Jumat, 08 Agustus 2008

rakyat miskin dilarang pintar III

Rakyat Miskin Dilarang Pintar III


Di bawah Pemerintahan SBY-JK nasib dunia pendidikan Indonesia sungguh sangat dramatis, pendidikan nasional sebagai salah satu variabel untuk memajukan pendidikan justru di jadikan lahan akumulasi modal(pendidikan Layaknya komoditi yang siap di perdagangkan). Problem utama pendidikan saat ini bisa di simpulkan menjadi (1) Biaya Pendidikan yang semakin Mahal; janji realisasi anggaran pendidikan minimal 20% (menurut Konstitusi) tidak juga di berikan. Dalam kesepakatan pemerintah dan DPR untuk 2007 dana yang dianggarkan untuk sektor pendidikan hanya Rp.51.3 Trilyun atau 10,3% dari total APBN, hanya Naik sedikit dari tahun 2006 sebesar Rp. 36,7 Trilyun atau 9,1 % dari APBN. Sedangkan alokasi anggaran pendidikan dari tahun 2006 sampai 2009 adalah sebesar 210 trilyun sebuah angka yang sedikiti bila di banding dengan komitmen pembayaran utang luar negeri. Alokasi pembayaran hutang yang terdiri dari bunga hutang dalam negeri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga hutang luar negeri Rp. 25,14 trilyun dan cicilan pokok hutang luar negeri Rp. 46,84 trilyun, hal tersebut artinya pembayaran utang luar negeri telah menggerogoti 25,10% dari total belanja negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, serta menguras pendapatan negara sebesar 29,33%. Dan jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, anggarannya jauh di atas Indonesia. Di Malaysia, anggaran untuk mahasiswa mencapai 114 juta rupiah per mahasiswa per tahun. Dan ini belum termasuk soal pengembangan sumber daya manusia yang juga membutuhkan biaya besar.

Menurut data Balitbang Depdiknas tahun 2003, murid SD dan madrasah ibtidaiyah (MI)-negeri dan swasta-berjumlah 25.918.898 orang dan murid SMP dan madrasah tsanawiyah (MTs)-negeri dan swasta-berjumlah 7.864.002 orang. Jadi, jumlahnya adalah 33.782.900 orang. Dari jumlah itu akhirnya yang putus sekolah dan berhenti tamat SD ada 56,2 persen dan yang hanya tamat SMP 16,65 persen. Jadi, putus sekolah dalam wajib belajar 62,67 persen. Penyebab Utama mereka untuk putus sekolah karena faktor ekonomi orang tuanya(baca; Miskin), Meskipun Pemerintah memberikan beasiswa, memilih 9,6 juta dari 33,78 juta orang bukan pekerjaan gampang, apalagi yang miskin jumlahnya 21,16 juta. Memberikan beasiswa hanya kepada sebagian kecil orang miskin sia-sia saja. Lebih baik adalah sekolah gratis kepada seluruh siswa wajib belajar (SD-SMP-SMA). Data sensus tahun 2003 menampilkan gambaran bahwa penduduk berusia 10 tahun ke atas terdiri atas 8,5 persen tak masuk SD, 23,0 persen drop out SD, dan 33,0 persen hanya tamat SD, atau penduduk berpendidikan SD ke bawah 64,5 persen. Yang bisa menamatkan SMP dan dilanjutkan ke SMA hanya 16,8 persen. Dari 42 juta usia belajar, wajib belajar hanya mencapai 32,9 persen, atau gagal 64,5 persen. Maknanya apa? Bahwa 62 tahun Indonesia merdeka Rakyat Indonesia yang tidak bisa menikmati pendidikan lebih banyak ketimbang yang bisa menikmati pendidikan. Ini tidak ada perkembangan yang significant paska politik etis.

DI DKI Jakarta, untuk menyekolahkan anak di TK-SD orang tua mesti mengeluarkan biaya kira-kira ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Untuk SMP dan SMA lebih parah lagi harus mengeluarkan Jutaan rupiah, untuk sekolah tipe –Unggulan biaya yang dikeluarkan bisa puluhan juta. Sedangkan bagi orang tua untuk mengirimkan anaknya di bangku perguruan tinggi/Universitas harus piker-pikir dulu, karena untuk biaya pangkal saja minimal 1- sampai 3 Juta, untuk jurusan elit seperti kedokteran bisa mengeluarkan puluhan sampai ratusan juta. Ini sangat bertentangan dengan realitas bahwa menurut data resmi yang diluncurkan Bank Dunia hasil studi tentang kemiskinan di Indonesia (Kompas, 11 Desember 2006) estimasi jumlah orang miskin hampir 109 juta (49 persen) dari total penduduk Indonesia dengan indicator pendapatan 2 Dollar perhari. Jika di hitung secara matematis maka di dapatkan data ada sekitar 109 juta orang dengan pendapatan 30 × 2 US$(18.000)=Rp.540.000 per bulan harus menanggung biaya pendidikan yang berkisar 1 sampai ratusan juta rupiah.

