Jumat, 30 Mei 2008

dilema kenaikan BBM

Dilema Kenaikan Harga BBM
Oleh ; administrator

Kenaikan harga minyak dunia dan opsi menaikkan BBM merupakan persoalan yang kompleks,multidimensi, dan mampu memberi efek luar biasa pada masyarakat. Hal inilah yang perlu dipahami bersama agar tidak begitu mudah menyalahkan dan menggampangkan persoalan yang tengah dihadapi.

Bagi Indonesia, kenaikan harga BBM berpengaruh langsung pada sisi fiskal, industri nasional, inflasi yang tinggi, tergerusnya pendapatan riil rumah tangga, dan tertekannya suku bunga ke atas. Masing-masing ini memiliki dampak ikutan yang lain yang pada akhirnya berinteraksi. Inilah yang akan menjadi efek domino bagi perekonomian Indonesia.

Kita patut menghargai sikap pemerintah yang sejauh ini tidak tergesa-gesa menaikkan harga BBM. Ini artinya, pemerintah dapat mengambil pelajaran atas kebijakannya pada 2005 lalu menaikkan harga BBM terlampau tinggi dan memukul langsung dunia usaha dan rakyat kecil. Hal tersebut harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam memutuskan.

Meski demikian,ancaman kenaikan harga minyak dunia masih belum usai. Jika minyak dunia terus melonjak, tentu ada saatnya bagi pemerintah untuk sampai pada titik nadir dalam menanggung subsidi BBM. Sembari tetap mengawasi perkembangan yang ada,akan lebih baik jika dari sekarang pemerintah bekerja keras untuk mengantisipasi lonjakan. Sebisa mungkin, pemerintah menjadikan kenaikan harga BBM sebagai opsi terakhir.

Tidak bisa dimungkiri, terus melonjaknya harga minyak dunia pada gilirannya tetap menjadikan opsi menaikkan BBM tidak terelakkan.Walau demikian, perlu direnungkan tujuan pembangunan sesungguhnya bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi dan berbagai indikator makro.

Pembangunan harusnya ditujukan kepada manusia sebagai objek. Dalam konteks ini, pemerintah perlu lebih mengedepankan dampak kenaikan harga BBM terhadap manusia daripada indikator-indikator ekonomi. Untuk bisa menghadapinya, dibutuhkan kebijakan yang komprehensif, simultan, berkelanjutan, dan berpihak.

Dalam jangka menengah dan panjang, perlu dipetakan kebijakan yang membuka ruang fiskal yang tidak menganut strategi tambal sulam, menguatkan kelembagaan pasar, memberikan insentif kepada sektor industri yang akan melakukan konversi energi ke energi alternatif lain,dan menambah lifting.

Untuk jangka pendek,perlu komitmen semua pihak untuk berhemat besar-besaran, berbelanja sesuai kebutuhan dan prioritas, mengajak pihak swasta untuk berperan serta dalam mengeliminasi dampak kenaikan minyak dunia,mencari sumber pemasukan lain, dan melakukan subsidi silang untuk menolong rakyat kecil. Tentu masih banyak lagi upaya yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi lonjakan minyak dunia.

Hal terpenting, pemerintah harus bekerja ekstrakeras untuk menjamin terselamatkannya masyarakat menengah ke bawah,utamanya masyarakat miskin. Jika pemerintah tidak siap untuk itu, maka jangan memilih opsi tersebut. Bagaimana pun, pemerintahlah penanggung jawab terbesar seluruh nasib rakyat.

Selamatkan harga BBM tak menyelamatkan Indonesia
Tulisan Abdul Mongid, ”Menaikkan Harga BBM Bisa Menyelamatkan Indonesia” (Indopos-Jawa Pos, 28/3) menarik untuk ditanggapi. Pandangan Abdul Mongid bahwa menaikkan harga BBM saat ini sudah merupakan keharusan sebagai upaya menyelamatkan (perekonomian nasional/krisis BBM) negeri ini memiliki kelemahan argumentasi.
Pertama, menaikkan harga BBM saat ini memiliki resistensi politik yang berisiko terjadinya gejolak sosial yang dapat mengganggu stabilitas menjelang Pemilu 2009. Kedua, menaikkan harga BBM akan memicu naiknya harga bahan kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari, seperti beras, gula, minyak goreng, dan sebagainya. Artinya, secara paradigmatik menaikkan harga BBM saat ini tidaklah mungkin mampu menyelamatkan perekonomian nasional dan juga krisis BBM di negeri ini. Sebaliknya, justru kehidupan masyarakat akan semakin terpuruk akibat naiknya harga sejumlah kebutuhan pokok itu.
Pemikiran Abdul Mongid bahwa selisih dana hasil dari kenaikan harga BBM bisa dialihkan pada subsidi kegiatan produktif berdimensi jangka panjang seperti membangun jalan raya, sistem angkutan umum, dan infrastruktur lain juga memiliki kelemahan argumentasi. Persoalannya sangat fundamental.
Menaikkan harga BBM dengan metode subsidi silang selama ini tidak pernah berfungsi efektif untuk mendorong pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di sektor lain. Demikian halnya dalam konteks saat ini, menaikkan harga BBM tidak akan mampu menjawab logika krisis energi nasional yang juga dipicu krisis energi global. Apalagi volume konsumsi BBM terus meningkat karena kendaraan bermotor tidak berhenti diproduksi.
Persoalannya sangat kompleks. Menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi dan energi tidak semudah membalik telapak tangan. Menaikkan harga BBM itu bukan pemikiran konstruktif yang bisa membawa negeri ini keluar dari krisis.
Tentu saya setuju dengan Abdul Mongid bahwa besarnya belanja subsidi BBM telah membuat kita tidak mampu membangun berbagai infrastruktur. Tetapi, ketidakmampuan kita membangun infrastruktur yang lebih baik itu bukan semata-mata karena besarnya subsidi BBM. Hal itu lebih karena para pejabat negara bermental korup.
Konstruksi Pemikiran
Besarnya resistensi politik dan stabilitas perekonomian nasional terkait dengan kemungkinan terjadinya kenaikan harga bahan kebutuhan pokok masyarakat jika pemerintah menaikkan harga BBM. Karena itu, untuk menyelamatkan perekonomian dan krisis energi nasional, diperlukan terobosan baru.
Pertama, daripada menaikkan harga BBM yang berisiko, sebaiknya pemerintah mencabut subsidi BBM secara menyeluruh. Ini memang pemikiran yang sangat radikal. Tidak sedikit masyarakat yang akan menentang, terutama pejabat negara dan mereka yang secara ekonomi selama ini menikmati subsidi BBM itu. Tetapi, inilah pemikiran yang lebih rasional untuk menyelamatkan masa depan perekonomian dan krisis energi Indonesia.
Mengapa subsidi BBM mesti dicabut sebagai langkah strategis penghematan? Bukankah dengan subsidi masyarakat bisa menikmati harga murah dan terjangkau sehingga meringankan beban hidup mereka? Betul, masyarakat bisa menikmati, tapi siapakah sebenarnya yang menikmati subsidi BBM selama ini? Benarkah rakyat miskin menikmati subsidi BBM di negeri ini? Inilah pertanyaan besar yang jawabannya adalah sebuah pengingkaraan para pejabat negara terhadap rakyatnya selama ini. Tampaknya subsidi BBM memang sengaja dipertahankan pemerintah dalam rentang waktu cukup lama karena penikmat sejatinya adalah pejabat negara itu sendiri.
Bagaimana mungkin masyarakat Indonesia yang kebanyakan miskin ini menikmati subsidi BBM, sementara mayoritas pengguna BBM adalah masyarakat menengah ke atas dan perusahaan atau industri besar? Layakkah masyarakat berada disubsidi? Ini jelas sebuah logika jungkir balik yang terus meminggirkan masyarakat kecil di negeri ini.
Ada dua aspek penting yang menguntungkan jika pemerintah mencabut subsidi BBM saat ini. Pertama, masyarakat bisa belajar hidup secara lebih realistis. Kedua, dengan dicabutnya subsidi BBM, secara otomatis APBN kita akan surplus dan otomatis penghematan tercapai secara signifikan dalam rentang waktu relatif panjang. Cobalah kita bayangkan, para pengguna BBM di negeri ini mayoritas (mungkin 90 persen) adalah kendaraan bermotor yang merupakan masyarakat kelas menengah dan berada secara ekonomi.
Kalau kita asumsikan pengguna mobil di negeri ini 8 juta sebagai taksiran minimal dan memiliki tanggungan rata-rata lima orang, berarti masyarakat yang menikmati subsidi ada 40 juta orang. Jika populasi penduduk ada 220 juta, berarti hanya 18 persen dan mereka adalah kelas menegah ke atas. Inikah sebuah keadilan?
Yang jelas, dengan dicabutnya subsidi BBM bisa diasumsikan APBN kita akan surplus. Jika harga jual BBM saat ini Rp4.500 kemudian, katakanlah menjadi Rp6 ribu ketika subsidi dicabut, berarti APBN kita surplus 75 persen per liter.
Dengan demikian, terjadi surplus produksi versus konsumsi BBM. Jika produksi perminyakan kita, katakanlah 300 ribu barel per hari, sekitar 9 juta barel per bulan; sementara harga minyak mentah dunia 90 dolar AS per barel, terjadi surplus sekitar 810 juta dolar AS per bulan. Dari sisi ini saja penghematan BBM bisa efektif. Untuk itu, subsidi mesti dicabut. Dengan dicabutnya subsidi BBM, secara otomatis terjadi penghematan.
Lebih dari itu, sangat tidak pantas pejabat negara yang notabene kelas menengah mendapat subsidi. Tetapi, begitulah kapitalisme yang didukung mekanisme kebijakan publik dan politik negara sehingga keadilan amat mahal dan kemiskinan menjadi realitas yang tidak terelakkan. ***

