Senin, 30 Juni 2008

kematian maftuh fauzi

Dalih Yang Menyebabkan Kematian Maftuh Fauzi

“Ada kemiripan perilaku berbohong oleh pihak berwenang; dokter yang menangani dan aparat kepolisian dalam kasus kematian Maftuh Fauzi (mahasiswa Universitas Nasional) dan Irfan Maulana (Joki 3 in 1) sebagai perilaku pembohongan publik yang terus menerus digunakan.”


Semula berawal dari kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat, menaikkan harga Bahan Bakar Minyak sebesar 28,7%. Akibatnya beban hidup rakyat bertambah, jumlah arga miskin meningkat.

Keprihatinan dan empati terus mengalir.Buruh tani, mahasiswa dan rakyat miskin bergerak bersama-sama menolak rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak. Sebab,kelompok masyarakat inilah yang memang menderita akibat kebijakan pemerintah yang melayani kepentingan neoliberalisme.

Gerakan itu bukan sekadar basa-basi atau rasa marah sesaat. Mereka bahkan menawarkan solusi; nasionalisasi perusahaan-perusahaan tambang asing, berani-menolak hutang luar negeri, menyita harta koruptor-koruptor. Bahkan celoteh Kwik Kian Gie, kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak omong kosong. Menurutnya pemerintah tak harus memilih menaikkan harga Bahan Bakar Minyak.

“Jujur, kalau pemerintah memang memihak rakyat,Indonesia sebagai penghasil minyak bumi bisa menghindari harga krisis minyak dunia yang disebabkan oleh krisis ekonomi global, perang, dan krisis politik dalam negeri Amerika,” kata Kwik Kian Gie.

Bagi Maftuh Fauzi dan ratusan mahasiswa Universitas Nasional atau Unas yang menolak rencana kenaikan Bahan Bakar Minyak adalah sebuah perjuangan senyatanya. Bukan teori atau sekadar retorika belaka tapi aksi yang ditunjukkan melalui solidarita aksi massa. Mereka orang-orang yang membuat pilihan dengan sadar, berada di posisi bersama rakyat miskin, menolak kebijakan yang menyengsarakan dan menyesatkan itu.

Insiden Universitas Nasional

Pemerintah tak menggubris keinginan rakyat untuk tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak. Pada 23 Mei 2008 kenaikan harga Bahan Bakar Minyak itu diresmikan. Unjuk rasa penolakan semakin meluas di banyak kota di Indonesia.

Di Unas, unjuk rasa memanas. Sekelompok polisi menyerbu kampus itu sekitar pukul 4 pagi 24 Juni 2008, pada saat mahasiswa sudah berhenti aksi dan kembali ke kampus. Terjadi bentrok fisik antara Mahasiswa Unas dan anggota Pengendali Massa atau Dalmas dari Polres Jakarta Selatan. Bentrok pun berakhir dengan drama penyerbuan oleh pihak polisi, ditangkapnya 114 mahasiswa. Ditemukannya ‘seonggok daun ganja’ dan Granat.

Korban berjatuhan. Menurut para wartawan yang meliput sekitar pukul 06.30 pagi itu, polisi berlaku diskriminatif dengan melarang sebagian wartawan untuk ikut meliput penyerbuan dan penangkapan ke dalam kampus. Sehari sesudahnya berita pun tersiar.

Publik dipaksa menerima kejadian tersebut sebagai ‘Insiden Unas’. Tidak hanya penangkapan dan penahanan. Kerugian materi pun turut ditanggung pihak warga kampus Unas. Kaca-kaca berserakan, beberapa mobil dan motor hancur bahkan ruang koperasi ikut menjadi sasaran penyerbuan, hancur berantakan mirip kondisi paska perang.


Sudah terjadi pelanggaran hak asasi manusia di sana; penangkapan dan penahan tanpa prosedur yang berlaku, pemukulan, penganiayaan, perlakuan kasar dan intimidasi kepada para mahasiswa Unas yang ditangkap.

Lantas, ratusan mahasiswa Unas digelandang ke kantor polisi karena dianggap telah melakukan kejahatan dan perbuatan meresahkan masyarakat ketika menolak kenaikan Bahan Bakar Minyak yang dinilai anarkis.Beberapa hari kemudian para mahasiswa yang ditahan itu dicap sebagai pengguna narkotika dan obat terlarang. Ada upaya pembuktian dari hasil tes urin. 55 mahasiswa dituduh sebagai pengguna narkoba, meski bentuk pemeriksaan tersebut dinilai tidak independen dan terkesan dipaksakan.

Meskipun penahanan para mahasiswa ini bukan lantaran terjerat razia narkotik, namun dengan dalih penemuan ‘seonggok daun ganja’polisi merasa berhak memeriksa urin para mahasiswa tanpa menunggu proses penyelidikan darimana barang bukti—ganja itu berasal. Mereka tidak menghormati hak-hak tersangka untuk mendapatkan perlakuan adil, seperti adanya bukti permulaan yang cukup; yang terkandung dalam laporan polisi, berkas acara pemeriksaan, tempat kejadian perkara, laporan hasil penyelidikan, keterangan saksi ahli dan barang bukti). Memperlihatkan surat penangkapan pun tidak dilakukan, padahal itu prosedur terpenting. Polisi merasa berhak menggunakan wewenangnya didasari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Kepolisian.

Ketidakadilan itu juga dialami oleh para Mahasiswa yang terluka. Ada yang robek kepala, patah, lebam dan trauma. Mereka dibiarkan begitu saja seperti disengaja untuk tidak diberikan pelayanan kesehatan selama dua hari. Meski pada akhirnya diberikan pertolongan ala kadarnya. Itu pun bukan bagian dari sikap profesionalisme dalam menjunjng tinggi dan menghormati hak-hak asasi manusia, tapi lebih didasarkan atas ketakutan semata, karena kondisi korban makin parah. Terjadi infeksipada luka robek dan menganga, ada juga yang muntah-muntah. Maftuh Fauzi termasuk salah satu korban terluka yang mengalami pembiaran itu.

Tim Pencari fakta

Insiden Unas kemudian mendapatkan perhatian dari berbagai pihak dan media, termasuk para anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras dan tentu saja gerakan-gerakan mahasiswa dan rakyat lainnya.

Desakan untuk mencari kebenaran pun melahirkan Tim Pencari Fakta yang diketuai oleh Yoseph Adi Prasetyo koordinator Tim Pencari Fakta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam temuannya terungkap; adanya penggunaan granat dan proyektil peluru karet sebanyak delapan belas butir. Dan itu tidak diakui sebagai proyektil yang biasa digunakan oleh Dalmas. Dalam hal ini polisi tidak menggunakan Prosedur Tetap yang diterbitkan pada 5 Desember 2006, oleh Kapolri Jenderal Polisi Sutanto. Pasal 14 menyatakan Dalmas tidak boleh arogan dan terpancing oleh perilaku massa. Dalmas juga tidak perlu bertindak keras yang tidak sesuai dengan prosedur. Tindakan keras jika dalam kondisi yang proporsional –apakah hijau, kuning, atau merah.

Kepala Bagian Operasi Polres Jakarta Selatan, AKBP Elbin Darwin mengakui bahwa dalam menangani kasus unjuk rasa Unas dimengerti sebagai bukan kondisi kekacauan. Sepengetahuan Kapolersta Jakarta Selatan Kombes Chairul Anwar, Prosedur Tetap tidak digunakan sebagai acuan. Diperjelas bahwa tak perlu ada alih komando Dalmas Lanjut kepada Brimob (PHH).

Berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta di lapangan telah terjadi pemukulan oleh para Dalmas dan polisi yang berseragam preman yang memang tidak diatur dalam Prosedur Tetap.(sumber: Hukum Oline.Com) Temuan ini juga diperkuat oleh hasil pemeriksaan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bahwa penyerbuan itu memang melanggar prosedur tetap, ujar Pandu Praja. Secara prosedur yang bisa melakukan penindakan aksi massa adalah Brigade Mobil (brimob). Contoh lain pelanggaran Prosedur Tetap adalah pada kasus penembakan petani Alas Tlogo oleh Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Laut.

Dalih ‘Penyebab Kematian’

Seorang mahasiswa Akademi Bahasa Asing angkatan 2003, ia termasuk 31 mahasiswa yang dibebaskan paling akhir. Menurut rekan satu sel, Maftuh Fauzi sering mengeluh karena menderita luka di kepala. Selama dua hari sejak ditahan Maftuh Fauzi tidak mendapatkan pengobatan. Luka di kepala semakin terasa. Bahkan karena terpaksa, Ia mengikat paksa kedua lengannya agar tak memukul-mukul kepala karena sakit yang maha hebat itu.

Berikut adalah kronologi meninggalnya Maftuh Fauzi (sumber: Solidaritas Mahasiswa Unas)


Pada 2 Juni 2008, Maftuh dibebaskan pukul 08.00 dan dirawat inap tanggal 10 sampai 17 Juni 2008 di Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia di Cawang. Sebelum dibebaskan, ia sempat mengeluh sakit kepala hebat selama beberapa hari ditahanan Mapolres Jaksel. Kepala bagian belakang sobek dan beberapa bagian tubuh memar akibat pukulan benda tumpul.

Pada 17-20 Juni 2008 Maftuh dipindahkan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta karena kurang mendapat perawatan yang memadai. Kepindahan itu atas desakan beberapa mahasiswa Unas kepada pihak rektorat sebagai bentuk pertanggungjawaban. Jumat, 20 Juni 2008 ia mengembuskan napas terakhir pukul 11.20.

Persoalannya, keterangan para dokter Rumah Sakit Pusat Pertamina menyebutkan, kematian Maftuh Fauzi akibat terinfeksi HIV secara menyeluruh, sistemik, tidak berfungsinya organ tubuh. Menurut para dokter, mereka tidak menemukan luka atau kelainan pada bagian kepala Maftuh Fauzi.

Berbeda dengan pernyataan dokter Rumah Sakit Fakultas Kedokteran UKI Cawang, Miftah Fauzi dinyatakan menderita trauma terbuka di kepalanya. (lihat rekam medis, sumber: www.mediabersama.com) Bahkan dalam blog ondosupriyanto(www.ondosupriyanto.blogspot.com) melaporkan dari Desa Adikarto di Kabumen, Sabtu, 26 Juni 2008 pukul 01.30 saat jenazah Maftuh Fauzi dimakamkan.

Ondo menyatakan, dalam keterangan kepada wartawan, ketua tim forensik Rumah Sakit Umum Margono Purwokerto, dokter M Zaenuri Samsul Hidayat didampingi Kepala bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Kombes Pol Drs Syahroni an Kapolres Kebumen AKBP Triwarno Atmojo mengatakan, hasil sementara dari emeriksaan luar dan dalam, telah ditemukan luka memar akibat bersentuhan dengan benda tumpul di kepala bagian belakang. Namun luka tersebut telah mengalami kesembuhan.

Tim forensik belum bisa mengambil kesimpulan penyebab kematian Maftuh Fauzi. Untuk mengetahui penyebabnya, tim forensik mengambil sampel otak, hati,darah, untuk dikirim ke laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Diponogoro Semarang. “Hasilnya baru akan diketahui seminggu mendatang,” katanya.

Cukup jelas, dengan membandingkan keterangan dari beberapa pihak Rumah Sakit dan dokter yang berbeda, Miftah Fauzi, memang menderita luka di bagian kepala. Meskipun keterangan ini dianggap tidak pernah ada oleh pihak dokter Rumah Sakit Pusat Pertamina. Wajar saja jika mahasiswa Unas menolak keterangan dari Rumah Sakit itu.

Bentuk kebohongan publik yang dilakukan oleh dokter (kaum profesional) bukan baru kali ini terjadi. Pada kasus penganiayaan hingga meninggalnya Irfan Maulana, seorang anak berusia 14 tahun yang bekerja sebagai joki 3in1 di Jakarta. Bocah itu disiksa oleh sembilan orang Polisi Pamong Praja, 8 Januari 2007. Dokter yang memeriksa menyatakan Irfan Maulana ditemukan tak bernyawa di tengah jalan karena menderita epilepsi.

Meskipun keterangan saksi yang seorang kawan Irfan bertentangan, tapi kebohongan itu terlanjur dipercaya, lantaran argumentasi para dokter lebih dipercaya daripada keterangan saksi bocah ingusan yang selalu dipinggirkan. (Baca disini:www.rakyatmiskin.wordpress.com)

Sejak Soeharto dan Orde Baru berkuasa, sejak itu pula tatanan masyarakat dibangun dengan pondasi tulang belulang dan darah rakyat yang dihilangkan. Dusta menjadi hal yang teramat sering digunakan di semua aspek kehidupan. Kebohongan muncul dari para intelektual, kaum profesional dan tentu saja aparat. Kehidupan masyarakat tak ubahnya hidup dalam gelembung kebohongan yang diciptakan sejak awal pada tahun 1965.

Keterangan dokter di Rumah Sakit Pusat Pertamina soal penyebab kematian Maftuh sungguh memungkinkan berupa kebohongan belaka, karena kekuasaan memang berada di belakangnya. Fakta telah membuktikan dalam kasus Irfan Maulana. Seorang dokter mampu berbohong dan membuat kebohongan umum.[end]

demokrasi

Membedah demokrasi

Sebuah pernyataan menggelikan kembali terlontarkan dari istana. Berkali-kali dalam setiap jumpa pers, presiden SBY melontarkan mantra-mantra demokrasi untuk membobokkan rakyat. Pernyataan ini semakin diperjelas oleh juru bicara presiden Andi Mallarangen, ketika mengomentari berbagai bentuk aksi massa yang mengarah pada konfrontasi-konfrontasi dengan apparatus keamanan. Mallarangen menyederhanakan demokrasi sekedar metode menyampaikan pendapat secara damai dan tidak ada kaitannya dengan proses kekuasaan. Ini adalah pernyataan reduksionis dan cukup manipulatif. Demokrasi menurut istana adalah stabilisasi kehidupan politik dan kanalisasi aspirasi atau protes-protes rakyat. Kalau sudah demikian, bagaimana tanggung jawab demokrasi atas korban dari kebijakan? Bukankah demokrasi juga bermakna mengankat semua orang agar memiliki posisi secara sama rata dalam tata-hubungan (relasi produksi).

Demokrasi yang telah disederhanakan (reduksi) oleh orang-orang istana sebagai hanya persoalan metode penyampaian pendapat, secara tidak sadar dilakoni oleh kaum kiri dalam setiap tahunnya, bahkan dimasa-masa mendatang. Kita menyebut ini adalah proyek kanalisasi, dimana aksi-aksi massa dirangkum sebagai “arus kecil namun mudah dijinakkan”. Andi menyebut proses ini sebagai “bunga-bunga demokrasi”. Tidak. mereka telah melupakan bahwa demokrasi identik dengan persoalan kekuasaan, bukan persoalan metode penyampaian pendapat.

Bunga –bunga demokrasi

Bunga adalah hiasan keindahan. Dimana-mana, apapun warna dan baunya, bunga selalu ditempatkan sebagai bahan pajangan untuk dinikmati dan memberikan ketenangan pada perasaan. Jika aksi massa ---yang menurut Andi Mallarangen terjadi setidaknya 3 kali sehari—dianggap sebagai bunga-bunga demokrasi, maka apaguna warna-warna merah dan symbol-simbol revolusioner yang bertaburan diperangkat-perangkat aksi massa kalau kita hanya sekedar pajangan. Tidak, kita sedang melakoni sebuah perjuangan klas. Sebuah perjuangan yang usianya sama dengan sejarah perkembangan masyarakat. Kita berdiri digaris depan dari lautan massa rakyat yang masih tertidur untuk membangunkannya, menuntunnya, dan berjalan dengan mereka menuju sebuah tatanan masyarakat baru. Marx mengatakan bahwa setiap perjuangan klas mestilah merupakan perjuangan politik, dan politik adalah perjuangan untuk berkuasa. Harus diingatkan lagi kepada kawan-kawan semua bahwa perjuangan kita bukanlah untuk menjadi “bunga-bunga demokrasi-nya” Mallarangen, kita berjuang bukan untuk jadi pajangan. Akan tetapi, perjuangan yang sedang dikerjakan adalah perjuangan untuk perebutan kekuasan politik.

Kenapa perjuangan kita sampai dijadikan pajangan? Untuk ini, cukup dengan sebuah analogi sederhana. Sesuatu yang dijadikan pajangan adalah sesuatu yang tidak membahayakan penikmatnya (penontonnya). Kalaupun ia merupakan sesuatu yang berbahaya, sesuatu itu harus dijinakkan atau dibuat kurungan agar tidak berbahaya. Cakupan objek yang dirangkum dalam peristilahan ini adalah keseluruhan aksi-aksi damai didepan istana negara dan aksi-aksi serupa dikantor-kantor pemerintahan lainnya, dimanapun. Ketidakberdayaan kaum oposisi dalam memberikan tekanan politik terhadap tembok-tembok memisahkan antara negara dan rakyat, membuat penguasa yang berlindung dibalik tembok itu merasa aman. Ketika mereka mulai terancam dan terusik oleh gemuruh orang dibalik tembok, maka pada saat itulah penguasa keluar dari balik tembok dan melancarkan kekerasan atau perang. Selama mereka belum terusik, mereka akan melakukan pendekatan yang cukup moderat dan jinak.

Demokrasi bagi istana adalah demokrasi yang tidak mengancam kesinambungan kekuasaan dari rejim yang berkuasa. Demokrasi mereka seperti tanaman bonsai yang bisa dibentuk sesuai keinginannya, kerdil, dan menarik buat mereka. Demokrasi liberal atau demokrasi borjuis berdiri seolah-olah membela kepentingan semua klas, termasuk membela kepentingan dua klas yang antagonistic tanpa merugikan salah satunya. Ini tentu merupakan pernyataan menggelikan. Tidak mungkin ada demokrasi kalau masih ada pengekangan. Demokrasi yang netral atau sering dikatakan demokrasi murni (seperti ungkapan Karl Kautsky) adalah hal yang mustahil dalam keberadaan masyarakat berklas. Dimanapun dibelahan dunia ini, demokrasi liberal selalu tampil membelah kepentingan klas borjuis. Meskipun mereka berdalih bahwa kompetisi sehat akan menjadi ukuran kemurnian demokrasi, akan tetapi kompetisi sehatpun patut dipertanyakan dalam masyarakat yang tersusun dalam klas-klas. Kenyatannya, demokrasi liberal telah menjadi selaput kekuasaan kaum borjuis untuk menghadang partisipasi kaum miskin.

Jika demokrasi hanya sekedar kebebasan menyampaikan pendapat. Maka orang-orang istana termasuk intelektual-intelektual pendukung tipe demokrasi ini telah melakukan kesalahan besar ketika mengukur demokrasi sekadar ide (gagasan) dan cara (instrument). Penyampaian pendapat adalah cara/instrument demokrasi yang disahkan oleh kaum liberal sebagai alternatif jika mekanisme parlementer tersumbat. Mereka mengakui aksi-aksi massa, demonstrasi-demonstrasi, pawai-pawai, dan pertemuan-pertemuan akbar sebagai sarana alternative demokrasi borjuis. Pengakuan ini bukan karakteristik alami demokrasi liberal, tetapi ini adalah tuntutan dari gerakan progressif dan gerakan klas pekerja.

Mengharapkan demokrasi liberal ataupun demokrasi versi “elit istana” bisa menyelesaikan problem sosial, ekonomi, budaya, sosial dan hukum adalah tidak mungkin. Demokrasi ini kendati terlahir dari semangat revolusi perancis, tetapi mengambil semangat dan kepentingan klas borjuis. Tidak salah, demokrasi liberal merupakan demokrasi pembela kekuasaan kaum borjuis.

Demokrasi baru, Demokrasi Kerakyatan

Pada abad ke 19, demokrasi tidak dapat disamakan dengan liberalisme. Liberalisme lebih dikenal sebagai sistem elitis dari mesin konstitusional dan pembagian kekuasaan, jaminan hak sipil tapi bukan kedaulatan rakyat sebagai implikasi demokrasi (Diana Raby, 2007). Bersamaan dengan gelora demokrasi borjuis, kaum pekerja di Paris membangun komune sebagai bentuk politik dari negara pekerja pertama. Kendati berumur singkat, komune paris merupakan bentuk demokrasi lansung yang pertama. Pada tahun 1930-an, stalinisme menguasai semua pencitraan tentang komunisme dan sosialisme. Stalinisme yang menekankan pada pembelaan pada birokratisme telah menenggelamkan model demokrasi alternatif yakni dewan pekerja (soviet). Tahun 1936, Stalin mengumumkan konstitusi baru yang secara formal melikuidasi kekuatan soviet, menggantikan demokrasi soviet dengan demokrasi parlementer borjuis yang penuh tipu daya yang di dalam konstitusi tersebut penduduk diperbolehkan memilih satu-satunya partai yang secara rutin "memenangkan" 99 persen suara pemilih. Dengan demikian kita lihat bahwa meskipun masih disebut "Uni Soviet", negeri itu, di bawah pemerintahan birokratik Stalinis, sama sekali berbeda dengan rezim demokrasi soviet yang terbentuk sebagai hasil Revolusi Oktober, di bawah pimpinan Lenin dan Trotsky. Keruntuhan eropa timur merupakan lonceng kematian sekaligus kemenangan bagi mereka yang menyebut dirinya demokrat-liberal.

Kemenangan sementara demokrasi liberal dimanfaatkan dengan begitu baik oleh intelektual-intelektual pendukungnya di barat dan kakitangannya di belahan dunia yang miskin. Mereka segera menyebarkan ideology dan wacananya (discourse) ke berbagai belahan dunia, termasuk eks komunis, dan memproklamasikan bahwa inilah jalan satu-satunya, tidak ada yang lain. Jargon-jargon seperti “good governance”, “Civil Society”, dan “Promosi demokratisasi” membanjiri wacana dan kajian di lembaga-lembaga universitas, penelitian, LSM, bahkan lembaga pemerintahan. Begitu pula dengan Indonesia, paska kejatuhan rejim orde baru, selain penyesuaian structural dalam front ekonomi, juga terjadi penyesuaian structural dalam lapangan politik, seperti perombakan sistem politik, pemilu, lembaga parlemen, desentralisasi, dan lain-lain. Begitu dibanjiri dengan propaganda liberal, sehingga pemerintah dan kaki-tangannya gagap dalam menyesuaikan diri dalam waktu yang agak singkat.

Menghadapi situasi ini, tidak ada pilihan, rakyat Indonesia harus bergerak menemukan tipe demokrasi yang baru. Tipe demokrasi yang sesuai dengan corak masyarakat Indonesia dan sanggup memenuhi kepentingan-kepentingan mendesak dan strategis rakyat Indonesia. demokrasi baru ini akan mengembalikan kekuasaan sejati ketangan rakyat. Sehingga demokrasi baru ini menekankan pada partisipasi rakyat dalam kehidupan politik dan kontrol kolektif terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik.

Kami menyebut demokrasi yang baru sebagai demokrasi kerakyatan. Demokrasi ini mensyaratkan keberpihakan kepada kekuatan masyarakat baru (klas pekerja, petani, dan klas-klas terpinggirkan) dan membuka pintu bagi kekuasaan rakyat. Keberpihakan yang jelas dan tegas merupakan demarkasi nyata antara konsistensi demokrasi kerakyatan dengan prasangka menggelikan demokrasi borjuis yang seolah tampil sebagai pendamai. Kita menyakini segala instrument politik yang lahir dalam masyarakat berkelas sudah pasti akan mengabdi kepada kepentingan klas berkuasa. Sehingga keberadaan demokrasi baru memiliki fungsi menghancurkan dan membangun, yakni menghancurkan sistem demokrasi lama dan membangun masyarakat baru yang lebih baik.

Kaitannya dengan aksi-aksi massa yang dicap sebagai “bunga-bunga demokrasi” oleh pengusung demokrasi liberal, maka demokrasi rakyat akan menyandarkan kekuatannya justru pada aksi-aksi rakyat, mobilisasi-mobilisasi umum, dan berbagai bentuk perjuangan klas. Kalau demokrasi liberal membunuh partisipasi politik dan hak-hak umum klas pekerja dan kaum terpinggirkan, maka demokrasi kerakyatan akan memberi mereka kekuatan, kepercayaan diri, dan kesadaran baru tentang masa depan yang lebih baik.

Krisis akut sedang menerjang sistem kapitalisme. Terjangan krisis bukan hanya pada aspek ekonomi semata, tetapi juga pada lapangan sistem politik dan budaya. Proyek demokrasi AS di Irak dan Afghanistan ditentang dengan perlawanan bersenjata oleh kelompok perlawanan. Dimana-mana, AS mencoba mendanai proyek-proyek demokrasi guna mempertahankan kesinambungan pengaruhnya di berbagai kawasan. Akan tetapi, usaha ini sedikit mengalami kegagalan karena metode-metode demokrasi procedural mulai dijungkir-balikkan oleh gerakan massa yang menjatuhkan pemerintahan. Di Argentina, gerakan rakyat dan kaum terpinggirkan berhasil menjatuhkan presiden lewat cara-cara aksi massa. Di Filipina, baru saja terjadi “people power” yang menjatuhkan presiden Estrada yang dipilih oleh mekanisme demokrasi borjuis. Pendalaman dan perluasan aksi-aksi massa yang berbarengan dengan kelahiran metode-metode demokrasi lansung telah menjadi embrio—meskipun masih kecil—dari sebuah tatanan masyarakat baru, yang lebih progressif, lebih manusia, dan lebih adil.

kapitalisme

Indonesia, Mata Rantai Paling Lemah Kapitalisme Asia Tenggara

Pengantar

Artikel ini menyajikan ringkasan situasi ekonomi kapitalisme Indoneisia masa kini dan masa mendatang. Artikel ini juga melihat implikasi perjuangan kelas pekerja dan mengembangkan garis-garis besar tanggapan programatik sosialis terhadap krisis sistem ini. Kami berpendapat bahwa tanggapan ini muncul di saat yang tepat di mana pemerintahan GusDur-Mega mencoba resep IMF dan ketika para pekerja, petani miskin dan mahasiswa memobilisasikan diri menentang kenaikan harga-harga, yang pada kenyataannya adalah subsidi dari kaum miskin untuk kaum kaya.

Artikel ini merupakan pengantar untuk penerbitan cetak "Di atas Mata Pisau," analisis ekonomi dunia dan Asia setelah kerontokan tahun 1997. Penerbitan dalam bentuk buku akan membuat analisis ini lebih bisa diakses oleh pembaca kelas buruh yang tidak punya akses ke internet. Buku ini merupakan bagian dari Proyek Pendidikan Sosialis Indonesia, kerjasama antara para aktivis Indonesia dan Eropa, yang bertujuan menyumbang pendidikan politik bagi aktivis di Indonesia dan mengakrabkan generasi baru dengan gagasan-gagasan Marxisme.

Sebagaimana biasanya kami mengundang pembaca untuk memberikan saran dan kritik.

Indonesia: Mata Rantai Paling Lemah
Kapitalisme Asia Tenggara

Tidak banyak negara yang mengalami kemalangan dramatis seperti Indonesia. Dari yang semula dianggap sebagai salah satu negara paling bagus kinerjanya di kawasan Asia Tenggara di tahun 80an dan 90an, Indonesia barangkali telah menjadi mata rantai paling lemah dari kapitalisme di kawasan tersebut. Kehancuran ekonomi telah melempar negeri ini paling sedikit 20 tahun ke belakang.

