Jumat, 08 Agustus 2008

cerita pendek

Anak-anak dan Beban Pasif


Seperti biasa dihari Jumat, setelah melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim yaitu Shalat Jumat di Masjid Al-Falah, anak-anak (begitu biasanya saya menyebut teman-teman saya) biasa mencari sandaran di luar altar masjid untuk sekedar ber-kongkow-an dalam rangka melepas lelah setelah letih melawan rasa kantuk pada saat khatib berkhutbah. Dan kebetulan saat itu memang khutbah terasa lama sekali. Memang Jamaah kampung kami sedikit maklum akan kebiasaan KH. Abdillah Isak yang jika sudah berkhutbah tidak pernah ingat waktu.

Jumat itu Yomi tidak biasanya absen dalam kongkow-Jumatan yang biasa digelar setelah memenuhi kewajiban jumatan. Dan sebagai gantinya saya yang hadir waktu itu. Karena memang saya hampir tidak pernah ikut riutal ini disebabkan saya biasa shalat ditempat saya bekerja. Dan kebetulan hari Jumat ini sedang libur.

“Yomi kemana, Bay” ivan memulai ritual ini dengan menanyakan keberadaan yomi yang memang tidak kedengaran beritanya. “Katanya sih pergi ke Tangerang, ke rumah kakaknya yang perempuan” jawab ubay sambil mulai menyundutkan rokoknya yang baru saja diantarkan oleh Ujang, tukang warung yang di samping Masjid Al-Falah.

Lalu tiba-tiba Om Kur, tetangga depan saya, datang dan mengagetkan saya yang sedang merebahkan badan yang sudah agak sedikit kelebihan beban ini. “Woi.. Anak-anak muda, Jumat ini gelar diskusi apa nih?” om Kur tiba-tiba bertanya dan sepertinya telah mengetahui pergelaran ritual yang biasa kami lakukan setelah jumatan. Memang om Kur, yang juga pegawai pajak dan kebetulan sedang libur karena tanggal merah yang telah digeser dari hari kamis ke hari jumat dengan seenaknya (entah apa alasannya atau pertanyaannya sebenarnya adalah pentingkah alasannya?) oleh pemerintah, pernah bergabung sekali, kira-kira 3 jumatan yang lalu.

“Eh, om Kur,” aku terkejut dan langsung merubah posisiku menjadi duduk bersandar di dinding masjid tepat disebelah ivan yang sudah lebih dulu bersandar, “ngga Om Kur, kebetulan dari tadi kita belum diskusi apa-apa, dan sebenarnya memang dah sepakat untuk tidak banyak omong jumat ini. Kita cuma lagi melihat anak-anak di tanah lapang itu yang sedang asyik menerbangkan layang-layangnya.”

“Bener, Om,” ivan melanjutkan dan nampak tak enak akan kehadiran om Kur namun tanpa ada diskusi atau pembicaraan, “kita Cuma lagi khidmat dan sedikit menikmati anak-anak itu yang sedang asyik bermain layang-layang. Dan nampaknya anak-anak itu malah seperti layang-layang itu sendiri.”

“Maksudnya seperti layang-layang itu apa Van?” tanya om Kur dengan sedikit penasaran dengan kata-kata yang digunakan ivan dalam menilai kejadian yang sama-sama kita saksikan. “Ane sepertinya tahu maksud perkataan ente van,” ubay langsung mencoba menafsirkan perkataan ivan tadi, “maksud ente anak-anak itu seperti layang-layang yang bebas terbang dan bermain seperti tiada beban. Seperti tidak terbebani atas setiap kebijakan pemerintah yang kadang agak ‘usil’, tidak terbebani atas kenaikan harga beras yang menjulang tinggi, dan juga tak terbebani atas carut-marut sistem pendidikan kita. betul, Kan?” ubay menjawab dengan penuh keyakinan. Dan memang saya kira cukup masuk akal apa yang diucapkan ubay dalam menafsirkan perkataan ivan tadi.

“Hehehe… iya betul juga, Bay. Sepertinya memang anak-anak itu tak pernah ingin sibuk memikirkan hal-hal yang ‘tidak bermanfaat’ bagi mereka. Lagian juga memang seharusnya anak-anak itu seperti itu kan? Mereka harus dipelihara oleh negara untuk kemajuan negara sendiri” om Kur langsung menyetujui pendapat ubay yang memang sangat benar juga menurut saya. Lalu saya menambahkan perkataan om Kur, “Bener tuh om Kur. Seharusnya anak-anak itu dijadikan sebagai investasi negara dengan cara diberi kebebasan dalam setiap melangkah sehingga nantinya, paling tidak, sedikit ikut serta dalam membentuk budaya negara itu sendiri.”