Gerakan Mahasiswa

Gerakan Mahasiswa; Perjuangan Politik Yang Malu-Malu.

Gerakan mahasiswa—dengan tidak menafikan kelebihan dan kelemahannya, telah menjadi salah satu kekuatan signifikan dalam konteks perubahan ekonomi-politik di Indonesia. Beberapa proses politik kekuasaan di Indonesia tidak terlepas dari buah tangan gerakan mahasiswa, baik dalam aktifitas lansung maupun dengan bentuk-bentuk solidaritas. Agaknya, dalam membicarakan gerakan mahasiswa Indonesia perlu di lihat konteks sosial-histori (baca; kurun sejarah) dan dinamika politik yang membentuknya. Karena gerakan mahasiswa secara objektif digerakkan oleh kondisi-kondisi material baik dalam lingkungan sosial kampus, maupun lingkungan ekonomi –politik sekitarnya yang menyesaki dada para mahasiswa. Maka, sudah seharusnya pilihan tindakan yang diambil merupakan ukuran-ukuran politis dalam kaitan dengan Negara (State). Penjelasan ini sekaligus membenarkan kesimpulan bahwa sebenarnya sejak awal gerakan mahasiswa Indonesia sudah mengambil bentuk perjuangan politik. Kalaupun ada periodeisasi terhadap gerakan mahasiswa, itu hanya dalam kepentingan seberapa jauh dan mendalam pengaruh tindakan politik mahasiswa mempengaruhi struktur kekuasan politik yang menindas.
Setidaknya, tindakan-tindakan yang merendahkan perjuangan mahasiswa dalam batasan-batasan perjuangan moral ataupun semacam reaksi spontan terhadap keadaan adalah sebuah pandangan ahistoris, dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Demikian pula, dengan upaya-upaya untuk membatasi perjuangan-perjuangan politik mahasiswa hanya sebagai agen koreksi, atau ekstra-parlemen ansich, hanyalah sebuah bentuk pengkhianatan besar terhadap proses perjuangan mahasiswa Indonesia. kami (LMND) sudah sejak awal menegaskan dan memposisikan perjuangan politik sebagai bentuk perjuangan pokok gerakan mahasiswa Indonesia untuk saat ini.

Memaknai Perjuangan Politik Mahasiswa!
Perjuangan politik sebagai bentuk pokok bermaksud menjelaskan bahwa semua bentuk-bentuk perlawanan sporadis, spontan, ekonomis, dan sektoral sekalipun harus bermuara pada bentuk perjuangan politik. Perjuangan –perjuangan dalam perhitungan masih rendah, masih awal, dan ekonomis sudah harus diberi perspektif politik yakni pergantian system ekonomi-politik yang menindas dengan bangunan ekonomi-politik baru yang berkarakter; Demokrasi-Kerakyatan. Perjuangan politik dengan demikian memberi pengertian sebagai upaya dari massa mahasiswa yang sudah terpolitisasi dengan beraliansi dengan klas-klas tertindas yang lain untuk menghancurkan bentuk ekonomi-politik yang menindas dengan system ekonomi-politik yang baru. Dengan ukuran-ukuran seperti ini, maka bentuk perjuangan politik mencerminkan kontradiksi tajam antara- klas-klas sesuai dengan tahapan perjuangannya. Masing- masing klas yang eksis menemukan saluran mengekspresikan kepentingan ekonomisnya lewat perjuangan politik, mengingat bangunan supra-struktur yang bernama Negara merupakan cerminan dari basis struktur yang melahirkan klas-klas. Klas borjuis dengan sadar memahami bahwa kekuasaan politik akan menjadi instrument mengawetkan posisi klas berkuasa secara ekonomi, dan memudahkan dalam proses akumulasi capitalnya.

Kesadaran massa memang berangkat dari bentuk kesadaran yang paling rendah; awalnya berwujud kebencian tertentu terhadap individu borjuis, kemudian lewat pengalaman sosial, menyadari bahwa ada kepentingan yang berbeda antara dirinya dengan klas borjuis yang ada. Lompatan kemajuan dalam kesadaran massa sangat di tentukan oleh gambaran-gambaran material yang terekam dalam ingatan, pengalaman-pengalaman perjuangan, dan masukan-masukan berupa agitasi-propoganda kaum revolusioner. Namun kesadaran sendiri bukan sesuatu yang statis (baca;absolute) tetapi merupakan konsep yang sangat dinamis bergerak dengan hukum perkembangan sosial dan perjuangan klas. Sehingga, dalam perjuangan politik, tingkat-tingkat kesadaran hanyalah merupakan bentuk penyesuaian kebutuhan agitasi-propoganda yang tempat untuk mempercepat proses penyadaran. Jadi bukan maksud memberikan tahapanisasi dalam perjuangan, tetapi bagaimana memanfaatkan kapasitas pengetahuan dan kesadaran diolah untuk tujuan-tujuan yang lebih tinggi.

Dalam situasi normal klas-klas tertindas akan dengan mudah terpengaruh dan terbawa dalam hegeomini ideology klas borjuis. Namun, segalanya akan cepat berubah jika situasi ekonomi-politik menunjukkan gejala tidak seimbang, klas pekerja pun mengalami kegoyahan dengan ikatannya dengan klas berkuasa. Ketika kesadaran massa masih didominasi oleh pemikiran-pemikiran borjuis, maka gerakan revolusioner dibenarkan untuk selalu mengambil bentuk perjuangan apapun (moderat dan radikal) untuk menyingkirkan dominasi faham klas borjuis di tengah massa. Teori Marxisme mengajarkan bahwa politik adalah arena perjuangan kepentingan semua klas-klas sosial. Dengan demikian, politik merupakan kutub yang menjadi pusat pertarungan, semua kekuatan-kekuatan klas. Menghindari ruang politik sama saja dengan menghindari kepentingan klas-klas tertindas memperjuangkan kepentingan klasnya. Ini sangat erat berhungan dengan pendapat Marx Dalam The German Ideology diterangkan bahwa tahap pertama revolusi komunis adalah pengambilalihan kekuasaan politik oleh proletariat. Lebih jelasnya:
“setiap kelas yang ingin menegakkan dominasinya atau juga pada saat kaum proletariat sudah mendominasi dan hendak menghapuskan masyarakat lama secara keseluruhan segala bentuk dominasi pada umumnya, sebelum semuanya itu dicapai maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah merebut kekuasaan politik”.

Kamis, 29 Mei 2008

Tidak Ada Subsidi BBM!
oleh; administrator

Itu penipuan untuk menguras uang rakyat!

Berbeda dengan Indonesia, Malaysia justru semakin "kaya" dengan kenaikan harga BBM dunia. Logikanya sangat sederhana. Negara itu mempunyai kedaulatan di bidang energi.

Indonesia kaya dengan lading minyak. Ini fakta. Pada tahun 70-an ketika harga minyak memblooming, Indonesia menikmati rejeki nomplok ini. Pemerintah Orde Baru mensubsidi rakyat dari keuntungan menjual produksi minyak dalam negeri.

Sekarang kondisinya terbalik. Indonesia lewat pemerintah (SBY_JK) tidak bisa mengulang kisah sukses pemerintahan Orde Baru tersebut. Negeri kaya minyak ini harus mengorbankan rakyatnya menanggung harga minyak dunia yang cenderung naik. Hari ini, 23 Mei 2008, pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 28, 7 persen. Harga bensin dipatok sebesar Rp 6.000/liter dari harga sebelumnya Rp 4.500/liter. Harga solar dari Rp 4.300/liter menjadi Rp 5.500/liter. Sementara untuk minyak tanah dipatok harga Rp 2.500/liter dari harga sebelumnya Rp 2.000/liter. Pemerintah terkesan menutup mata dengan aksi rakyat yang menolak kebijakan ini. Sesungguhnya untuk siapakah mereka memerintah?

Menaikkan harga BBM adalah pilihan terakhir yang harus ditempuh pemerintah. Semua pembantu presiden berlomba-lomba untuk memberikan rasionalisasi. Ada yang memberikan komentar, ada yang mengajukan data, ada yang memasang muka berat seolah-olah mereka itu bekerja sesungguhnya untuk rakyat. Bantuan langsung tunai (BLT) pun diluncurkan untuk mendobrak daya beli masyarakat miskin. Tapi apakah ini efektif? Ketika seorang tukang becak mengatakan bahwa BLT hanya membuat rakyat menjadi bermental "pengemis", pemerintah semakin memposisikan dirinya bahwa mereka memerintah bukan karena praktek pikiran dan kerja mereka yang sudah teruji. Rakyat sudah tidak bisa dibodohi lagi.

Apakah menaikkan harga BBM adalah pilihan terakhir?

Ekonom Kwik Kian Gie berkomentar: "Tidak ada subsidi BBM. Pemerintah mengambil minyak bumi milik rakyat secara gratis dengan biaya hanya US$10/barrel. Tapi karena hanya bisa menjualnya seharga US$ 77/barrel pemerintah merasa rugi jjika harga minyak internasional lebih dari harga iitu." Berbeda dengan beberapa negara Amerika Latin. Mereka mensejahterakan rakyatnya dari hasil minyaknya. Venezuela di bawah pimpinan Hugo Chaves malah membantu sekutunya Kuba untuk membangun perumahan bagi rakyat Kuba. Semuanya adalah hasil dari minyak.

Pemerintah selalu berdalih bahwa negara kita mengimpor minyak untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri. Produksi minyak dalam negeri kira-kira 1 juta barel per hari (bph). Sementara itu konsumsi minyak dalam negeri sebesar 1,2 juta bph. Artinya kita deficit sebesar 0,2 juta bph. Dengan demikian Indonesia hanya perlu mengimpor minyak sebesar 0,2 bph. Mari kita lihat data di bawah ini.


Biaya $/brl

Jual $/brl

Untung

Kuantitas

Untung/hari

Produksi

15

77

62

1.000.000

62.000.000

Impor

140

77

(63)

200.000

(12.600.000)

Untung





49.400.000

Jika harga minyak internasional US$ 125/barrel dan biaya produksi US$ 15/barrel serta impor sebesar 200 ribu bph, maka pemerintah Indonesia dengan harga Rp 4.500/liter (US$ 77/barrel) untung sebesar US$ 49,4 juta per hari atau sama dengan Rp 165,8 trilyun dalam setahun (1 US$= Rp 9.200).

Pemerintah untung sebesar Rp 165, 8 trilyun.

Jadi adalah bohong besar jika pemerintah mengatakan bahwa negar rugi sebesar Rp 123 trilyun per tahun.

Alasan lain yang tidak kalah menghebohkan adalah perbandingan harga bensin per liternya dengan negara-negara lain. Mari kita lihat data di bawah ini.

Negara

US$/Ltr

Rp/Ltr

Populasi

GNP/Kapita

Venezuela

0, 05

460

26.000.000

3.490

Turkmenistan

0, 08

736

5.000.000

1.120

Iran

0, 09

828

68.000.000

2.010

Nigeria

0, 10

920

129.000.000

350

Saudi Arabia

0, 12

1.104

27.000.000

9.240

Kuwait

0, 21

1.932

2.400.000

17.960

Mesir

0, 25

2.300

78.000.000

1.390

Indonesia

0, 49

4.500

220.000.000

810

Malaysia

0, 53

4.876

24.000.000

3.880

Cina

0, 64

5.888

1.300.000.000

1.100

AS

0, 92

8.464

296.000.000

37.870

Jepang

1, 01

9.292

128.000.000

34.180

Pada prinsipnya rakyat tidak keberatan harga BBM tinggi. Tapi pemerintah melupakan aspek ini: daya beli. Dari data kita ambil contoh negara Amerika Serikat. Pendapatan per kapitanya cukup tinggi. Sementara itu Indonesia mencoba menyamakan harga minyaknya dengan harga minyak dunia dengan pendapata per kaita hanya 810/tahun. Sebuah logika yang tidak bisa diterima akal.

Alasan pembenaran lainnya adalah bahwa rakyat Indonesia boros dalam menggunakan BBM. Kembali kita akan melihat betapa pemerintah selalu salah dalam mengeluarkan data.

Negara

Ranking

Konsumsi

GNP/Kapita

Singapura

1

59, 5

21.230

AS

7

25, 8

37.870

Jepang

23

15, 6

34.180

Jerman

36

12, 4

25.270

Malaysia

47

7, 8

3.880

Botswana

87

3, 7

3.530

Namibia

98

2, 6

1.930

Indonesia

116

1, 7

810

Konsumsi BBM Indonesia berada di urutan 116 di bawah negara Afrika yang jarang kita dengar namanya Botswana dan Namibia. Pemerintah lupa bahwa jauh-jauh sebelum harga BBM dinaikkan rakyat miskin sudah selalu berhemat karena memang tidak ada yang harus dihemat. Dari data di atas terbantahlah sudah bahwa pemerintah dalam mengeluarkan data tidak pernah teruji keakuratannya.

Bantuan Langsung Tunai

Bantuan langsung tunai (BLT) sama sekali tidak bisa mengatasi masalah kenaikan harga BBM. Kebijakan ini mengundang banyak kontroversi. Pada kenaikan BBN tahun 2005 sebesar 125 persen tidak semua orang miskin mendapatkan bagian. Jumlah penerima BLT hanya 18 juta (sekitar 30 persen) dari 62 juta rakyat miskin di seluruh Indonesia (Data BankDunia). Program ini hanya berjalan selama setahun. Setelah pemerintah menaikkan harga BBM, semua harga barang-barang naik. Daya beli masyarakat semakin menurun. Akibatnya jumlah korban busung lapar dan kurang gizi menunjukkan angka memprihantinkan, 5 juta orang. Korban tewas terdapat di beberapa propinsi. Aceh, NTT, Sulawesi Selatan, dan Papua adalah propinsi yang paling banyak menyumbang korban.

Program ini juga mengakibatkan tewasnya beberapa warga berusia lanjut. Mereka meninggal karena berdesak-desakan untuk mengambil "uang pelipur lara." Di samping itu banyak warga merusak fasilitas umum karena kecewa nama mereka tidak termasuk dalam daftar penerima BLT. Yang membuat bulu kita merinding adalah anak sesama bangsa rela saling membunuh hanya demi mendapatkan dana yang hanya membuat rakyat menjadi pengemis di tanah air mereka sendiri. Sungguh ironis. Program yang sama juga akan digunakan pemerintah untuk mengatasi kenaikan harga BBM. Kebijakan ini pantas disebut sebuah kebijakan gila. Orang gila mengharapkan hasil yang lebih baik dari hasil sebelumnya tetapi masih menggunakan cara yang sama.

Energi Indonesia untuk Siapa?

Indonesia adalah satu negara pengekspor batu bara. Setiap tahun Indonesia mengekspor 70 persen produksi batu bara dalam negeri. Indonesia juga negara pengekspor LPG terbesar di dunia. Untuk minyak Indonesia mengekspor minyak sebesar 500 ribu bph.

Sementara itu kita sering kali mengalami padam listrik. Rakyat kekurangan gas, minyak tanah, solar, dan bensin. Energi Indonesia untuk siapa?

Kita dicengangkan dengan fakta bahwa 90 persen lading minyak Indonesia dikelola dan dikuasai oleh pihak asing. Keuntungan perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia (Exxon Mobil) tahun 2007 sebesar US$ 40, 6 milyar (Rp 373 trilyun) dari pendapatan US$ 114, 9 milyar (Rp 1.057 trilyun) (CNN). Bagi hasil migas sebesar 85:15 untuk pemerintah dan perusahaan asing baru dilakukan setelah dipotong cost recovery yang besarnya ditetapkan oleh perusahaan asing. Jika tidak tersisa maka Indonesia tidak mendapatkan sepeser pun. Contoh kasus, Blok Natuna yang dikelola oleh Exxon Mobil, setelah dipotong cost recovery-nya, Indonesia mendapatkan "nol" persen dan Exxon mendapatkan 100 persen.

Inilah pelanggaran terhadap konstitusi yang dilegalkan oleh negara. Jika energi diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri (misalnya pembangkit listrik), Indonesia tidak perlu impor BBM sama sekali.

Solusi Pro-Rakyat

Karena harga BBM sudah naik maka solusi yang bisa kita gunakan adalah perkuat barisan massa sadar dengan turun langsung ke basis rakyat. Perjuangan ini harus dilakukan secara massif. Kampanyekan kepada rakyat bahwa rejim yang memimpin sekarang adalah rejim pro-pasar, rejim yang lebih mengutamakan kepentingan pemodal ketimbang kepentingan rakyat. Sudah sebuah konsekuensi bahwa pemerintahan kapitalistik hanyalah pemerintahan yang mengelola negara untuk menambah pundi-pundi mereka melalu regulasi yang selalu pro pada pengusaha. Kita tidak usah heran dengan ini.

Kita tidak bisa berharap terlalu banyak pada pemerintah sekarang untuk menasionalisasi semua tambang. Kekuatan untuk merebut kekuasaan ini yang belum kita miliki. Jika kita sudah merebut kekuasaan semua kebijakan yang diambil pasti sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat tertindas.

Hidup rakyat!

Refensi:
Wikipedia.org
www.pinjaya.co.id
www.infoindonesia.wordpress.com

Rabu, 28 Mei 2008


Gelombang Aksi FRM (Front Rakyat Menggugat), Menolak Kenaikan BBM.

Pernyataan Sikap


Pernyataan Sikap Atas refresifitas Polisi dalam Aksi menolak Kenaikan BBM

Ditulis Oleh administrator


Nomor : 05/B/EN-LMND/Mei-2008
Hal : Pernyataan Sikap
Lamp :

Dini hari (24/05/08), polisi dengan brutal menyerbu masuk kampus Universitas Nasional (UNAS), di pejateng, pasar Minggu. Selain menyerbu masuk kampus, polisi juga melakukan serangan brutal dengan memukuli, menembakkan gas air mata, dan menangkap 100 orang mahasiswa yang ada ditempat tersebut. Bukan itu saja, polisi juga melarang wartawan mengambil adegan kekerasan aparat ini dengan melontarkan nada ancaman dan intimidasi. Tindakan brutal polisi juga berlansung di kampus Universitas Hasanuddin malam tadi (23/05/08). Ratusan mahasiswa yang melakukan aksi setelah pengumuman kenaikan BBM, tiba-tiba diserbu oleh polisi dengan alasan tidak jelas. Kejadian ini telah menambah daftar kebrutalan polisi dan kurun sebulan terakhir. Di depan istana negara, 18 aktifis FRM ditangkap polisi dengan jalan cara kekerasan. Di Bima, NTB 11 orang aktifis mahasiswa juga ditangkap oleh polisi, setelah sebelumnya, aksi massa dibubarkan dengan cara brutal. Di Ternate, Maluku Utara, 14 mahasiswa juga ditangkap. Pada sore hari (21/05), di depan gedung DPR-RI, pihak kepolisian pun telah melepaskan tembakan peluru karet yang melukai seorang mahasiswa FISIP UI angkatan 2007, Budi Dharma.

Perntaan Sikap

Pernyataan Sikap Atas refresifitas Polisi dalam Aksi menolak Kenaikan BBM
Ditulis Oleh administrator

Nomor : 04/B/EN-LMND/Mei 2008
Hal : Pernyataan Sikap
Lamp : -

Bebaskan Aktifis Mahasiswa dan Rakyat Yang ditangkap saat Aksi Tolak Kenaikan BBM!

Sore ini (22/05/08), 2 orang aktifis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) yakni Bilal Muhammad (komisariat UBK) dan Maximilian Renaldo (komisariat UP) dinyatakan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Bersamaan dengan itu, 5 Aktifis dari Front Rakyat Menggugat (FRM) dan satu orang dari Forum Kota juga dinyatakan tersangka. Mereka telah dituduh secara sengaja melakukan penyerangan terhadap aparat keamanan dan dikenakan Pasal 214 KUHP tentang penyerangan terhadap petugas sah yang sedang menjalankan tugasnya. Tuduhan ini jelas-jelas tidak dapat dibenarkan. Meluasnya aksi-aksi perlawanan terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM, merupakan bentuk nyata ketidaksetujuan mayoritas rakyat atas rencana itu. Jika kepolisian berani menangkapi dan memukuli mahasiswa yang berjuang untuk kepentingan rakyat, kenapa mereka tidak berani menangkapi SBY-JK (Golkar dan Demokrat) yang menyetujui kenaikan BBM, yang jelas-jelas akan menyengsarakan rakyat banyak.

CATATAN KRONOLOGIS SEKITAR PERISTIWA GERAKAN G.30-S/PKI

Mayjen. Pranoto Reksosamodra

Di bawah ini, adalah beberapa catatan ringkas dari saya, sekitar kejadian dan peristiwa, baik yang saya alami maupun saya ketahui, sekitar gerakan G.30-S/PKI yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965. Singkatnya secara kronologis dan secara numerik dapat saya tuliskan di sini sbb:

Pertama,
pada tanggal 1 Oktober 1965 k.l jam 06.00, pada saat saya sedang mandi, maka datanglah Brigjen. Dr. Amino (Ka.Dep. Psychiatri RSGS Jakarta), yang dengan serta-merta memberitahukan tentang diculiknya Letjen. A. Yani beserta beberapa Jenderal lainnya oleh sepasukan bersenjata yang belum dikenal, sedangkan nasib para jendral yang diculik itu pun belum diketahuinya. Sesudah mandi, maka saya segera berangkat ke MBAD dengan mengenakan pakaian dinas lapangan.

Kedua,
setibanya di MBAD dan setelah menampung beberapa berita dari beberapa sumber, maka oleh karena pada saat itu saya kebetulan sebagai Pati yang berpangkat tersenior, saya segera memprakarsai untuk mengadakan rapat darurat di antara para Asisten MenPangad atau wakilnya yang hadir pada saat itu di MBAD, yaitu para pejabat teras SUAD dari Asisten MenPangad sampai Asisten VII MenPangad termasuk Irjen. PU dan pejabat Sekretariat.

Setelah menampung beberapa laporan dan keterangan dari sumber yang dapat dipercaya, maka rapat menyimpulkan: secara positif bahwa Letjen. A. Yani beserta lima orang Jenderal lainnya telah diculik oleh sepasukan penculik, yang pada saat itu belum dapat dikenal secara nyata.
Berikutnya, rapat memutuskan untuk menunjuk Mayjen. Soeharto Pangkostrad agar bersedia mengisi pinpinan A.D yang terdapat vacum.
Melalui kurir khusus, maka keputusan rapat kita sampaikan kepada MayJen Soeharto di MAKOSTRAD.

Ketiga,
pada hari itu juga tanggal 1 Oktober 1965 k.l jam 09.00 WIB saya menerima laporan dari salah seorang Pamen (lupa namanya) dari MBAD yang mengatakan bahwa menurut siaran RRI saya ditunjuk oleh Presiden/Panglima Tertinggi untuk menjabat sebagai Caretaker Men/Pangad. Oleh karena baru merupakan berita, maka saya tetap tinggal di Pos Komando MBAD untuk menunggu perintah lebih lanjut

Keempat,
bahwa pada hari itu juga tanggal 1 Oktober 1965 sesudah saya menerima berita tentang penunjukan saya untuk menjabat sebagai Caretaker Men/Pangad, maka berturut-turut datanglah utusan dari Presiden/Panglima Tertinggi yaitu:
1. Letkollnf. Ali Ebram, Kasi 1 Staf Resimen Cakrabirawa, yang datang k.l jam 09 .30
2. Brigjen TNI Soetardio, Jaksa Agung bersama Brigjen Soenarjo, Ka.Reserse Pusat Kejaksaan Agung yang datang bersama
pada jam: 10.00 (k.l).
3. Kolonel KKO Bambang Widjanarka, Ajudan Presiden/ Pangti yang datang sekitar jam 12.00 WIB.
Oleh karena, saya sudah terlanjur masuk dalam hubungan komando taktis di bawah Mayjen. Soeharto (vide titik 2 di atas), maka saya tidak dapat secara langsung menghadap Presiden/ Pangti dengan tanpa seizin Mayjen Soeharto sebagai pengganti Pimpinan AD saat itu. Atas dasar panggilan dari utusan-utusan Presiden/ Pangti tersebut di atas, saya pun berusaha mendapatkan izin dari Mayjen Soeharto. Akan tetapi, Mayjen Soeharto selalu melarang saya untuk menghadap Presiden/ Pangti dengan alasan bahwa dia (Mayjen. Soeharto) tidak berani mereskir (menjamin, ed.) kemungkinan tambahnya korban Jenderal lagi apabila dalam keadaan yang sekalut itu saya pergi menghadap Presiden. Saya tetap menanti perintahnya untuk tinggal di MBAD.

Kelima,
pada malam hari berikutnya, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar 19.00 WIB saya dipanggil oleh Jenderal Nasution, KASAB, di markas KOSTRAD untuk menghadiri rapat. Kecuali Jenderal Nasution yang hadir, juga dihadiri oleh Mayjen Soeharto, Mayjen Moersyid, Mayjen Satari, dan Brigjen. Oemar Wirahadikoesoemah.
Jenderal Nasution secara resmi menjelaskan, bahwa saya mulai ini hari ditunjuk oleh Presiden/ Pangti untuk menjabat sebagai Caretaker Men/ Pangad yang selanjutnya menanya kepada saya bagaimana pendapat saya secara pribadi.
Saya menjawab, bahwa sampai saat itu saya sendiri belumlah menerima pengangkatannya secara resmi secara hitam di atas putih. Maka saya berpendapat agar sementara waktu belum dikeluarkannya pengangkatan resmi (tertulis) dari Presiden/Pangti entah nantinya kepada siapa di antara kita, lebih baik kita menaruh perhatian kita dalam usaha menertibkan kembali keadaan yang darurat pada saat itu yang ditangani langsung oleh Pangkostrad (Mayjen Soeharto) yang juga kita percayakan untuk sementara menggantikan Pimpinan AD.
Akan tetapi, mengingat pada saat itu suara dan kesan dari media massa, yang memuat berita-berita adanya usaha untuk menentang keputusan Presiden/Pangti, tentang penunjukan saya sebagai Caretaker Men/Pangad, maka oleh Jenderal Nasution saya diminta agar pada tanggal, 2 Oktober 1965 pagi mengadakan wawancara pers yang di rencanakan di Senayan. Saya bersedia

Keenam,
tanggal 2 Oktober 1965, menjelang waktu saya akan mengadakan wawancara pers, maka tiba-tiba Mayjen Soeharto dan saya mendapatkan panggilan dari Presiden/Pangti, yang pada saat itu sudah meninggalkan pangkalan udara Halim Perdana Kusumah dan menempati kembali di Istana Bogor. Oleh karena itu, maka wawancara pers terpaksa saya tunda waktunya.

Mayjen Soeharto bersama saya dan Brigjen. Soedirgo (Dan Pomad) segera berangkat menghadap Presiden/Pangti di Istana Bogor. Di istana Bogor diadakan rapat, di mana hadir pula Bpk. Dr.Leimena, Bpk. Chaerul Saleh, Martadinata, Omardani, Cipto Yudodihardjo, Moersyid, M. Yusuf dan beberapa menteri lagi.
Keputusan rapat: Presiden/Pangti memutuskan, bahwa Pimpinan A.D langsung dipegang oleh Pangti, sedangkan Mayjen Soeharto diperintahkan untuk menjalani tugas operasi militer, kemudian kepada saya ditugaskan sebagai Caretaker Men/ Pangad dalam urusan sehari-hari (Dayly Duty).

Ketujuh,
tanggal 4 Oktober 1965, setelah melalui macam-macam proses kejadian, maka Mayjen. Soeharto diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dengan membentuk susunan staf-nya yang baru. Kedudukan saya menjadi Pati diperbantukan kepada KASAD

Kedelapan,
tanggal 16 Februari 1966, atas perintah dari KASAD Mayjen Soeharto, saya ditahan di Blok P Kebayoran Baru Jakarta dan dituduh terlibat dalan G.30 S/PKI, dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No. 37/2/1966, tanggal 16 Februari 1966.

Kesembilan,
dengan perubahan status penahanan dari Ketua Tim Pemeriksa Pusat, tersebut dalam Surat Perintahnya No.Print. 018/TP /3/1966 saya mendapatkan perubahan penahanan rumah mulai pada tanggal 7 Maret1966.

Kesepuluh,
Dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.Print. 212/TP /1/1969, tanggal 4 Maret 1969 saya kembali ditahan di Inrehab NIRBAYA Jakarta yang tetap dalam tuduhan yang sama.

Kesebelas,
dengan Surat Keputusan Menteri HANKAM/Panglima ABRI yang tersebut dalam Surat Keputusan No. Kep./E/645/1I/1970, tanggal 20 November 1970, yang ditanda tangani oleh Jenderal M. Panggabean, saya mulai dikenakan skorsing dalam status saya sebagai anggota AD, yang berikutnya pada bulan Januari 1970 saya sudah tidak menerima gaji skorsing dan hak penerimaan lainnya lagi. Sedangkan Surat Pemberhentian ataupun Pemecatan secara resmi dan keanggotaan AD ini pun sampai sekarang belum/ tidak pernah saya terima.

Keduabelas,
atas dasar Surat Keputusan dari Panglima KOPKAMTIB yang tersebut dalam surat No.SKEP /04/KOPKAM/I/1981, maka dalan pelaksanaannya oleh KA. TEPERPU tersebut dalam Surat Perintahnya No. SPRIN,-481/1I/1981 TEPERPU, saya baru dibebaskan dari tahanan pada tanggal16 Februari 1981.
Jadi kalau saya perhatikan tanggal, bulan dan tahun mulai dan berakhirnya saya mengalami penahanan adalah selama waktu 15 (limabelas) tahun, tanpa kurang atau pun lebih, yaitu dari tanggal16 Februari 1966 sampai pada tanggal16 Februari 1981.

Ketigabelas,
selama waktu saya ditahan, sepanjang waktu limabelas tahun itu, saya merasa belum pernah mengalami pemeriksaan melalui proses dan pembuatan berita acara yang resmi. Saya hanya menjalani interogasi secara lisan, yang di- lakukan oleh Tim Pemeriksa dari TEPERPU pada tahun 1970. Sesudah itu saya tidak pernah diinterogasi lagi, sampai saatnya saya dibebaskan pada 16 Februari 1981.

Keempatbelas,
untuk waktu berikutnya, maka apa, di mana, dan bagaimana yang dapat saya perbuat/lakukan sebagai seorang yang tanpa berstatus, polos selagi telanjang tanpa hak milik materi barang sedikit pun yang bernilai, yang memungkinkan untuk melanjutkan amal- kebaktian saya pada Tanah Air dan Bangsa, yang pernah saya rintiskan dalam turut serta mulai Perang Kemerdekaan 1945 yang tanpa absen itu? Segala penjuru lapangan kerja tertutup untuk kehadiranku, justru aku dipandang sebagai orang yang beratribut bekas tahanan G .30- S /PKI, bahkan mungkin menurut persepsi mereka, saya ini sebagai "dedengkot" nya G.30-S/PKI dari segala aspek.

Saya harus berani menelan pil, yang sepahit ini, dan harus pula berani membaca kenyataan dalam hidup dan penghidupan saya yang telah menjadi suratan dan takdir llahi kepada saya sebagai umatnya. Manusia tak kuasa mengelak dari segala apa, yang telah dikehendakkan-Nya dan digariskan-Nya, justru DIA -lah sebagai SANG MAHA DALANG, yang memperagakan umatnya sebagai anak wayang di pentas pakeliran kehidupan dunia ini.
Saya harus mengetahui diri, di tempat, di saat dan dalam keadaan apa dan bagaimana saya ini. Saya harus dapat menguasai dan membunuh waktu, betapapun kegiatan saya sehari hari itu saya utamakan lebih dahulu demi kepentingan rumah tangga dan keluarga yang masih tersisa di rumah.

Terus terang saja kalau saya merasa malas dan enggan untuk berkunjung dan berkomunikasi dengan bekas rekan perjuangan, teman atau pun kenalan yang dahulunya saya anggap dekat/ akrab. Justru bagi mereka, yang tidak mengetahui ujung-pangkal dalam duduk perkara, saya tiada setapak pun mau maju mendekat dan bertatap muka secara hati ke hati. Kebanyakan lalu pergi menyelinap dan menghindar, yang mungkin ada merasa takut disorot, yang akibatnya dapat merugikan diri.
Namun tidak sedikit pula, bekas rekan-rekan seperjuangan dan teman/kenalan, yang masih mau berkunjung ke rumah saya, sungguh pun tempat tinggal saya sekarang ini di pinggiran kota, yang sebagian perjalanannya harus ditempuh dengan jalan kaki. Di antaranya saya merasa terkesan dengan kunjungan Letjen(P) Soedirman anggota Dewan Pertimbangan Agung, yang pada suatu malam buta berkenan meluangkan kakinya, untuk mengunjungi saya di rumah Kramatjati yang sesempit itu.
Saat pertama bersua kembali dengan saya, sedikitpun saya tidak melihat adanya perubahan wajah, sebagaimana wajah cerah amikal selagi sikapnya yang brotherly/fatherly, sebagaimana yang mula-mula saya mengenal beliau sebagai rekan Komandan Resimen yang tersenior. Beliau mengutamakan rasa kemanusiaannya dari pada rasa sebagai perwira tingginya. Beliau terkenal rajin berkunjung kepada keluarga anak buah, yang suaminya sedang mengalami penahanan, atau pun yang ditinggal bertugas operasi oleh suaminya. Beliau pun tidak ada rasa ragu mengunjungi bekas bawahannya yang berada dalam tahanan. Toleransi terhadap penderitaan teman atau pun anak buah bagi beliau tidak pernah menutup mata dan telinga, lepas dari persoalan atau pun perkara, yang sedang mereka pertanggung-jawabkan masing-masing.

Sikap yang layak terpuji dan dihargai oleh khalayak orang timur, kalau orang itu dapat berteladan pada panutan sikap dan sifat, sebagaimana yang dimiliki Letjen(P) Soedirman itu. Maka kunjungan yang semacam itulah yang selalu dapat membasahi, ibarat embun yang menyiram hati saya.
Jakarta, 1 April 1989

Pembuat catatan kronologis,
Ttd.
Pranoto Reksosamodra

komersialisasi kampus

Tolak Komersialisasi Kampus Sekarang Juga

Namanya Widya, mahasiswa semester satu angkatan 2006, Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Widya dan puluhan kawannya yang lain harus menerima kenyataan pahit tak lagi mampu kuliah karena di droped out (DO). Penyebabnya bukan karena mereka pengguna narkoba atau melakukan tindakan indisipliner, tapi karena masalah klasik : BIAYA!. Widya telat membayar uang kuliah.

Kebijakan rektorat memang mengharuskan barang siapa yang telat membayar SPP dengan alasan apapun tanpa pengecualian (termasuk sakit dan belum punya uang) harus siap menerima sanksi tidak dapat mengikuti semester berikutnya. Jika mahasiswa diatas semester dua agar tidak dianggap mengundurkan diri maka terpaksa mengambil cuti kuliah. Sedangkan bagi yang semester satu (mahasiswa baru) maka statusnya secara otomatis gugur studi alias droped out (Surat Pembaca SINDO 10 Februari 2007).

Bisa dipastikan, Widya dan puluhan kawannya yang lain terpaksa angkat kaki dari kampus akibat kebijakan kampusnya yang tidak manusiawi itu. Lihat bagaimana hukuman bagi mahasiswa tak mampu lebih berat atau setara dengan mahasiswa pengguna narkoba, tawuran atau berbuat tindak kriminal. Kampus menjadi hampir sama dengan “rumah bordil”, yang bisa masuk dan menikmati isi di dalamnya hanya yang memiliki uang. Karena sama dengan rumah bordil, kampus pun penuh sesak dengan orang-orang yang siap memperbudak dirinya demi uang.

Widya pastinya tak sendirian, selain Widya masih banyak jutaan orang yang tak mampu meneruskan kuliahnya atau tak mampu mengenyam bangku perguruan tinggi. Kampus Widya pun tak sendirian. Hampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia mematok tarif selangit bagi mahasiswa nya atau kampus yang menerapkan kebijakan yang tidak demokratis, diskriminatif dan tidak berpihak kepada orang miskin. Dunia pendidikan memang hakim yang paling kejam dan tak adil bagi status sosial seseorang.

Badai neo-liberalisme yang menghantam dunia pendidikan ikut menjauhkan orang miskin mendapatkan pendidikan khususnya perguruan tinggi. Privatisasi yang menjadi salah satu program kebijakan neo-liberalisme menjelma menjadi kebijakan pasar bebas dan mendorong pemerintah untuk melakukan penjualan berbagai asset pemerintah, termasuk perguruan tinggi. Privatisasi kampus berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga layak dilepas pemerintah. Otonomi kampus inilah yang menjadi landasan kampus memungut biaya semaunya. Belum lagi menerapkan kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya yang otoriter dipaksakan kepada mahasiswa.

Maka tak heran jika perguruan tinggi berlomba-lomba menetapkan harga tinggi dengan dalih untuk peningkatan mutu dan kualitas. Padahal tidak selamanya peningkatan mutu dan kualitas diikuti harga yang mahal.

Lalu bagaimana nasib rakyat miskin ditangan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Nampaknya nasib rakyat miskin untuk mendapatkan pendidikan tak akan berubah. Karena isi RUU BHP adalah melepaskan perguruan tinggi dari intervensi pemerintah. Kelak tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta. Semuanya dikelola dalam sebuah model privatisasi dan tentunya komersialisasi yang hebat. Lembaga pendidikan yang sebelumnya tidak diperbolehkan melakukan kegiatan bisnis, sebagai BHP diperbolehkan melakukan kegiatan yang mendatangkan keuntungan, sepanjang laba yang diperoleh diinvestasikan untuk peningkatan mutu pelayanan yang diberikan.

Dalam pasal 7 RUU BHP soal Pendanaan dan Kekayaan secara terang dipaparkan bahwa pendanaan awal Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHPT) murni berasal dari masyarakat dan Badan Hukum Perguruan Tinggi. Dijelaskan juga pada ayat 1, dana untuk investasi awal, pengembangan, dan operasi Perguruan tinggi didapat dari masyarakat lewat dana hibah dari dalam dan luar negeri. Di samping itu, Badan Hukum Perguruan Tinggi juga diberi beban untuk menggalang dana lewat aneka usaha.

Pasal 7 ayat 5 menerangkan juga bahwa tugas pemerintah hanya sebatas memberikan bantuan dalam bentuk hibah. Bantuan ini disebut sebagai dana kompetisi, bukan dana rutin, dan bersifat TIDAK WAJIB. Artinya sudah cukup jelas RUU BHP menguatkan lepasnya tanggung jawab negara terhadap pendidikannya. Lantaran sudah otonom, lembaga pendidikan berstatus BHPT dipastikan bakal menjadikan siswa didik sebagai ladang mengeruk dana. Perguruan tinggi di luar negeri juga berstatus otonom. Namun, berbeda dengan Indonesia, di luar negeri pemerintah tidak mencoba lepas tangan. Malaysia misalnya, pemerintah Malaysia tetap membiayai 90 persen biaya pendidikan kendati perguruan tinggi di Malaysia berstatus otonom.

Van Hoof & Van Wieringen dalam suatu konferensi pendidikan tinggi Eropa mengatakan, jika pemerintah suatu negara tidak secara serius memerhatikan arah dan pengelolaan pendidikan tinggi di negaranya, dapat dipastikan pembangunan ekonomi Negara tersebut akan terhambat.

Dampak buruk dari privatisasi dan komersialisasi kampus juga hilangnya solidaritas sosial. Misalnya, jika seseorang kuliah di fakultas kedokteran dengan membayar Rp 250 juta-1 miliar, apa motivasi mereka setelah lulus? Pasti mencari uang agar modal mereka saat kuliah kembali. Itu sebabnya sangat sulit mencari dokter yang peduli dengan orang miskin.

Kita harus belajar dari Negara yang sangat peduli dengan dunia pendidikan seperti di Kuba atau Venezuela. Presiden Venezuela Hugo Chavez pernah mengatakan, “Jika kita (pemerintah) ingin menyejahterakan rakyat miskin maka berilah rakyat miskin kekuatan. Dan kekuatan itu bernama pendidikan. Maka berilah rakyat miskin pendidikan” ***

Senin, 26 Mei 2008

Kesejahteraan Rakyat Sebagai Pilar Untuk Membangun Ketahanan Ekonomi Bangsa

“Kalau mau hidup harus makan, yang dimakan hasil kerja, jika tidak bekerja tidak makan, kalau tidak makan pasti mati,…inilah undang-undangya dunia,……” begitulah penggalan pidato dari Bung Karno (HUT RI 1953). Yang jadi pertanyaan sekarang ini adalah bagaimana kita bekerja dan mengelolala sumber daya alam di negeri ini kalau semua perusahaan yang kiranya dapat menyejahterakan rakyat sudah di kuasai korporasi-korporasi asing, padahal kita tahu bahwa kesejahteraan rakyat adalah salah satu pilar untuk ketahanan ekonomi bangsa yang akhirnya dapat memperkuat ketahanan nasional bangsa ini.

Logikanya adalah bagaimana kita mampu mempertahankan bangsa kalau kita sendiri (rakyat Indonesia) tidak sejahtera, lapar bahkan mati. Utuk itu kita perlu Menuntut pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengumumkan dekrit, mengambil alih kendali (nasionalisasi) industri pertambangan, membatalkan dan merombak kontrak kerja sama dengan perusahaan pertambangan asing yang telah merugikan kepentingan nasional dan memiskinkan rakyat. Orientasi kebijakan pertambangan harus ditujukan untuk:

1.1. Memenuhi kebutuhan dalam negeri, baik bahan baku industri maupun sumber energi untuk keperluan industri, rumah tangga, dan transportasi.

1.2. Menyediakan basis industri hulu yang tangguh dengan pembangunan industri pengolahan hasil sumber daya alam, terutama yang paling mendesak dibutuhkan bagi industrialisasi nasional (bijih besi, alumunium, energi alternatif, kilang minyak, dsb).

1.3. Mengalokasikan keuntungan yang diperoleh dari penjualan komoditi pertambangan untuk kesejahteraan rakyat (pendidikan dan kesehatan gratis, membuka lapangan pekerjaan, dll).

Secara garis besar, persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut di atas kurang lebih dapat diatasi lewat langkah-langkah industrialisasi sebagai berikut:

1. Negara harus menjamin tersedianya sumber energi yang memadai untuk seluruh jenis industri. Korporasi-korporasi penghasil energi (minyak, gas, dan batu bara) harus diambil-alih kepemilikan ke tangan negara untuk memastikan tercukupinya kebutuhan energi dalam negeri. Sebaliknya, kerja sama energi dengan negeri-negeri seperti Venezuela dan Iran perlu ditingkatkan. Sejalan dengan itu, pemboyongan sumber energi ke luar harus dihentikan atau dibatasi.

2. Sebagai antisipasi jangka panjang, dibutuhkan kajian-kajian strategis terhadap sumber energi alternatif dengan dampak negatif seminim mungkin terhadap lingkungan hidup.

3. Negara harus menjamin tersedianya bahan baku yang cukup untuk seluruh jenis industri penyedia kebutuhan primer masyarakat (sandang, pangan, papan). Perlu segera memperhatikan pengadaan sumber bahan baku yang sampai saat ini masih diimpor, seperti kapas untuk industri tekstil, dan juga sebagian produk pertanian (mengenai pertanian terdapat poin tersendiri). Larangan ekspor dikenakan terhadap jenis bahan baku yang menjadi basis bagi produksi kebutuhan primer masyarakat, sejauh tidak terdapat surplus yang bisa dipasarkan ke luar negeri.

4. Kebijakan strategi industri dengan sektor swasta harus menghasilkan pembangunan industri pengolahan bahan baku menjadi bahan baku setengah jadi. Termasuk di dalamnya, membangun industri induk mesin, industri kimia, industri baja olahan, alumunium, dan lain sebagainya. Transfer teknologi dilakukan melalui kerja sama investasi dengan negeri yang memiliki teknologi lebih maju, atau ‘mengadopsi’ teknologi yang dipelajari dari luar negeri (Jerman, Jepang, Rusia, Cina, dll).

5. Negara menjamin tersedianya pasar bagi industri yang masih membutuhkan proteksi dengan pengenaan pajak atau cukai yang tinggi terhadap komoditi sejenis, yang diimpor dari luar negeri. Untuk jenis komoditi tertentu, perlu disediakan jalur distribusi yang dapat diakses oleh masyarakat luas dengan harga yang disubsidi.

6. Tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam konteks ini, pendidikan dan kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh negara. Jaminan penyediaan gizi bagi masyarakat, tidak dipandang sebagai program belas kasihan untuk sebagian rakyat miskin (seperti program BLT atau raskin yang dilakukan pemerintah saat ini). Kebutuhan yang sangat mendasar tersebut harus diberlakukan secara umum sehingga, dapat diakses oleh seluruh warga negara. Pengecualian hanya berlaku bagi warga negara yang memiliki kemampuan lebih sehingga, memilih akses terhadap pendidikan dan kesehatan di luar fasilitas yang disediakan oleh negara.

7. Memajukan tenaga produktif pertanian dengan cara: a) mengalokasikan kredit yang memadai dengan jaminan oleh pemerintah dan bunga rendah kepada petani melalui bank pertanian; b) mobilisasi potensi seluruh lembaga riset pertanian untuk mengembangkan teknologi pertanian yang sesuai dengan karakter geografis dan sosial-budaya Indonesia. Pengembangan tersebut meliputi masalah pembibitan, mekanisasi proses tanam dan panen, pengairan, listrik, serta infrastruktur lainnya; c) mendorong terbangunnya contoh pertanian kolektif dengan pengolahan lahan bersama serta penerapan teknologi yang lebih maju. Penggarapan ini dilakukan secara demokratis dengan melibatkan petani dalam mengambil keputusan, baik saat proses produksi maupun pemasaran; d) mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian dalam setiap batasan teritori tertentu sesuai dengan komoditi pertanian yang diproduksi. Perlu dijelaskan, program teknologisasi pertanian ini tidak akan menciptakan pengangguran baru, sebaliknya akan membuka lapangan kerja. Karena dari setiap pengembangan tenaga produktif akan membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru.

8. Ijin operasi industri hulu harus disertai syarat pembangunan industri pengolahan sehingga bahan mentah ekstraktif tidak langsung dijual ke luar negeri. Dengan pengolahan tersebut, selain akan meningkatkan nilai tambah, juga akan meningkatkan produktivitas masyarakat lewat industri-industri pengolahan yang terbangun. Misalnya; hasil tambang bauksit yang diolah menjadi alumunium, bijih besi menjadi baja, baja menjadi mesin, dsb-dst.

9. Memberikan perhatian terhadap industri kecil dan menengah dengan sarana dan kemudahan akses terhadap kredit mikro, bahan baku produksi yang murah, serta jaminan ketersediaan pasar.

Demi terciptanya kesejahteraan rakyat langkah tersebut harus segera di realisasikan.