Konsekuensi sosial dari krisis ini mengerikan dan akan berlangsung lama. Anak-anak dan orang dewasa, masa depan sembarang warga negara, akan lebih buruk dibandingkan beberapa puluh tahun lalu. Banyak orang mengingatkan kemungkinan akan terjadinya "generasi yang hilang" dari kaum muda yang kurang gizi dan terbelakang secara intelektual. Jumlah anak yang mati karena kekurangan pangan dan kurang terperhatikan kesehatannya setara dengan sembilan bus penuh anak yang jatuh ke jurang tiap hari. Benar, setiap hari 450 anak di negeri yang secara potensial kaya ini menemui kematian.

Selama kerontokan ekonomi tahun 1997, dari semua sistem ekonomi di kawasan tersebut Indonesia adalah yang paling keras terpukul dan sangat sukar untuk segera pulih, walau untuk sementara saja. Tiga tahun setelah dihantam krisis, "pengangguran sangat tinggi, sektor perbankan secara esensial belum bekerja, dan restrukturisasi perusahaan hanya membawa sedikit kemajuan," kesimpulan yang disampaikan oleh Mr. Roth, asisten Sekretaris Negara AS untuk Masalah-masalah Asia Timur.

Di tahun 1998 kegiatan ekonomi menciut sebesar 13,4% dan inflasi mencapai 89%. Di kawasan Asia Tenggara, hanya Thailand yang mengalami penurunan 10% dari GDPnya. Aktivitas ekonomi Hongkong menyusut sebesar 5,1%, Malaysia sebesar 7,5%, Filipina sebesar 0,5%, Jepang 2,1% dan Korea Selatan sebesar 5,8%.

Ketika negara-negara seperti Korea Selatan bangkit dengan cepat di tahun 1999 dengan pertumbuhan 9,8%, ekonomi Indonesia masih terus mengalami kontraksi 0,4%. Pada saat itu, ekonomi negara-negara tetangga Indonesia seperti Filipina tumbuh sebesar 3,2% dan Malaysia tak kurang dari 5,2%.

Pemulihan Hanya Akan Berlangsung Sementara

Paling lunak, ramalan ekonomi Indonesia untuk awal abad baru adalah dengan pertumbuhan 2,4%. Tingkat pertumbuhan ini tidak ada kesamaannya dengan "pertumbuhan yang menakjubkan" yang terjadi sebelum krisis. Pada saat itu angka-angka pertumbuhan yang berkesinambungan telah mentransformasi anatomi dan ukuran ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Itu adalah saat di mana sistem ekonomi yang mengalami pertumbuhan 8% per tahun ukurannya tumbuh menjadi dua kali lipat dalam waktu 9 tahun. Selama tiga dekade tersebut kawasan ini terbiasa dengan pertumbuhan cepat sehingga konsep resesi digunakan secara kendor yang berarti pertumbuhan tahunan 5% yang lambat ketimbang kontraksi ekonomi aktual. Masa tersebut jelas sudah berakhir.

Lambatnya pertumbuhan akhir-akhir ini terutama disebabkan oleh boom ekspor dan kecilnya peningkatan konsumsi domestik. Kenaikan ekspor ini sebagian besar disebabkan oleh rendahnya harga-harga setelah devaluasi mata uang dan pemotongan harga atas biaya margin laba. Ini adalah upaya gila-gilaan untuk tetap menjadi bagian dari pasar dunia. Pemotongan harga tertolong oleh kapasitas surplus besar-besaran di beberapa industri karena jatuhnya permintaan domestik dan ini sedikit saja kaitannya dengan "upaya efisiensi." Namun hal ini tidak bisa dipertahankan terus menerus, terutama karena tiap orang di Asia Tenggara "telah menjual semuanya dengan harga berapapun &endash;-yang bukan merupakan strategi jangka panjang" kata pakar strategi dari Merryl Lynch. "Sekali keuntungan dari depresiasi mata uang jangka pendek habis, permintaan bagi produk-produk di kawasan tersebut akan turun." Ini adalah kesimpulan analis yang lain.

Kuatnya permintaan sangat tergantung pada kapasitas Amerika Serikat dan negara kapitalis maju lainnya untuk menyerap barang-barang import tersebut sebagai dukungan untuk terjadinya pemulihan di Asia. Ini pun sama sekali tidak ada jaminannya di masa beberapa tahun ke depan, karena pada tahap tertentu resesi menjadi tak terhindarkan di negara-negara kapitalis maju tersebut.

Dalam hal ini Indonesia juga berada di urutan belakang. Di tahun 1999 tingkat pertumbuhan ekspor paling kuat muncul dari Filipina dengan angka 25%, Malaysia 10%, Thailand 6%, dan Indonesia hanya jadi liliput dengan 2,6%. Bahkan saat itu, nilai ekspor 1999 masih lebih rendah daripada total tahun 1997. Pertumbuhan ekspor di kawasan Asia Tenggara juga dirangsang oleh meningkatnya permintaan atas barang-barang elektronik. Struktur industri manufaktur Indonesia sebagian besar didominasi oleh tekstil. Sektor elektronik di Indonesia relatif lebih kecil ketimbang negara-negara lain di kawasan tersebut. Ini berarti bahwa Indonesia kurang mendapat untung dari perolehan ekspor dibanding dengan negara-negara tetangga. Namun seperti Malaysia dan Singapura menangguk keuntungan dari industri, Indonesia mendulang keuntungan dari lonjakan kuat harga minyak. Ekspor minyak dan gas Indonesia meningkat sebanyak 15% dalam dolar di tahun 1999, sebagian besar adalah karena adanya lonjakan harga minyak di pasar dunia.

Kekacauan di Pusat Ekonomi

Masalah utama ekonomi kapitalis Indonesia adalah utang sektor swasta (sekitar US$40 milyar) dan hal itu berdampak pada sistem perbankan. Di tahun 1997 bank-bank Indonesia kolaps. Sebagai akibatnya, negeri ini menghadapi sistem perbankan yang semu. Situasi ini memaksa pemerintah menutup dan mengambil alih beberapa bank termasuk aset-asetnya yang berupa lebih dari 170.000 perusahaan berukuran kecil dan menengah. Perusahaan dan bank-bank ini, sisa-sisa dari sektor industri modern yang pernah terbang tinggi, menciptakan kekacauan di tengah-tengah ekonomi. Bank-bank tersebut dilumpuhkan oleh tingginya tingkat utang (diperkirakan hanya 4% dari utang tersebut yang bisa ditutup) dan tingkat ketidakmemadainya modal.

IMF mendesak agar perusahaan dan bank menegosiasikan rencana pembayaran utang. Namun, hingga kini sebagian besar perusahaan dan bank tersebut menolak menanggapi pemberi pinjaman yang sial. Berkat hubungan tingkat tinggi mereka dan administrasi ekonomi serta negara, para kapitalis tersebut berharap bisa lolos dari pembayaran utang-utang mereka. Kroniisme Indonesia, versi modern perampokan para baron di Eropa dan Amerika abad 19, memang bisa dianggap sebagai lisensi untuk melakukan penjarahan.

Harga yang akan dibayar pemerintah untuk menyelamatkan perusahaan dan bank yang bangkrut mencapai US$130 milyar. Jelas bahwa dalam kenyataannya biaya operasi penyelamatan raja-raja bisnis ini akan ditanggung oleh kaum miskin, buruh, dan petani kecil. Mereka adalah kelas-kelas yang akan membayar penghamburan sumber daya yang dilakukan secara tak bermoral oleh para kapitalis. Inilah tujuan rencana-rencana IMF yang dicoba untuk diterapkan oleh pemerintah Gus Dur dan Megawati.

Rendahnya Kepercayaan Pada Stabilitas Indonesia

Bukanlah kebetulan bahwa dalam konteks ini investasi asing turun dengan tajam dan secara umum tidak ada aliran modal swasta yang masuk. Sebagian besar investasi asing yang bersifat langsung adalah berasal dari IMF dan beberapa dana resmi. Sedangkan, investasi langsung swasta asing jumlahnya menurun tajam dengan pengecualian dana yang ditujukan untuk mengambil alih bank bermasalah dan perusahan-perusahaan bangkrut.

Jajak pendapat Asian Wall Street Journal baru-baru ini menunjukkan bahwa 57% pengusaha mengidentifikasikan Indonesia sebagai negara yang paling kurang menyenangkan di Asia Tenggara untuk tujuan investasi langsung. Bagi para kapitalis, Indonesia menjadi negera yang paling kurang menarik di kawasan ini sebagai tempat untuk menanamkan uang dan mengambil keuntungan. Tanpa adanya investasi produktif, tidak akan ada pembicaraan soal pemulihan yang lebih solid.

Sejauh ini, modal asing dan modal domestik lebih menunjukkan minat pada investasi dalam pasar bursa. Salah satu perusahaan pialang menggambarkan Bursa Efek Jakarta (BEJ) sebagai pasar yang kinerjanya paling bagus di dunia di tahun 1999, dengan hampir 70% transaksi yang ada terjadi dalam nilai tukar dollar sejak awal 1999. Hal ini sekali lagi menunjukkan watak parasit kapitalisme.

Kinerja industrial masih sangat tidak teratur. Produksi sektor industri masih 60% dari kapasitasnya. Ini merupakan salah satu dari persentase terendah penggunaan kapasitas industrial potensial di kawasan Asia Tenggara. Ini adalah juga ekspresi modern dari overproduksi nyata, krisis klasik ekonomi kapitalisme. Kenyataannya apa yang telah digambarkan sebagai keruntuhan finansial di kawasan tersebut hanyalah wajah finansial dari krisis klasik overproduksi, yang mekanismenya akan dijelaskan di dalam dokumen ini.

Hampir tidak ada investasi di pabrik-pabrik, pembangkit listrik dan gedung-gedung perkantoran terutama di seputar Jakarta. Investasi yang ada hanyalah dalam sumber daya alam, hasil bumi, pertanian, agribisnis dan perikanan. Kebijakan ekonomi pemerintahan Gus Dur-Mega adalah lanjutan kebijakan pendahulunya di bawah Habibie dan Suharto, yaitu kebijakan ekonomi yang memihak keuntungan kapitalis dan tergantung pada IMF. Keunggulan komparatif utama kapitalisme Indonesia adalah "struktur upah buruh yang rendah," sebagaimana diakui oleh Menko Ekuin. "Bahkan sebelum krisis, upah buruh (Indonesia) termasuk paling rendah di dunia." Upah buruh mewakil 5 sampai 10% biaya produksi total. Ini telah dan masih menjadi strategi pemerintah untuk memikat modal asing.

Kelas Buruh dan Petani Kecil
Harus Membayar Krisis Ini

Apa artinya hal ini bagi kelas pekerja Indonesia? Kendati ada sedikit kenaikan UMR, ini berarti terus berlangsungnya ekonomi upah rendah berdasarkan eksploitasi kelas pekerja. Beginilah kondisi bagi daya tahan hidup kapitalisme Indonesia di pasar dunia yang didominasi oleh persaingan keras. Para aktivis gerakan kiri harus mendasarkan diri mereka pada analisis ini untuk menjelaskan bahwa tidak ada solusi bagi kesengsaraan dan eksploitasi kelas buruh dan petani miskin, tidak hanya di bawah pemerintah sekarang ini, namun di bawah kapitalisme itu sendiri.

Logika di balik apa yang ajukan oleh IMF sebagai "reformasi", "rencana penyesuaian struktural", dan berbagai pinjaman, adalah bahwa ekonomi pasar di Indonesia telah terdistorsi atau dirusak oleh kroniisme dan terlalu banyaknya campur tangan serta intervensi negara. Solusinya terletak pada apa yang disebut sebagai ekonomi pasar bebas sejati lewat langkah-langkah deregulasi, fleksibilitas dan swastanisasi bagi perusahaan-perusahaan negara. Ini akan lebih membuka ekonomi Indonesia pada ketergantungan modal asing, eksploitasi yang lebih besar atas sumber daya alam, dan terjadinya kesengsaraan dan ketimpangan yang lebih besar lagi. Hingga saat ini, utang luar negeri Indonesia telah mencapai 95% dari produk nasional kotor tahunan.

Sebagaimana kita ketahui, IMF bukanlah organisasi derma. Seperti halnya Paris Club (kelompok rentenir internasional), lembaga ini menginginkan pinjamannya dilunasi &endash;tentu bersama bunganya. Untuk membayar utang ini, pemerintah memangkas anggaran pendidikan, menjual perusahaan-perusahaan negara dan menekan subsidi hingga menaikkan harga BBM (lebih dari 30%) serta tarif dasar listrik (lebih dari 10%), juga memperkenalkan pajak baru pada minuman ringan, semen, dan lain-lain, yang akan diluncurkan dalam bentuk kenaikan harga.

Dengan cara inilah kaum miskin memberikan subsidi pada orang kaya. Tidak hanya massa perkotaan yang menderita karena kebijakan-kebijakan tersebut. Para petani tidak hanya tergantung pada minyak untuk memasak dan penerangan, namun juga pada pupuk dan pestisida yang harganya akan ikut naik. Satu badan pemerintah berharap inflasi naik paling sedikit 10%. Padahal lebih realistik untuk dikatakan bahwa inflasi bisa naik hingga antara 25 dan 30%.