“Menarik, dan ada benarnya. Tapi menurut saya layang-layang itu tidak terbang dengan bebas. Ia dikuasai oleh seseorang dengan perangkat yang namanya benang.” Ivan coba bermain-main lagi dengan kata-katanya. “Jika kita bicara seharusnya atau apa yang biasa disebut dengan suatu yang ideal, apa yang Om Kur ucapkan tadi dan apa yang sudah ditambahkan oleh Aid(panggilan saya) adalah benar. Tapi, mbo ya kita dalam melihat suatu itu jangan yang ideal terus, sekali-kali lihat suatu dengan pandangan yang riil.”

"Maksudnya yang riil?” tanya om Kur kepada ivan sambil meletakkan gelas berisi kopi yang telah lama berada di genggamannya.

“Riil menurut saya bahwasanya anak-anak itu sepertinya memang tak terbebani oleh masalah yang ada. Namun sejatinya anak-anak itu telah dilibatkan oleh penguasa bahkan mungkin telah dipertaruhkan kehidupannya dengan setiap kebijakan-kebijakan yang diambil. Bahkan anak-anak itu sepertinya telah menjadi korban zaman rusak, yaitu zaman salah urus yang menyebabkan anak-anak itu utnuk mendapatkan pendidikan yang cukup tak pernah terwujud. Zaman revitalisasi feodalisme yang hanya melahirkan priyai-priyai kemaruk, kagetan, dan gumunan.” Ivan sengaja tidak lagi menyandarkan tubuhnya dan mulai duduk bersila.

“Kebebasan mereka, yang seperti tiada beban dalam menjalani hidupnya, hakikatnya adalah kebebasan semu yang mungkin dapat merusak, jika tidak sekarang, kehidupan masa depannya. Keterbebanan anak-anak itu bersifat pasif, ya karena memang mereka hanyalah anak-anak yang hanya seperti layang-layang itu, terbang menembus udara namun tetap ‘dibebani’ oleh pemain layang-layang itu dengan menggunakan benang yang ditarik-ulur. Sama seperti pemerintah kita menguasai anak-anak itu, yang salah satunya, dengan perangkat hukum UUD’45. Pasal berapa, Id?” ivan bertanya kepada saya mengenai pasal yang mengatur anak-anak, terutama anak-anak terlantar.

“Pasal 34, Bang” saya jawab dengan seyakin-yakinnya karena memang pasal ini yang sangat saya hapal pada UUD45, selain pasal 29 tentang kebeasan beragama.

“Ya, itu! Pasal 34 itu merupakan perangkat hukum untuk menjaga keutuhan anak-anak, terutama yang terlantar. Namun perangkat itu telah ditarik-ulur oleh pemerintah dengan kasar. Yah dengan kasar.”

“Jadi bagaimana kita menghilangkan keterbebanan-pasif anak-anak diseluruh negeri ini, supaya bisa membentuk kebudayaan seperti yang dikatakan Aid tadi, Van?” Om Kur dengan sedikit menggebu menanyakan solusi apa yang harus dilakukan.

“Hehm….., ivan sedikit tersenyum dan melanjutkan bicaranya. ”Mbo ya jangan muluk-muluk banget, Om, melepaskan keterbebanan-pasif seluruh anak di negeri ini,” seperti biasa ivan menjawab santai, “Mbo ya… anak sendiri dulu. Pendidikannya dijamin, makanannya yang halal, jangan terlalu dimanja, dan yang paling penting jangan lupa, yaitu kasih sayang supaya nanti besarnya selalu menebar kasih kepada sesama.”

“SETUJU…..!!!!” Saya dan ubay langsung bersama-sama mengucapkannya.

“Terus kita juga berharap dari orang-orang seperti Om Kur ini, yang punya kerjaan di tempat yang ‘basah’. Hehehehehe……, supaya memberi sedikit basah-basahnya sama anak-anakdi negeri ini.” saya langsung menyambungnya.

“Ah…, kalian bisa aja.” Om Kur merasa tersindir. Tapi kita semua tahu bahwa Om Kur adalah salah satu orang yang sangat dermawan di kampung ini. Walaupun kita semua tidak tahu status atas harta yang beliau infak-kan pada kebutuhan kampung ini. Maklum saja bahwa sudah menjadi rahasia umum bahwa tempat kerja Om Kur syarat dengan maal-syubhat. Tetapi mudah-mudahan Om Kur tidak seperti ‘itu’ melainkan seperti yang biasa kita lihat bahwa dia sering datang ke masjid ini sebagai salah satu jamaahnya. (walaupun sebenarnya tingkat keshalehan seseorang tidak dapat dilihat hanya dengan rajinnya seorang ke Masjid).


Catatan: kata-kata yang bertulis tebal di ambil dari novelnya Ahmad Tohari yang berjudul "Orang-orang Proyek"

Tidak ada komentar: