ melainkan seperti yang biasa kita lihat bahwa dia sering datang ke masjid ini sebagai salah satu jamaahnya. (walaupun sebenarnya tingkat keshalehan seseorang tidak dapat dilihat hanya dengan rajinnya seorang ke Masjid).


Catatan: kata-kata yang bertulis tebal di ambil dari novelnya Ahmad Tohari yang berjudul "Orang-orang Proyek"