Para kapitalis dan para pemimpin politik borjuis di Asia Tenggara -termasuk Indonesia&emdash; selama beberapa dekade menyangkal pendapat bahwa macan Asia dan calon macan Asia bisa terkena dampak siklus ekonomi yang naik turun. Banyak orang di Barat sepakat soal ini. Bahkan sekarang setelah malapetaka ekonomi ini, masih banyak analis ekonomi yang tetap mengabaikan proses fundamental ekonomi kapitalis di Asia Tenggara ini. Dengan munculnya apa yang dikenal dengan "Ekonomi Baru" (teknologi informasi dan internet) di Amerika Serikat, yang ekonominya mengalami ekpansi terpanjang dalam sejarah, para dukun kapitalisme meramalkan hal yang sama. Sekali lagi mereka akan terbukti keliru.

Krisis Sementara?

Tak disangkal bahwa bagian terpenting dari pemikiran politik kelas buruh dan petani dibentuk oleh tahun-tahun pertumbuhannya di masa lalu. Kendati terjadi eksploitasi kejam dan meningkatnya ketimpangan dalam masa tiga puluh tahun, tahun-tahun tersebut juga mempunyai arti terjadinya pertumbuhan penghasilan dan daya beli, serta menurunnya kemiskinan. Di tengah-tengah massa, harapan dan ilusi bahwa "krisis" ini hanya sementara pastilah masih ada. Jelas pemerintah dengan sinis memainkan kartu ini. "Kenaikan harga dan sebagainya itu disebabkan oleh 'force majeure'," kata Gus Dur. Pernyataan Gus Dur ini jelas: hal-hal itu adalah pengecualian dan bersifat sementara, setelah ini kita akan segera kembali pada keadaan sebelum 1997.

Namun tidak ada kemungkinan untuk kembali pada periode sebelum krisis. Dalam pengertian ini, Indonesia dan negeri-negeri lain di kawasan tersebut sebenarnya sudah "kembali normal" setelah pengecualian selama tiga puluh tahun yang tidak akan dan tidak bisa diulang. Alasan-alasan tentang ketidakmungkinan tersebut dijelaskan dalam dokumen "Di Atas Mata Pisau" ini. Apakah ini berarti bahwa tidak akan ada saat pertumbuhan lebih jauh lagi? Yang akan terjadi adalah justru sebaliknya. Saat-saat pertumbuhan akan diikuti oleh periode kontraksi. Boom menyediakan tempat bagi resesi, resesi yang sejati di mana ekonomi tidak akan mengalami pertumbuhan lagi. Beginilah cara kerja sistem kapitalis. Pemulihan tidak akan membawa ekonomi kembali pada tingkat boom sebelumnya.

"Siklus konjungtural dalam kehidupan kapitalisme memainkan peran yang sama seperti, contohnya, siklus sirkulasi darah dalam hidup organisme. () Dari keadaan denyut jantung, dalam kaitannya dengan gejala-gejala yang lain, dokter bisa menentukan apakah ia berurusan dengan organisme yang kuat atau lemah, sehat atau sakit." Ini adalah kesimpulan teoretisi Marxis Leon Trotsky, kawan seperjuangan Lenin.

Fluktuasi konjungtural di kawasan Asia tenggara, khususnya Indonesia, akan lebih kacau, lebih sering, dan lebih tak bisa diramalkan dari sebelumnya. Watak asli dari periode-periode ekspansi akan berbeda. Ia hanya akan melakukan penyerapan parsial dari begitu banyaknya pengangguran dan ini hanya sedikit saja mengurangi jumlah kaum miskin. Ketimpangan akan terus meningkat. Stabilitas sosial dan politik tidak akan masuk dalam agenda. Arah ekonomi dan politik akan jauh berbeda dari sebelumnya. Kejutan-kejutan dalam proporsinya yang besar akan terjadi di masyarakat dan akan dirasakan dalam setiap aspek kehidupan sosial kemanusiaan: dalam hubungan agama dan etnis dan khususnya dalam lingkupnya yang paling penting, dalam hubungan antara kelas-kelas sosial itu sendiri dan negara kapitalis dan militer.

Indonesia jauh lebih rentan ketimbang negeri-negeri lainnya di kawasan tersebut dalam hal pertarungan politik, sosial, agama dan etnik. Walaupun, hingga kini, aspek agama dan etnik dari instabilitas ini nampaknya dominan, ceritanya akan lain di masa mendatang.

Kemungkinan Baru bagi Kebangkitan Kelas Buruh

Sedikit pemulihan ekonomi yang digabung dengan turunnya jumlah pengangguran, bersama-sama dengan pertumbuhan pesanan dan keuntungan perusahaan, akan membuka siklus baru perjuangan ekonomi ofensif (untuk kenaikan upah dan kondisi lebih baik) di pihak kelas buruh. Menteri Perdagangan dan Industri, Luhut Pandjaitan, baru-baru ini mengakui bahwa "meningkatnya pemogokan buruh adalah salah satu masalah yang dibicarakan dalam pertemuan mingguan kabinet." Walaupun aksi-aksi buruh masih terpecah dan tidak terorganisir dengan baik, perjuangan yang ofensif tersebut akan dibarengi oleh kehendak untuk berserikat. Sekitar 29 federasi serikat "nasional" yang muncul dalam beberapa tahun terakhir adalah indikasi adanya kecenderungan ini.

Para boss dengan penuh perhatian menyiapkan diri untuk menghadapi situasi baru ini. "Dewan Pengembangan Usaha Nasional Indonesia sedang mencari mekanisme baru untuk mengatasi perselisihan buruh antara pekerja dan pemilik pabrik, yang kemungkinan menjadi lebih sering karena ekonomi membaik dan tuntutan upah &endash;yang mandeg selama krisis&emdash;mencuat kembali. () Dewan tersebut ingin melihat dibentuknya satu komite yang mewakili bisnis, pemerintah, dan serikat-serikat pekerja yang akan menengahi perselisihan buruh. Harus ada pemahaman (di kalangan buruh) bahwa sebelum mereka mogok, akan ada tim yang berbicara pada merekaÉ atau kita akan bernegosiasi dengan perusahaan yang bertanggung jawab mengenai seberapa besar kenaikan bisa dibuat." (Australian Financial Review, 21 Maret 2000).

Dengan melaksanakan hal ini mereka bermaksud menaikkan para pemimpin yang bisa diajak bekerja sama dalam gerakan buruh, seperti Muchtar Pakpahan dari SBSI yang menyatakan secara terbuka penentangannya terhadap aksi-aksi mogok karena hal tersebut membahayakan perekonomian. Karena dilemahkan untuk sementara oleh krisis dan pengangguran massal, pemotongan upah, ketidakamanan kerja, maka 90 juta kelas pekerja yang kuat tidak mampu memainkan peranan memimpin saat jatuhnya Suharto dan proses politik yang terjadi dalam dua tahun terakhir.

Dalam konteks serangan baru (rencana-rencana IMF) dan sedikit pemulihan ekonomi, gerakan kelas buruh yang masih muda mulai menyatakan dirinya. Ini telah jelas terlihat dengan meningkatnya jumlah pemogokan di Jabotabek seputar bonus Idul Fitri tahun ini. Angka-angka terbaru dari Markas Besar Polisi di Jakarta menunjukkan kenaikan dramatis aksi-aksi buruh: dalam empat bulan pertama tahun ini tercatat 600 pemogokan yang harus dilakukan intervensi terhadapnya. Pada bulan April 2000 saja angka-angka ini mencapai 224 kali pemogokan. Seluruh periode perjuangan ekonomi yang berhasil akan meningkatkan rasa percaya diri kaum proletar Indonesia. Ini bisa menjadi pengantar bagi dari sebuah serangan yang lebih politis.

Itulah sebabnya mengapa keliru mengecilkan makna aksi mogok para buruh semata-mata karena hal itu dimulai dari tuntutan-tuntutan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, dengan peran politik tentara dan intervensi negara di dalam serikat buruh dan konflik sosial, jalan dari tuntutan ekonomi "murni" ke arah tujuan-tujuan yang lebih politik dalam perjuangan sangatlah dimungkinkan. Tidak terdapat suatu dinding pemisah yang bagaikan tembok tak dapat ditembus antara aspek "ekonomis" dan "politik" di dalam pemogokan. Pemogokan bisa dimulai dari persoalan-persoalan ekonomi yang paling dasar dan berakhir di tingkat politik tinggi. Arah sebaliknya bisa juga terjadi. Yang paling penting untuk diingat adalah bahwa massa buruh belajar dari pengalaman. Pengalaman konkret dalam perjuangan adalah sekolah politik dan serikat buruh yang terbaik. Begitulah bagaimana mereka keluar dari rutinitas pemikiran dan aktivitas mereka. Pada saat itulah mereka akan lebih terbuka untuk mempertanyakan prasangka-prasangka lama dan akan mau belajar. Para buruh yang semakin aktif akan terpengaruh oleh proses menjadi sadar-kelas ini.

Tentunya serikat pekerja dan aktivis kiri mempunyai peranan penting dalam peristiwa-peristiwa tersebut, untuk membuat para buruh yang tadinya belum sadar agar menyadari naluri sosialis dan anti kapitalis kaum buruh. Ketika kelas buruh mulai menggerakkan ototnya, kelas ini juga mencari suatu program untuk membebaskan dirinya dari perbudakan kapitalisme modern.

Diperlukan Program Sosialisme

Titik tolak bagi tuntutan apapun adalah syarat mutlak untuk mempertahankan kepentingan pekerja. Tuntutan-tuntutan gerakan harus ditujukan untuk mulai dari keprihatinan-keprihatinan langsung para buruh dan keluarga mereka serta merumuskan solusi yang meningkatkan pemahaman mereka tentang watak tak terdamaikan dari berbagai kepentingan kelas dalam masyarakat. Lewat perjuangan tuntutan-tuntutan ini, para buruh akan meningkatkan kesadaran mereka akan perlunya menggulingkan kapitalisme dan mengadakan tranformasi sosialis atas masyarakat.

Tuntutan-tuntutan defensif seperti pembatalan kenaikan harga dan adanya kontrol atas harga di tangan komite-komite buruh dan petani, serta penghentian privatisasi, harus dikombinasikan dengan tuntutan-tuntutan ofensif seperti kenaikan upah minimum sesuai dengan standar hidup minimum, bukan standar fisik minimum yang ditentukan sembarangan oleh "dewan upah" (akan lebih baik bila angka konkret bisa dicantumkan, dengan penentuan upah minimum berdasarkan standar hidup minimum yang diajukan oleh buruh), pengurangan jam kerja menjadi 32 jam seminggu tanpa pengurangan upah, hak untuk berorganisasi secara bebas di pabrik-pabrik, pengakhiran peran militer dalam politik dan konflik sosial, pembatalan hutang luar negeri, nasionalisasi kekayaan Suharto dan kroninya serta penggunaannya bagi kebutuhan sosial rakyat, dan sebagainya.

Ketika para pengusaha mulai menjerit bahwa mereka tidak bisa membayar tuntutan sederhana para buruh tersebut, kita akan meminta para pekerja memeriksa rekening para pengusaha itu. Maka mereka akan mempelajari ke mana perginya kekayaan yang dihasilkan oleh keringat dan darah mereka. Mereka akan belajar mekanisme laba kapitalis. Kita tidak hanya akan menuntut hal ini di tingkat pabrik atau perusahaan, namun juga pada tingkat seluruh masyarakat.

Secara lebih umum, kita harus mengusulkan program untuk reorganisasi total masyarakat lewat transisis dari kapitalisme ke sosialisme.

Kita bisa memulainya dengan sebuah program mendesak dan masif dari kerja-kerja yang berguna secara ekologis dan sosial: membangun kembali sistem transport publik gratis, lebih banyak kereta api, bis, memperbaiki jalan, dan lain-lain. Pembangunan jutaan rumah, jaminan sistem pembuangan limbah dan tersedianya air minum untuk setiap kota dan kampung. Pemeliharaan kesehatan gratis bagi setiap orang lewat rumah sakit, klinik, dan sebagainya berdasarkan sistem kesehatan nasional. Pendidikan untuk semua orang dan tidak hanya untuk mereka yang mempunyai kondisi kehidupan yang baik.

Untuk membiayai hal-hal tadi, nasionalisasi kekayaan Suharto (sekitar US$16 milyar) akan menjadi langkah bagus ke depan, namun belum cukup. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan besar (domestik dan asing), bank-bank dan institusi keuangan dan kekayaan hutan dan mineral adalah langkah yang perlu untuk memperoleh kendali atas ekonomi. Dalam hal tertentu, ini lebih mudah dari sebelumnya. Dalam dua tahun terakhir ini, kapitalisme telah memusatkan penggerak keuangan dan ekonomi domestik ke dalam tangannya lewat nasionalisasi paksa atas sistem perbankan dan konsentrasi kekuatan ekonomi yang berada di tangan klan Suharto. Inilah satu-satunya makna yang bisa kita berikan pada istilah "ekonomi rakyat." Nasionalisasi ini harus di bawah manajemen dan kendali buruh. Kontrol ekonomi ini perlu untuk bisa merencanakan penggunakan sumber daya keuangan dan ekonomi bagi keuntungan mayoritas rakyat dan tidak lagi keuntungan bagi segelintir orang. Dengan menasionalisasikan bank dan industri pertanian, kita bisa menjamin kredit murah bagi usaha kecil dan petani dan juga traktor murah, pestisida dan pupuk.

Program seperti ini tentunya tidak akan dijalankan oleh pemerintah borjuis manapun. Hanya pemerintahan buruh dan petani, yang didasarkan atas dewan buruh, petani, mahasiswa, kaum miskin kota dan pemilik warung kecil yang dipilih secara demokratik bisa menjamin hal ini. Federasi sosialis Indonesia dengan cepat akan menjadi teladan bagi negeri-negeri lain di kawasan tersebut untuk mewujudkan federasi sosialis demokratik dan harmonis yang sejati di Asia Tenggara.

Jumat, 13 Juni 2008

Profil LMND

Mengenal LMND

Apakah LMND itu?

LMND atau Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi adalah sebuah organisasi politik ekstrakampus skala nasional berbentuk Liga yang dibentuk pada tanggal 9-11 Juli 1999 di Bogor oleh 20 komite aksi mahasiswa yang aktif dalam proses Reformasi. Seiring perkembangan dialektika antara situasi ekonomi politik nasional dan situasi internal organisasi, sampai saat ini LMND telah berhasil meluas dan hadir di 25 provinsi dan lebih dari 100 kota.

Apa tujuan LMND didirikan dan bagaimana perjalanan organisasinya?

Seperti digariskan pada AD/ART-nya, LMND bertujuan untuk menghancurkan sistem yang menindas hak-hak rakyat untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan sosial dan berkedaulatan rakyat.

Begitulah yang terumus di garis organisasi. Sedangkan perjalanan organisasinya adalah sebagai berikut: LMND pada awalnya didirikan pada tahun 1999 sebagai respon komite-komite aksi mahasiswa yang progresif dan radikal terhadap kegagalan proses Reformasi menjawab tuntutan rakyat pada saat itu, yaitu: pembentukan pemerintahan persatuan rakyat dan pengenyahan sisa Orde Baru (Dwi Fungsi ABRI dan Golkar). Konsisten dengan garis perjuangan anti-Orde Baru-nya, pada tahun 2001 LMND memberikan dukungan penuh pada tindakan demokratik Presiden Abdurachman Wahid (Gus Dur) untuk menyapu habis sisa-sisa Orde Baru yang masih menggeliat gelepar. Saat itu, bersama kelompok pro-Gus Dur lainnya, LMND harus berhadapan dengan koalisi besar yang anti Gus Dur- sebuah koalisi taktis dari elemen reaksioner sisa Orde Baru (Militer, Golkar, PPP) dan sebagian elemen yang mendapat keuntungan dari proses Reformasi seperti PDIP, PAN, PKS, dll. Saat itu, karena keraguan-raguan Gus Dur, koalisi yang dimotori oleh Orde Baru menang dan Gus Dur terguling. Kemudian, naiklah Megawati Sukarnoputri (PDIP) dan Hamzah Haz (PPP) sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Seiring itu, dimulai pula restrukturisasi sisa kekuatan Orde Baru dan penerapan proyek neoliberalisme di Indonesia.

Bagi LMND, kegagalan perjuangan untuk kedua kalinya ( tergulingnya Gus Dur dan bangkit kembalinya kekuatan Orde Baru) tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus membela rakyat tertindas. Kenaikan BBM lebih beberapa kali pada masa Rezim Mega-Hamzah telah semakin menyengsarakan rakyat yang belum pulih ‘luka’ ekonominya paska krisis moneter tahun 1997. Digadaikannya beberapa perusahaan negara (yang strategis) kepada pemodal asing, sebagai syarat pendaftaran menjadi mandor bagi imperialisme asing, telah melukai kemandirian dan kedaulatan bangsa kita. Juga tidak boleh lupa soal hadiah proyek DOM Aceh bagi militer fasis yang telah mencederai kemanusiaan di Tanah Rencong. Maka, sudah menjadi keharusan sejarah bagi LMND bahwa: Rezim Mega-Hamzah, gabungan antara kekuatan yang pro imperialis asing dan sisa Orde Baru, harus dilawan meski harus bersimbah darah di jalanan dan keluar masuk penjara.

Di tengah sengit perlawanannya terhadap Rezim yang ada, dengan pertimbangan ekonomi-politik yang tajam, pada tahun 2003 LMND berani mengambil tindakan politik yang berbeda dari kegamangan umum Gerakan Mahasiswa (yang masih disekap jargon Moral Force maupun Social Movement) saat itu, yaitu: bertemu dan berdiskusi dengan gerakan lintas sektoral (tani, buruh, kaum miskin kota) yang progresif lain, sampai menghasilkan keputusan politik untuk bersama-sama saling membahu, membentuk sebuah partai politik elektoral ber-platform kerakyatan untuk mersepon Pemilu Parlemen 2004. Nama persatuan mereka saat itu adalah Partai Oposisi Rakyat (POPOR). Meski gagal akibat sempitnya waktu untuk memenuhi verifikasi pemilu (hanya sekitar 3 bulan), tindakan tersebut telah LMND anggap tepat sebagai sebuah taktik politik ‘termungkin’ pada saat itu.

Kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), seorang mantan petinggi militer Angkatan Darat yang sempat dididik di Amerika, dan Jusuf Kalla (JK), salah satu pengusaha kaya Golkar, pada ajang Pemilu Presiden 2004 dan kemenangan Partai Golkar di Pemilu DPR-RI 2004, dipandang LMND sebagai bangkitnya Orde Baru berjubah anyar: neoliberalisme. Sah sudah mereka berdua sebagai mandor barunya imperialisme, mengalahkan gerbong elit politik pengusaha Mega-Hasyim (yang sempat membeli tiket pendaftaran saat berkesempatan menjadi rezim), Wiranto-Solahuddin Wahid, dan pasangan kaum borjuis lainnya. Naiknya rezim neoliberal SBY-JK tahun 2004 pun tak luput direspon seluruh struktur LMND di Indonesia dengan turun ke jalan. Dan terbukti benarlah pandangan LMND terhadap watak rezim yang baru ini: selama perjalanan kekuasaannya, SBY-JK setia memaksakan kebijakan-kebijakan neoliberal, yang memiskinkan dan mengadaikan kesejahteraan rakyat, meski penolakan di tingkat parlemen maupun di kalangan gerakan massa (akar rumput) dan mahasiswa cukup luas.

Tahun 2006 sampai 2007: Dengan pertimbangan untuk memenuhi amanat Strategi dan Taktik Kongres IV LMND untuk intervensi ajang elektoral 2009, juga setelah memandang tidak terlalu berbedanya situasi ekonomi politik bangsa, LMND mengulang taktik politik parlementariannya dengan sebuah semangat yang baru, yaitu: Pembebasan Nasional dari Imperialisme. Nama partai yang dibentuk LMND adalah Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas). Ya, LMND adalah salah satu organisasi pembentuk, yang kemudian mengikrarkan diri sebagai salah satu tiang penunjang (underbow) partai politik elektoral tersebut.

Bukti kebenaran dari taktik politik yang dipilih oleh LMND adalah telah semakin luasnya sentimen anti penjajahan asing, baik dari kalangan elit politik maupun gerakan, sedangkan pada saat yang sama kesadaran mayoritas massa rakyat masih elektoral. Sekarang tinggal mengolahnya dalam baskom panggung politik yang terbuka ‘agak’ lebar: Pemilu Parlemen dan Presiden tahun 2009. Partai mereka adalah Papernas dan Calon Presiden mereka adalah Dita Indah Sari- karena bagaimanapun rakyat perlu simbol perlawanan dan kemanusiaan. Mengingat begitu banyak pembantaian antar sesama (horizontal) selama kurun waktu empat dasawarsa, maupun begitu dalamnya penghisapan imperialisme terhadap kekayaan alam kita pada kurun waktu yang sama pula.

Memang kira-kira yang akan LMND (Papernas) lakukan saat di parlemen nanti?

Jika ada kebakaran di jalan-jalan raya, tapi semua orang tidak ada yang keluar karena asik menonton TV, apa yang kira-kira akan kita lakukan? Apa kita akan menggedor rumah mereka satu persatu-persatu baru mengajaknya ikut memadamkan api? Tidak. Seluruh program kerakyatan dan pembebasan nasional LMND akan muncul di TV-TV semua orang itu. Perwakilan-perwakilan (yang dipilih secara demokratik dan terikat mekanisme recall fleksibel) Papernas, mungkin salah satu anggota LMND, akan berorasi pada setiap datangnya sidang maupun rapat-rapat terbatas; mengagitasi rakyat dengan program-program kerakyatan dan pembebasan nasional maupun dengan pernyataan-pernyataan sikap politik yang kritis, ilmiah dan progresif. Sementara itu di luar gedung parlemen, LMND sebagai sebuah ‘iiga’ akan terus berjuang meraih dukungan seluruh rakyat dan spektrum gerakan politik di dalam maupun di luar kampus untuk mendukung perjuangan wakil-wakilnya di dalam perlemen.

Dari tadi sepertinya selalu persoalan nasional, bagaimana jika sekarang kita menyinggung persoalan kampus!?

Menurut LMND, dalam intensitas tertentu persoalan nasional berkaitan dan saling mempengaruhi pula (berdialektika) dengan persoalan kampus. Semisal soal SPP naik, dosen lebih banyak mengurusi proyek ketimbang hadir mengajar, buku-buku dan transport mahal, penggusuran-penggusuran PKL, tak lupa pula DO/skorsing pada yang melawannya: semua adalah akibat sebuah kebijakan-kebijakan skala nasional, yaitu kenaikan harga BBM, privatisasi kampus, dsb. LMND, tentu saja juga memiliki program-program perjuangan yang berkaitan dengan permasalahan kampus maupun dunia pendidikan secara umum. Detil program-program perjuangan LMND tersebut akan diulas dalam kesempatan yang lain. Namun, untuk persoalan demokratisasi kampus, program sejati LMND sudah jelas tertulis dalam slogannya: Bangun Dewan Mahasiswa, Rebut Demokrasi Sejati. Ideologi LMND adalah Demokrasi Kerakyatan. Sama seperti ideologi Papernas.

Apa itu demokrasi kerakyatan? Juga Dewan Mahasiswa?

Demokrasi menurut ideologi fundamentalisme yang konservatif adalah sekuler yang menyesatkan. Itu yang sering mereka (kelompok-kelompok fundamentalis) katakan pada semua orang. Mereka tidak paham bahwa peningkatan kualitas tenaga produktifnya akan membimbing kesadaran manusia, tanpa indoktrinisasi melainkan ilmiah, menuju ide demokratik. Kebangkitan bangsa Indonesia menjadi sebuah nation pun dinyawai oleh alam pikiran demokratik para pimpinan perjuangan saat itu, 1945. Setiap orang bebas menyapa dan berteriak: Bung! Merdeka! .. Merdeka atau Mati! Dsb. Menurut LMND, yang berharap menjadi Pelanjut Angkatan, seluruh generasi muda selayaknya meneruskan pengorbanan demokratik kakek atau buyut kita masa itu- yang baru meletakkan batu fondasi bagi nation Indonesia. Semangat Pembebasan Nasional.

Kembali pada Demkra (Demokrasi Kerakyatan). Demkra adalah suatu bentuk demokrasi sejati yang merupakan asas (spirit) keberadaan organisasi LMND sebagai kutub yang kiri dari gerakan mahasiswa. LMND secara tegas mencita-citakan sebuah tatanan progresif bagi dunia kemahasiswaan kampus- yang termanifes dalam lembaga yang otonom sekaligus berdaulat terhadap birokrasi kampus, yaitu: Dema atau Dewan Mahasiswa. Perkembangan ide progresif (maju) mahasiswa, hasil dialektika ide kerakyatan seorang mahasiswa dengan situasi kemiskinan rakyat di sekelilingnya, tak boleh ditentang, melainkan harus terus menerus dipacu

Saat ini, kondisi pemilihan umum (kadang diistilahkan raya) di mayoritas BEM Negeri dan Swasta yang menjadi semakin so what githu lhoo bagi mayoritas mahasiswanya akan dinegasikan (ditolak keberadaannya) oleh penerapan dewan mahasiswa. Bagaimanapun, salah satu alasan gerakan mahasiswa (yang historis) menaruh dendam pada Orde Baru tak lain adalah pembubaran Dewan Mahasiswa oleh Mendikbud Daud Yusuf tahun 1978. Diterapkannya secara represif kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) bagaikan final punch (tonjokan pamungkas) bagi gerakan mahasiswa kampus saat itu, cerai berai. Sebagian mahasiswa memilih demoralisasi total sedangkan lainnya berlindung di LSM-LSM yang menjamur tahun 1980-an. Bukankah apa yang merupakan produk Orde Baru harus kita tolak? Dan semangat yang sempat terinterupsi selama hampir 30 tahun (1978) harus kita lanjutkan?

Struktur Dema dapat fleksibel (tergantung kesadaran) tetapi kedua pilarnya harus tetap selalu tegak, yaitu penghargaan terhadap kebebasan berpendapat dan ketertundukan minoritas pada mayoritas. Jika mengibaratkan organisasi sebagai layaknya pohon, maka pucuk tertinggi (Ketua/Presiden) Dema suatu kampus harus sejajar dengan pihak rektorat kampus tersebut. Maka, tak ada satupun kebijakan administratif (SPP, DO, fasilitas kampus, dll) maupun akademis (kurikulum, dll) rektorat yang tidak melibatkan dewan mahasiswa. Semisal dapam praktek saat ini, suara mahasiswa akan memiliki posisi lebih kuat dalam Majelis Wali Amanat (untuk BHMN-nya PTN) ataupun Yayasan (PTS). Itu keinginan LMND ke depannya untuk mewujudkan demokrasi sejati di dalam kampus.

Apa saja aktivitas LMND selama ini?

Sebagai anggota LMND, ada tiga kerja pokok yang harus selalu senantiasa ia lakukan, yaitu: aksi, pendidikan, dan bacaan. Aksi atau aksi massa adalah sebuah budaya progresif dari massa rakyat untuk memperjuangkan hak demokratiknya, yang terinterupsi oleh otoritarian Orde Baru namun sekarang telah mulai hidup lagi secara sporadis di tingkat akar rumput. Untuk dapat memimpinnya (tertuang di AD-ART sebagai salah satu poin Pokok-pokok Perjuangan), setiap kader LMND seharusnyalah mahir melakukan dan mencintai budaya aksi massa. Yang berikutnya adalah tentang pendidikan. Sebelum berpraktek politik (kampanye, propaganda, dan pengorganisiran) ditengah-tengah massa kampus dan massa rakyat, seorang kader yang revolusioner wajib memiliki teori-teori yang ilmiah sebagai pisau analisa. Teori-teori yang ilmiah tersebut (yang termuat dalam materi pendidikan LMND) akan diperkenalkan untuk kemudian didiskusikan bersama dalam setiap Pendidikan Anggota ataupun Kursus Politik (Kurpol) LMND. Yang ketiga adalah tentang bacaan. Setiap manusia haruslah rajin membaca karena budaya membaca adalah kebudayaan yang progresif bagi kemanusiaan. Dalam hal ke-LMND-an, bacaan didefinisikan sebagai bahan-bahan/materi-materi (dapat berupa terbitan, selebaran, pamflet, koran dsb) yang memuat tentang situasi ekonomi-politik nasional dan internasional, pemikiran-pemikiran progresif tokoh atau kelompok di dalam maupun luar negeri, dan juga posisi politik LMND dalam berbagai situasi; yang harus dibaca dan didiskusikan oleh setiap anggota.

Ketika bergabung dengan LMND, anda akan mendapat ulasan dan arahan detil tentang ketiga kerja pokok itu. Secara prinsipnya, progresifitas dan radikalitas yang didukung oleh kebudayaan ilmiah dan demokratik selalu ditekankan kepada seluruh mahasiswa anggota LMND.

Sedangkan, sebagai organisasi, LMND memiliki Tiga Tugas Mendesak/TTM (bukan Teman Tapi Mesra) yang harus dituaikan dalam setiap kesempatan, yaitu: penggalangan front, radikalisasi, dan perluasan struktur. Dalam praktek politik membesarkan Papernas, ketiga hal tersebut tetap menjadi pedoman bagi LMND.


Jika ingin bergabung dengan LMND, apa saja yang harus saya lakukan?

Dengan sepakat pada AD-ART, program perjuangan, dan strategi taktik organisasi hasil Kongres IV LMND di Bogor pada tanggal 6-9 April 2006, anda secara perseorangan sudah diterima sebagai anggota LMND. Segera hubungi kontak LMND di masing-masing kampus anda, dan mendaftarlah. Mekanisme tersebut juga berlaku bagi organisasi yang ingin bergabung dengan LMND secara Liga. LMND menerima organisasi pemuda/mahasiswa ataupun klub hobi (diskusi, motor, olahraga, musik, budaya, dll) untuk bergabung dalam Liga, tanpa harus mengikis eksistensi (nama, aktivitas) organisasi-organisasi asal tersebut, selama mereka sepakat pada hal-hal prinsip yang tersebut di atas.

Praktek politik mahasiswa progresif selalu dinantikan untuk pembebasan 120 juta rakyat miskin di Indonesia. Be progresivve with joining LMND!

Tolak kapitalisasi pendidikan

Senjata Mandul, Kepala Besar

Sebuah kesimpulan menggelikan tertuliskan sebuah jurnal bersatu edisi Mei 2008, pada komentar kawan Ken, Ketua Serikat Maahasiswa Indonesia (SMI) yang mengatakan, dalam konteks isu digerakan mahasiswa (general) yaitu bagaimana mengkampanyekan kapitalisasi dunia pendidikan, hanya ada dua organisasi yang disebut paling konsisten (SMI dan FMN). Dalam menjelaskan soal situasi gerakan mahasiswa, kawan-Kawan kembali larut dalam penjelasan eksistensialisnya yang menyebut bahwa hanya FMN dan SMI –lah yang bersifat progressif. Kesimpulan diatas sungguh reduksionis dan memperlihatkan kecenderungan eksistensialis (sectarian) dengan membenarkan garis sendiri, meskipun belum teruji kebenarannya.

Kalau ukurannya adalah konsistensi menolak kapitalisasi pendidikan, ini terlampau luas baik jangkauan pembahasannya maupun konteks sejarahnya. Sejak politik etis dipraktekkan, kapitalisasi dunia pendidikan dengan sendirinya sudah berlansung. Meskipun tidak siginifikan dan kurang kedengaran, Tan Malaka dan banyak tokoh pergerakan dimasa itu (termasuk Ki Hajar Dewantara) sudah menentang konsep kapitalisasi pendidikan. Kalau yang dimaksud kapitalisasi pendidikan adalah neoliberalisme yang merasuki perguruan tinggi, maka titik awalnya adalah tahun 1999. Pada masa itu SMI ataupun FMN belum ada, masih berbentuk komite-komite aksi. Akan tetapi, perlawanan terhadap BHMN-isasi sudah marak dilakukan oleh mahasiswa. Di UI, beberapa aktifis di D.O karena menolak kebijakan BHMN. Di Makassar, mahasiswa UNHAS sudah membangun komite aksi lintas kampus bernama SMAPER (solidaritas mahasiswa anti pendidikan refresif). SMAPER dimotori oleh LMND dan beberapa komite mahasiswa dari Unhas. Di UGM, Unair, dan di ITB, perlawanan serupa sudah bergolak, berupa aksi pendudukan kantor rektorat dan mogok makan. Tidak terhitung jumlah anggota kami yang mengalami drop-out dan skorsing akibat perlawanan terhadap BHMN ini. kejadian ini pula berpengaruh meskipun tidak signifikan atas kemunduran basis. Bahwa saat ini, gelombang privatisasi kampus sudah meluas kemana-mana dan hampir semua kampus bertekuk lutut menerima sistem ini.

Kita mengakui bahwa kita telah gagal membendung badai neoliberalisme menerjang kampus. Pengesahan UU sisdiknas dan beberapa bentuk peraturan lainnya merupakan arus besar neoliberal mengangkangi system pendidikan nasional

RUU BHP dan Isu Sektoral

Reformasi perguruan tinggi menjadi neoliberal di eropa dan Negara-negara maju ditentang oleh gerakan mahasiswa dengan mobilisasi cukup massif. Mahasiswa yang pada awalnya menikmati subsidi dari pemerintah tiba-tiba diperhadapkan dengan system baru yang mengharuskan mereka mengeluar biaya lebih besar. Belum lagi kurikulum yang diutak-atik agar lebih sesuai dengan kebutuhan pasar. Disamping itu, pasang revolusioner gerakan mahasiswa tahun 1960-an telah membangkitkan kesadaran-kesadaran mahasiswa diberbagai kampus di eropa guna melawan system pendidikan kapitalis yang tidak humanis (lihat Penjelasan Ernest Mandel dalam gerakan mahasiswa revolusioner; antara teori dan praktek, ataupun Guy Debord- tokoh situasionis internasional yang menulis tentang kemiskinan mahasiswa).

Beda halnya dengan Indonesia. Paska masa subur aktivitas revolusioner gerakan mahasiswa tahun 1960-an, perubahan kehidupan kampus memasuki sebuah era- depolitisasi dan deorganisasi selama berpuluh-puluh tahun. Selama masa itu, gerakan mahasiswa radikal benar-benar kering dikampus. Nanti setelah kemunculan aktifis radikal tahun 1980-an, kehidupan progressif kembali tumbuh di berbagai kampus di Indonesia. Puncaknya adalah gerakan mahasiswa tahun 1998 yang berhasil menumbangkan rejim orde baru. Cerita sukses tahun 1998, telah mengilhami generasi mahasiswa sesudahnya sehingga mereka terlampau banyak bermimpi “peristiwa serupa seperti 1998” bakal bisa terulang. Mereka benar-benar mabok heroisme, sehingga mereka missed dengan pengetahun yang akurat mengenai gerakan mahasiswa 1998 sendiri.

Sejak dimulai 1999, dengan dikeluarkannya PP No.60 dan 61 Tahun 1999 tentang BHMN, gelombang swastanisasi mulai merambah kampus. Pilot projeknya adalah UI, ITB, IPB, dan UGM. Perlawanan mahasiswa bergejolak ketika itu. Namun situasi ini datang berhimpitan dengan situasi kemunduran total gerakan mahasiswa paska dikalahkan dalam pertempuran melawan sisa-sisa orba (Golkar dan Tentara). Karena itu energi gerakan yang melawan tidak sanggup menahan BHMN ini. Bersamaaan dengan periode ini, secara perlahan-lahan terjadi perubahan komposisi asal klas dari mahasiswa yang menikmati pendidikan diuniversitas. Kampus negeri yang seharusnya menampung mahasiswa miskin dan berbakat, ketika menaikkan biaya pendidikan (seiring dengan BHMN) mulai susah diakses mahasiswa dari keluarga miskin dan menengah. Dibukanya jalur non-formal (tanpa tes) dengan jalan jual beli bangku semakin memperbesar dan mempercepat perubahan komposisi dari mahasiswa. Mahasiswa miskin makin susah ditemukan, sedangkan mahasiswa kaya dan keadaan ekonomi yang stabil semakin mendominasi kampus negeri dan swasta.

Pada tahun 1999 (awal pemberlakuan BHMN) di perkirakan kenaikan biaya kuliah dari 300 hingga 400%. Di Universitas Indonesia uang pangkal—Admission Fee (untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp.5 Juta hingga Rp 25 juta, sedangkan untuk program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) Rp. 25 Juta-Rp75 Juta. Untuk kampus sekelas Institut Tekhnology Bandung(ITB) di kenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik —bisa mencapai 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Universitas Gajah Mada(UGM) memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik(SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp.20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-SPMB. Dengan biaya pendidikan yang sebesar itu mustahil bisa diakses oleh mayoritas rakyat Indonesia yang oleh Bank Dunia dikatakan 49,5%nya berpendapatan dibawah 2USD perhari. Itu berarti ada 110 juta rakyat Indonesia yang hanya berpendapatan sekitar 500 ribu -600 ribu per-bulan. Sanggupkah mereka mengakses bangku Universitas? Diakui, jalur khusus 300 kursi di ITB dengan biaya masuk minimal Rp 45 juta itu banyak diisi anak-anak orang kaya.

Menurut data yang akurat; Pada tahun 2004 peserta seleksi penerimaan mahasiswa baru turun 4 %(336.707 Peserta), dibandingkan dengan tahun 2003 sebanyak 350.306 peserta. Tahun 2005 mengalami penurunan lebih parah sebesar 7,5 % atau sekita 311.000-an (sumber Suara Pelopor, edisi I tanggal 21 Mei Tahun 2006, LMND). Dalam tahun 2003, mayoritas jumlah mahasiswa baru terbanyak(77%) adalah mereka yang orang tuanya berpendapatan sekitar 1,5- juta perbulan, sedangkan 20% nya adalah mahasiswa yang orang tunya berpendapatan lebih dari 2 juta keatas. Biaya masuk perguruan tinggi negeri bisa mencapai angka di atas Rp 100 juta, sementara setiap semester dapat mencapai Rp 70 juta. Tingginya biaya tersebut semakin memperkecil akses masuk ke pendidikan tinggi (Kompas, 12,05.08).

Berbarengan dengan meroketnya biaya pendidikan, kampus-kampus dibawah pengaruh neoliberal kini ditata-ulang, baik secara kurikulum maupun structural. Semangat utama dari yang berbau neoliberal adalah anti serikat (unionisme), dan anti terhadap aktivitas berbau politik.

Disinilah letak perdebatan kenapa focus pengorganisiran dan metode pembangunan gerakan mahasiswa harus ditinjau ulang dan menyusun taktik-taktik baru dalam membangun gerakan mahasiswa. Kami di LMND mengakui bahwa mahasiswa berkepentingan menentang RUU BHP, mengkampanyekan secara luas penentangan terhadap neoliberalisme, dan menyerukan pembentuk front persatuan. Kami pun menyadari bahwa semakin jauh mahasiswa radikal meninggalkan kampus, maka gerakan dikampus akan direbut oleh gerakan mahasiswa kanan dan konservatif. Akan tetapi, perlu mempertimbangkan kembali tekanan isu yang difokuskan (sekali lagi difokuskan) kepada penentangan RUU BHP , isus social ekonomi dan demokratisasi kampus. Dengan perubahan komposisi seperti yang kami jelas diatas, ketepatan program dan taktik ini untuk menarik simpati dan dukungan mahasiswa luas begitu kecil. Mahasiswa yang berasal dari klas menengah keatas merasa tidak begitu berkepentingan dengan isu itu. Isu-isu perbaikan fasilitas kampus bagi merekapun tidak terlampau menarik. kalau fasilitas kampus jelek, mereka masih memiliki duit untuk bisa ke mall, diskotik, starbuck, atau tempat-tempat hiburan lainnya yang lebih menyenangkan buat selera klas mereka.

Pembesaran organisasi kanan seperti KAMMI ataupun Gema Pembebasan bukan karena program dan taktik itu juga (RUU BHP dan isu social ekonomi, red). Tetapi, pembesaran mereka lebih banyak disebabkan oleh kenyataan bahwa ideology yang mereka jual tidak terlalu mendapatkan refresi sehingga dengan leluasa mereka memanfaatkan dan mendominasi ruang-ruang dikampus (UKM,himpunan, BEM, LDK, dll). Harus pula diakui militansi dan kedisiplinan kader-kader KAMMI dan Gema Pembebasan yang melebihi kapasitas kader organ cipayung.

Kalaupun mau mendorong kampus terpolitisasi (karena kampus bukan area netral dari kehidupan politik), maka program dan taktiknya pun tidak kaku dan saklak harus fokus pada RUU BHP dan isu sosial-ekonomi massa mahasiswa. Kami sepakat bahwa gerakan mahasiswa harus “back to campus”. Akan tetapi, yang ditarik kekampus hanyalah “panggung” dan “aktivitasnya”, sedangkan arena pertempurannya tetap harus dikutub politik. Kemungkinan politisasi kehidupan kampus seperti yang dikerjakan oleh Persatuan Mahasiswa Jakarta (PMJ) dalam gerakan penentangan kenaikan harga BBM memang cukup besar jika panggung dan aktivitasnya ditarik dikampus. Akan tetapi, hambatan dalam mengelolah gerakan dikampus dimasa sekarang mungkin akan lebih sulit dibandingkan dimasa sebelumnya.

Pendidikan Gratis, Ilmiah dan Demokratis, dan Kebutuhan Respon Politik

Neoliberalisme disektor pendidikan tidak terlepas dari persoalan umum yang mendera rakyat Indonesia. Tidak adanya kemandirian ekonomi dan politik, menyebabkan imperialisme begitu leluasa memaksakan agenda-agenda mereka disegala sektor. Sektor pendidikan saat ini bukan lagi sekedar lembaga penyedia “robot” untuk pabrik kapitalis, bukan pula sekedar sebagai instrument memasok ideology klas borjuis, akan tetapi system pendidikan telah menjadi komoditi yang akan diserahkan pada mekanisme pasar. Semakin dalam prose situ, maka semakin banyak yang akan terbuang dari lembaga pendidikan dan sebaliknya lembaga pendidikan hanya akan dinikmati oleh orang-orang kaya.

Sehingga program tuntutan mendesak sektor mahasiswa sekarang adalah menuntut pendidikan gratis dan berkualitas agar bisa diakses oleh seluruh rakyat dan dapat memajukan tenaga-tenaga produktif dalam negeri. Logika pendidikan gratis merupakan penjungkirbalikkan terhada logika berfikir neoliberal yang menjadikan pendidikan sebagai komoditi mahal. Selain itu, dalam isu pendidikan gratis sebenarnya kita telah meletakkan dasar-dasar untuk menarik lautan jutaan rakyat Indonesia yang terpinggirkan oleh system pendidikan.

Sekarang problemnya adalah bagaimana agar system pendidikan gratis dan berkualitas bisa terwujud, bukan sekedar slogan-slogan. Kami menyadari betul, pendidikan gratis akan susah terwujud jikalau kekayaan alam kita yang melimpah (terutama pertambangan) masih dikuasai oleh fihak asing. Tidak akan ada pendidikan gratis jikalau pemerintahan yang ada termasuk kaki-tangannya (elit-politik pro asing) masih tetap berkuasa dan membiarkan sumber-sumber ekonomi kita dihisap oleh imperialisme. Maka LMND kemudian menganggap bahwa gerakan mahasiswa seharusnya berada digarda depan perjuangan anti-imperialisme, perjuangan untuk menegakkan kedaulatan nasional atas sumber-sumber ekonomo dan SDM demi kemakmuran rakyat. Sehingga LMND menyerukan program nasionalisasi Industri pertambangan asing sebagai program anti imperialis sekaligus jawaban kami atas persoalan pembiayaan pendidikan gratis. Di kalangan gerakan mahasiswa, LMND bisa disebut organisasi mahasiswa pertama yang mengusung isu nasionalisasi industri pertambangan dan berkali-kali melakukan aksi didepan kantor ExxonMobil, symbol korporasi minyak asing.

Akan tetapi, perjuangan anti imperialis tidak akan sukses kalau tidak berdasarkan politik persatuan. LMND terlibat dalam inisiatif mendirikan partai guna mengintervensi proses elektoral ditahun 2009. Ada kawan yang menuduh kami oportunis-revisionis modern dan lain-lain. Kami katakan bahwa pandangan semacam ini adalah bentuk oportunisme kiri yang tidak memahami perkembangan situasi politik dan sifat/karakter kesadaran massa. Kami menganggap aksi ekstra-parlementer saja tidak cukup, metode ini harus dikombinasikan dengan jalan parlementer. Intervensi momentum elektoral bagi kita, akan semakin memperluas lapangan perjuangan dan propaganda anti-imperialisme. Pelajaran kemenangan calon pengusung pendidikan gratis dalam momentum elektoral di daerah bisa menjadi investasi untuk menarik sentiment rakyat ini pada panggung nasional. Keterlibatan LMND dalam pemilu 2009 nanti akan semakin meneguhkan makna perjuangan politik mahasiswa.

Kesimpulan

Perbedaan taktik adalah sah dalam gerakan. Ukuran paling sehat untuk mengukur kebenarannya adalah praktek bukan kesimpulan subjektif. Problem subjektif utama gerakan mahasiswa yang makin mengalami fragmentasi (sektarianisme) dan diosorientasi (ketiadaan orientasi politik yang lebih strategis). Kami setuju bahwa solusi untuk persoalan ini adalah persatuan. Akan tetapi kecenderungan gerakan untuk eksklusif dan mengunci diri merupakan hambatan-hambatan dalam mengusahakan persatuan. Sehingga tawaran paling praktis untuk mengatasi persoalan ini agar tidak makin melebar adalah melakukan kerjasama pada hal-hal yang memungkinkan bersama, dan menjalankan garis sendiri –sendiri kalau memang susah untuk diketemukan.

privatisasi kampus

Neoliberalisme Dunia Pendidikan:

Otonomi Kampus dan Sekolah

Dikeluarkan Oleh Departemen Litbang LMND

1. Menelanjangi Otonomi Sekolah dan Kampus: Pemotongan Subsidi Pendidikan

Menyoroti berbagai persoalan tentang sistem pendidikan belakangan ini, kita akan justru dengan terpaksa harus mengupas sebuah isu, yaitu otonomi sekolah dan otonomi kampus. Kedua hal ini sebenarnya adalah jalan keluar yang ditawarkan pemerintah untuk menghadapi kurangnya dana yang tersedia untuk penyelenggaraan pendidikan untuk masyarakat. Selintas, kebijakan ini justru lebih berlaku untuk sekolah-sekolah dan kampus-kampus negeri yang memang dibiayai pemerintah. Namun, jika kita menelusuri secara historis dan lebih detail, maka akan terlihat bahwa kebijakan yang dicanangkan pemerintah dengan apa yang dinamakan Otonomi Pendidikan ternyata akan berpengaruh kepada keseluruhan sistem pendidikan di Indonesia.

1.1. Komersialisasi Pendidikan Semasa Orde Baru

Sampai saat ini, dalam kenyataannya, negara tak pernah menjalankan secara konsekuen dengan amanat UUD 1945 dalam persoalan pendidikan. Di masa Orde Baru, kecenderungan ini justru lebih terlihat dibanding periode sebelumnya. Bahkan terkesan di masa Orde Baru, pendidikan mulai secara perlahan dikomersialkan.

Bertambahnya populasi manusia Indonesia semasa Orde Baru tak pernah dihadapi dengan persiapan infrastruktur sosial, termasuk pendidikan. Bahkan dapat dikatakan, pemerintah justru tak pernah dengan serius memperhatikan persoalan ini. Pemerintah Orde Baru justru lebih membiarkan anak-anak Indonesia masuk ke dalam jeratan pendidikan swasta. Memang begitu banyak dibangun SD-SD Inpres, tetapi sangat jelas kelanjutan dari pendidikan dasar tersebut sangat tidak diperhatikan. Bahkan kini, program SD Inpres ini sepertinya sama sekali ditinggalkan, jika kita melihat begitu banyak gedung-gedung SD Inpres, terutama di daerah pedesaan, yang nyaris rubuh dan hanya memiliki beberapa orang guru saja untuk mendidik semua tingkat kelas yang ada.

Dengan pembenaran kesulitan semacam inilah, pintu untuk pendidikan swasta, di bawah naungan yayasan-yayasan yang kebanyakan bersifat keagamaan, masuk memanfaatkan segenap potensi pasar yang ada. Berdirilah sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang kini semakin jelas terlihat tujuan mereka sebenarnya: uang!

Seiring dengan pertumbuhan industri, kebutuhan akan tenaga kerja terdidikpun muncul, terutama dengan keahlian yang benar-benar seperti yang diinginkan oleh para pemilik perusahaan. Kebutuhan tersebut ternyata tak terjawab oleh adanya sekolah-sekolah kejuruan yang ada. Untuk menjawab keinginan ini, negara memperkenalkan sistem pendidikan D1, D2, dan D3. Iming-iming cepatnya lulusan diploma mendapatkan pekerjaan, membuat program ini laku diminati orang dan berbondong-bondong lulusan SMA menyertakan dirinya ke dalam program ini.

Tahun-tahun terakhir dari masa Orde Barupun kita mulai mendengar istilah “Link and Match” yang bermakna hubungan yang katanya harmonis antara dunia Industri dan Pendidikan. Tujuan dari model pendidikan seperti ini, menurut Wardiman Djojonegoro, adalah setiap peserta didik dapat langsung mendapatkan pelatihan yang menggunakan perkembangan teknologi terakhir sehingga memudahkan ia untuk bekerja nantinya dan pihak industri mendapatkan pekerja yang sesuai dengan kualifikasi yang diinginkannya.

“Link and Match” meski belum sempat diterapkan secara efektif, namun minimal ia adalah salah satu gerbang masuknya pengaruh perusahaan-perusahaan besar ke dalam sistem pendidikan Indonesia. Pemerintah begitu bersemangatnya, sehingga merasa harus memberikan insentif berupa pembebasan pajak bagi industri yang menjalankan konsep ini, atau yang sering disebut Pendidikan Sistem Ganda[1]. Dalam kenyataannya kemudian, pelibatan dunia industri justru membuka kesadaran bagi dunia industri untuk mentenderkan riset dan pengembangan produknya di kampus-kampus. Dan juga membuka kesadaran di kalangan kampus, bahwa kampus dapat dijadikan lahan bisnis yang cukup besar.

Hasil akhir dari sistem pendidikan yang dibangun oleh Orde Baru adalah sebuah mimpi buruk. Dari penelitian yang dilakukan Departemen Pendidikan dan PBB[2] menyatakan, di tingkat Sekolah Dasar misalnya, hanya separuh siswa SD di Indonesia yang lulus pada tahun keenam, 65 persen lulus pada tahun ketujuh, dan 70 persen yang lulus pada tahun kedelapan.

Penyebaran kualitas pendidikan pun sangat menyedihkan. 80 persen calon mahasiswa PTN terbaik berasal dari sekolah-sekolah di Jawa. Lihat saja skor rata-rata untuk penerimaan mahasiswa baru (UMPTN) tahun 2000 yaitu 771, sedangkan di luar Jawa hanya berkisar 400-600.

Salah satu argumen yang berkembang tentang sumber persoalan ini adalah karena pola kebijakan pendidikan yang sentralistis, di mana pusat mengatur mulai dari jam belajar, metode belajar, dan target yang harus dicapai. Akibatnya, terdapat keterbatasan sekolah dalam mengatasi berbagai macam masalah, karena sekolah dan guru hanyalah pelaksana yang selalu dibelenggu oleh aturan-aturan baku yang ditetapkan oleh pusat. Akan tetapi, benarkah argumen ini?

Intervensi komersialisasi justru menjadi penyebab utama dari segudang persoalan di atas. Ia menyebabkan membengkaknya iuran pendidikan yang harus dibayar orang tua siswa akibat adanya pengutipan oleh birokrasi sekolah atau kampus. Ia menyebabkan adanya buku-buku tidak bermutu yang malah dipakai oleh sekolah-sekolah. Ia menyebabkan munculnya sekolah-sekolah dan kampus-kampus yang materi pengajarannya harus dengan sangat terpaksa kini diragukan. Pemerintah yang cuci tangan dari kewajibannya dan pembukaan pendidikan untuk komersialisasi jelas adalah penyebab utama dari amburadulnya hasil pendidikan Orde Baru.

1.2. Anggaran Pendidikan dan Subsidi Pendidikan

Semasa Orde Baru, dana pendidikan yang dikeluarkan tak lebih dari 8 persen dari APBN. Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand, maka dapat terlihat bahwa pemerintah Indonesia tak pernah memperhatikan pendidikan. Sejak tahun anggaran 1992, 1993, 1994, 1995, 1996 Thailand masing-masing mengalokasikan 18,8 persen, 19,3 persen, 19,5 persen, 18,9 dan 20,40 persen maka untuk periode yang sama Indonesia hanya 8,08 persen, 7,69 persen, 7,1 persen, 6,73 persen, dan 6,96 persen. Untuk hal yang sama, sering disebut-sebut Malaysia sudah mengalokasikan 25 persen sejak tahun 1974[3].

Anggaran pendidikan saat ini sangat memperlihatkan bahwa pemerintah memang benar-benar melepaskan tanggungjawabnya dari dunia pendidikan, apalagi memasukkan pendidikan sebagai salah satu yang diberikan tanggungjawabnya kepada pemerintah daerah.

Sebelumnya, untuk kasus Universitas Indonesia, pemerintah menanggung subsidi untuk setiap mahasiswa sebesar 2,5 juta rupiah persemesternya untuk menghadapi kebutuhan sekitar 7 juta per semester per mahasiswa. Pemerintah lalu memotong subsidi ini, dengan alasan agar dapat digunakan di pendidikan dasar-menengah. Akibatnya, iuran SPP yang ditanggung mahasiswa UI meningkat menjadi 750.000 rupiah dari 450.000 rupiah[4]. Dan inipun harus ditambah dengan dana DPKP yang menyebabkan total biaya yang ditanggung per mahasiswa lebih dari 1 juta per semester.

Lucunya, setelah mengatakan bahwa pemotongan subsidi untuk perguruan tinggi karena pemerintah ingin menggunakan dananya di pendidikan dasar dan menengah, diumumkanlah pemberlakuan otonomi pendidikan yang termasuk dalam paket otonomi daerah. Dalam otonomi pendidikan ini juga diperkenalkan manajemen pendidikan berbasis sekolah yang dapat disimpulkan dengan singkat: uang SPP SD-SMTA naik.

2. Otonomi Sekolah dan Kampus: Antara Konsep dan Dampak

Konsep yang berlaku dalam otonomi pendidikan adalah apa yang disebut manajemen pendidikan berbasis sekolah dan kampus. Sekolah dan kampus bertanggung jawab atas keuangan, kegiatan atau program, sarana-prasarana, dan komponen-komponen penunjang pendidikan lainnya. Sekolah dan kampuslah yang merencanakan, melaksanakan, dan mengontrol dirinya dalam melakukan pembangunan diri ataupun pendidikan bagi siswa-siswanya.

Otonomi pendidikan ini juga sejalan dengan otonomi daerah yang berlaku 1 Januari 2001 lalu. Berbagai Pemerintah Daerah Tingkat I dan II sudah menyatakan kesiapan dirinya. Mereka terutama adalah daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang kaya. Sebagai contoh Pemda Kalimantan Timur yang mengklaim sudah menyiapkan anggaran pendidikan sebesar 340 milyar rupiah dan dengan tambahan dana dari sektor kehutanan sebesar dua dolar per meter kubik kayu hutan industri yang dimilikinya. Salah satu kabupatennya, Kutai Kertanegara, yang kaya akan hasil tambang minyak dan emas bahkan akan menggratiskan sekolah sampai SMA.

Namun tak semua provinsi dan kabupaten seperti Kalimantan Timur dan Kutai Kertanegara. Provinsi dan kabupaten yang selama ini miskin kekayaan alam dan berjubel penduduknya tidak akan mengalami keindahan dunia pendidikan seperti yang dialami Kaltim dan Kutai. Artinya, ada beberapa hal yang harus dicermati dalam pelaksanaan otonomi pendidikan.

2.1. Memperbesar Peran Birokrasi Kampus dan Sekolah untuk Menyediakan Dana

Desentralisasi pendidikan dimulai dengan memberi peran kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten atau kotamadya sebagai basis pengelolaan pendidikan dasar. Sedangkan untuk pendidikan tinggi

Pertama, otonomi daerah telah menyebabkan kembalinya sumber-sumber daya untuk pendidikan ke daerah-daerah. Asumsi dari otonomi daerah, atau lebih tepatnya sumber kepalsuannya, setiap daerah memiliki potensinya masing-masing sehingga justru dengan otonomi daerah setiap daerah bisa mencapai tingkat kemakmuran.

Mari kita lihat kenyataannya, tak usah jauh-jauh dari pusat kekuasaan. Di Jabotabek dan Jawa Barat masih banyak SD-SD yang fasilitasnya dan mutu pendidikan yang diperoleh siswa-siswanya sama-sama menyedihkan dengan di daerah-daerah lainnya. Dibandingkan dengan SD-SD yang berada dalam perkembangan infrastruktur di daerah-daerah luar Jawa di mana alam masih menjadi sumber keterbatasan, sebenarnya SD-SD di Jawa, di mana segala macam fasilitas telah tersedia, ternyata memiliki nasib sama-sama menyedihkan.

Yang tak kalah penting adalah kondisi yang sangat dipenuhi ketimpangan di awal pemberlakuan pendidikan. Kondisi SD-SD di Jawa Barat dan SD-SD di Papua jelas sangat jauh berbeda baik dari segi fasilitas, tenaga pengajar, kemampuan siswa, dan mutu pendidikannya. Atau dalam contoh ekstrem, sebuah SMA negeri unggulan di Jakarta dengan semua ruang kelas ber-AC, memiliki lab komputer, dan segudang fasilitas lainnya bisa beroperasi karena SPPnya mencapai ratusan ribu rupiah. Bahkan saat ini juga telah muncul sekolah-sekolah plus dari swasta yang berfasilitas hebat dan berstandar pendidikan internasional[5]. Ya, sekolah-sekolah ini memang berkualitas karena dananya juga berasal dari murid-muridnya yang kaya. Tapi bagaimana menciptakan pendidikan yang berkualitas dengan biaya yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat? Dengan otonomi pendidikan, menyerahkan segala urusan pembiayaan kepada kampus dan sekolah? Jelas tidak. Otonomi pendidikan justru akan menghambat pemerataan mutu pendidikan baik antar daerah dan juga antar lapisan-lapisan ekonomi masyarakat.

Jika begitu, otonomi pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolahnya menjadi upaya cuci tangan pemerintahan dari tanggung jawab membenahi segala macam kerusakan yang telah terjadi dalam sistem pendidikan Indonesia.

Kedua, otonomi pendidikan tidaklah berarti peningkatan porsi anggaran pendidikan, atau titik perhatian pemerintah. Padahal, penyebab utama rendahnya mutu pendidikan Indonesia adalah rendahnya dana yang dialokasikan untuk sektor pendidikan. Jangan pernah tertipu oleh jumlah uang yang dianggarkan untuk pendidikan, tapi perhatikanlah persentasinya dari total anggaran. Jika alokasi anggarannya tetap rendah, maka justru otonomi pendidikan justru akan menyengsarakan siswa-siswa. Kenapa? Karena otonomi pendidikan juga berarti menyerahkan tanggung jawab penyediaan dana kepada sekolah-sekolah, dan yang paling mudah untuk mendapatkan dana adalah menaikkan iuran sekolah.

2.2. Kampus sebagai Pusat Bisnis Riset IPTEK

Seperti yang pernah diungkapkan di atas, masuknya intervensi industri ke dalam kampus telah menciptakan basis bisnis baru, riset dan pengembangan produk. Awalnya, ladang bisnis ini dijalankan secara diam-diam ataupun bahkan diselimuti oleh institusi-institusi penelitian kampus untuk membiayai berbagai macam kegiatan akademik. Yang digunakan juga fasilitas-fasilitas kampus. Kenapa tidak? Di negara-negara maju hal ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah. Apalagi hampir kebanyakan tenaga pengajar yang dinilai terbaik oleh kampus-kampus Indonesia dididik di negara-negara tersebut.

Namun lama kelamaan, ia menjadi lahan bisnis yang menguntungkan, terutama untuk beberapa kalangan di dalam kampus yang dekat dengan fasilitas penelitian dan pengembangan kampus. Dan pihak birokrasi kampuspun mulai melihat riset IPTEK sebagai lahan bisnis yang dapat memberikan pemasukkan untuk anggaran kampus, ataupun anggaran pribadi jika person-personnya terlibat KKN.

Dunia bisnis dengan dunia kampus memiliki perbedaan yang mendasar. Jika dunia kampus adalah bertugas melayani masyarakat, dunia bisnis memiliki hanya satu kepentingan: memperkaya para pemegang saham. Apa jadinya jika fasilitas penelitian di kampus-kampus lebih banyak dipakai untuk kebutuhan-kebutuhan komersil? Semua pusat perhatian penelitian di kampus akan lebih banyak tercurah kepada kepentingan-kepentingan para pemilik modal, bukan mayoritas masyarakat.

Saat inipun, banyak tugas-tugas akhir mahasiswa S1, terutama di fakultas-fakultas teknik, sudah sangat banyak dipengaruhi oleh pengembangan fasilitas penilitian kampus sebagai sarana bisnis. Banyak dosen-dosen pembimbing yang juga terlibat proyek penelitian dengan berbagai perusahaan justru memanfaatkan tenaga gratisnya para mahasiswa tugas akhir tersebut untuk membantu menyelesaikan proyeknya.

2.3. Pola Subsidi Pendidikan

Konsep otnomi kampus juga memperkenalkan model performance contract untuk pemberian subsidi pendidikan. Misal, di kampus A pemerintah memberikan sejumlah bantuan (block grant) yang diikat oleh sejumlah persyaratan seperti jumlah kelulusan yang dihasilkan dan kualitas dari kelulusan tersebut haruslah mencapai standar tertentu.

Jika kuantitas dan kualitas yang ditentukan tidak dapat dipenuhi, maka akan menjadi evaluasi dalam pemberian bantuan selanjutnya. Bisa jadi evaluasi tersebut menjadi alasan pengurangan subsidi yang diberikan ke kampus A tersebut.

Sistem semacam ini tak ubahnya membuat kampus menjadi pabrik sarjana, dimana manusia-manusia yang dididik di dalam kampus-kampus benar-benar hanya siap untuk menjadi mur dan baut dunia industri. Kurikulum jelas akan benar-benar dipengaruhi prasyarat-prasyarat yang tercantum dalam kontrak bantuan. Lihat saja betapa besar genjotan yang dilakukan pihak birokrasi kampus untuk mempercepat masa studi seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri. Di banyak kampus negeri saat ini, dalam satu tahun dapat mengadakan tiga kali masa persidangan skripsi ataupun tugas akhir. Ini juga ditambah dengan batas maksimum masa studi yang perpanjangannya diembel-embeli dengan penambahan beban SPP. Dan semua itu sama sekali tidak memperhatikan apa yang diperoleh setiap wisudawan selama masa studinya di kampus-kampus tersebut.

2.4. Pengaruh Korporat di dalam Sekolah dan Kampus

Dalam konsep otonomi pendidikan saat ini memang negara tidak terlalu dominan dibanding masa Orde Baru. Namun yang menarik, pelibatan semua unsur-unsur masyarakat di dalam Lembaga Pertimbangan Pendidikan dan Kebudayaan (LPPK) untuk SD-SMTA di pemda-pemda setempat, dan Majelis Wali Amanat (MWA) untuk perguruan tinggi negeri.

Kenapa menarik? Karena di dalam setiap lembaga tersebut, unsur usahawan selalu dimasukkan sebagai daftar pertama sebagai anggotanya. Jelas, masuknya usahawan ke dalam manajemen pendidikan tidak bisa ditolak jika yang bersangkutan benar-benar ingin membantu dunia pendidikan tanpa imbalan apapun. Namun kenyataannya, ini sering kali membuat institusi-institusi pendidikan memasukkan hitungan untung rugi finansial dalam memberikan pendidikan kepada peserta didiknya.

Hal tersebut telah terjadi di berbagai negara, terutama negara-negara maju. Di Kanada misalnya, pengaruh korporat mulai mengarahkan kampus sebagai pelayan kepentingan ekonomi mereka, yaitu pasar produk mereka dan riset yang dilakukan kampus. Komersialisasi riset dan pengembangan justru dianjurkan oleh sebuah badan yang didirikan oleh pemerintah federal, Expert Panel on the Commercialization of University Research. Ternyata, badan yang diketuai oleh Menteri Perindustrian Kanada ini tidak diisi oleh ahli-ahli akademik, melainkan para pengusaha dan non akademisis lainnya yang memang ditunjuk oleh pemerintah. Penerapan model MWA di Kanada juga terjadi, sebagai contoh Board of Governors dari McGill University adalah para pengusaha besar di Montreal[6]. Kasus demi kasus terjadi, dua yang terakhir adalah pendirian McGill College International yang didanai swasta dan kasus kesepakatan rahasia mengenai riset minuman dingin.

2.5. Dampak Utama: Naiknya Biaya SPP

Terlepas dari semua frasa kosong yang dikeluarkan oleh para konseptor otonomi pendidikan di Indonesia, kita tak bisa melupakan satu hal yang berkaitan langsung dan paling terasa oleh masyarakat. Otonomi pendidikan akan selalu diikuti oleh kenaikan SPP. Pengalaman di UNAM, Meksiko, membuktikan gratisnya (sebenarnya tidak gratis tetapi sekitar 50 sen persemester, sehingga dapat dikatakan gratis) pendidikan tidak berarti buruknya fasilitas kampus. Bahkan UNAM yang jumlah mahasiswanya mencapai 268000 orang, memiliki fasilitas berupa empat buah SMA yang siswa-siswanya begitu lulus menjadi mahasiswa UNAM. Namun ketika program Neoliberalisme diperkenalkan, biaya SPP dinaikkan hingga US$ 140, sebuah angka yang cukup mahal di kota Meksiko. Akibatnya, hampir sebagian mahasiswa UNAM melakukan mogok kuliah yang kemudian berbentrokan dengan aparat kepolisian yang diundang oleh pemerintah untuk merebut kembali kampus[7].

Di Indonesia, mahasiswa negeri angkatan 1999 dan 2000 kini membayar uang mendekati 1 juta rupiah sebagai SPP. Sampai saat ini memang masih belum jelas untuk tingkat pendidikan di bawahnya, tetapi memang telah terlihat akibat-akibat kenaikan SPP ini, 3 juta anak usia SMTP tidak sekolah. Sementara itu, pemerintah tetap mendorong kebijakan otonomi pendidikan kepada pemda-pemda dan otonomi kampus. Untuk otonomi kampus saja, direncanakan subsidi untuk pendidikan tinggi akan terus-menerus dikurangi sampai nol dalam jangka beberapa tahun.

***

Menjadi persoalan pelik jika di saat krisis saat ini sektor pendidikan tidak menjadi bagian perhatian pemerintah. Apabila terus-menerus seperti ini, maka bukan tidak mungkin pendidikan kembali hanya menjadi monopoli orang-orang yang memiliki modal yang hanya memberikan pendidikan kepada orang lain untuk memperlancar ekonominya.



[1] Insentif bagi Industri yang Lakukan Pelatihan, Kompas, Kamis, 26 Juni 1997

[2] Tempo, 7 Januari 2001

[3] Lewat Persentase Anggaran, Belajar dari Negara Lain, Kompas, Sabtu, 2 Mei 1998

[4] Kabupaten dan Kota Menjadi Basis Pengelolaan Pendidikan Dasar, Kompas, Rabu, 24 Februari 1999

[5] Sekolah Plus, Menghitung Dengan Dollar, Suplemen, Tempo, 18 Maret 2001

[6] Kasrai, Reza, Corporate University, CFS-Quebec Education Action, edisi musim gugur 2001.

[7] http://www.newyouth.com/archives/campaigns/mexico/UNAM.asp