Problem ke (2) adalah infrastruktur/fasilitas pendidikan yang sangat minim; jumlah TK-SD,SMP,SMA dan perguruan tinggi belum memenuhi kapasitas peserta didik di Indonesia. Banyak sekolah-sekolah yang ruangnya di pakai secara bergiliran, bahkan di beberapa daerah klas-klasnya di gabung padahal ini sangat tidak efektif untuk proses belajar mengajar. Selain itu keterbatasan infrastruktur ini semakin di perparah dengan kenyataan bahwa infrastruktur ini banyak yang ber-usia sudah tua dan tidak layak pakai. Sebagai contoh kejadian di Serang, Banten sebuah bangunan sekolah ambruk karena hujan terus menerus selama tiga hari. Maka tidak heran kondisi mengenaskan dari bangunan sekolah-sekolah ini menjadi kekhwatiran dari para guru, murid, dan orang tua murid sehingga sering berbuntut protes terbuka seperti kejadian pada peringatan hari pendidikan Nasional tahun 2006 di Stadion Manahan (Solo) yang membuat Yusuf Kalla ngomel-ngomel.Belum kalah mirisnya, terkadang bangunan sekolah yang terbatas ini di robohkan, (sengaja) ditutup karena arealnya mau dijadikan lahan untuk pembangunan Mall, perkantoran, atau karena komflik lahan dengan pihak swasta. Pemerintah yang mestinya berdiri melindungi kepentingan sekolah justru lepas tangan dan membiarkan hal tersebut terjadi.

Infrastruktur/fasilitas juga terkait dengan fasilitas laboratorium, buku-buku pelajaran, sarana olahraga, sarana kesenian, tempat ibadah, kantin, pusat bahasa, perpustakaan, Internet, dan lain sebagainya. Sekolah-sekolah unggulan di Jakarta yang (ber-status Internasional) manpu menyediakan fasilitas ini secara lengkap Namun problemnya hanya bisa di akses orang-orang kaya ( Anak pengusaha, Pejabat, selebriti).

Problem ke(3) adalah Kurikulum, system pendidikan dan pelembagaannya. Semasa orde baru kurikulum pendidikan di arahkan untuk kepentingan mendukung ideologis penguasa, lembaga pendidikan di control ketat oleh pemerintah. Namun di bawah pemerintahan SBY-JK pendidikan justru di arahkan untuk kepentingan Neoliberalisme; kurikulum pendidikan sama sekali tidak berkualitas (beberapa masih sesuai dengan kepentingan orde baru seperti pencantuman kata “PKI” dalam buku pelajaran sangat tidak sesuai dengan semangat reformasi), pendidikan di arahkan untuk kepentingan neoliberalisme. Kurikulum berbasis kompetensi-pun tidak mengangkat pendidikan menjadi ilmiah dan demokratis, malah aspek kekerasan buah dari hubungan sub-ordinat subjek –Objek masih terus terjadi seperti kematian siswa akibat penganiayaan oleh gurunya, atau kasus penganiayaan di IPDN. menurut Dave Meier - seorang pakar accelerated learning - Sekolah saat ini kadang-kadang mencekik dan melumpuhkan orang dan merenggut kegembiraan belajar anak didik, sehingga dapat menghalangi mereka mengasah pikiran dan mewujudkan potensi sepenuhnya. Tentu kita tidak mau anak-anak kita menjadi tumpul potensinya, dan juga tidak mau jika melihat potensi anak-anak kita mati sia-sia karena harus mempelajari yang bukan minatnya

Persoalan lainnya adalah kesejahteraan guru yang sangat minim, gaji seorang guru belum memenuhi standar hidup laya keluarganya(kebutuhan ekonomi keluarga), sehingga tidak jarang guru-guru terlibat kerja sampingan( buka usaha, jadi tukang ojek, dan lain-lain), dan ini sangat mengganggu konsentrasinya untuk mengajar. Tidak ada upaya pemerintah menambah kualitas tenaga pengajar dengan memberikan beasiswa untuk untuk melanjutkan kuliah. Di media massa seringkali kita mendengan nasib memprihatinkan dari guru-guru, seperti kasus di Mandar, Sulawesi barat seorang guru harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer lebih untuk menghemat ongkos daripada naik angkot atau ojek(Koran SINDO). Nasib ratusan ribu guru kontrak di Indonesia sekaligus kenyataan bagaimana kondisi perbudakan modern yang di jalankan pemerintah, yang kemudian dalam beberapa kasus seperti kegagalan Ujian Nasional(Unas) kelompok inilah(guru Bantu dan guru kontrak) yang banyak di salahkan. Bagaiamana mungkin mereka bisa memaksimalkan kinerjanya kalau statusnya saja tidak jelas, apalagi kesejahteraannya.

Untuk mencari muka mendorong pendidikan nasional, sejak jaman orde baru sudah di canangkan wajib belajar 9 tahun, tetapi sama sekali tidak manpu mengurangi jumlah orng putus sekolah atau memberantas buta huruf. Penyebabnya Wajib belajar ala Indonesia tidak identik dengan wajib belajar (compulsory education) seperti yang dipersepsi oleh negara-negara maju, yang secara ekonomis telah lebih makmur. Dalam pengertian negara maju, compulsory education mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah; (2) pemerintah menggratiskan sekolah(SD,SMP,SMA); (3) tolok ukur keberhasilan wajib belajar adalah tiadanya orangtua yang terkena sanksi karena telah mendorong anaknya bersekolah; dan (4) ada sanksi bagi orangtua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah.
Selain itu, munculya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. Dalam hal ini, sekolah "dipaksa" untuk melengkapi dirinya dengan komputer dan peralatan canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat sampingan dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah penerima bantuan block grant di Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan mengalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik (Kompas, 9 April 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan KBK. Dari sini timbul kesan bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap infrastruktur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.

Masih ada program dana Biaya Operasional Pendidikan(BOS) tetapi hitung-hitung manfaat dari program ini, malah banyak di selewengkan(baca; dikorupsi) oleh pihak kepala sekolah dan birokrasi Depdiknas. Kalaupun ada yang sampai ketangan sekolah itupun banyak yang salah sasaran, mestinya mengurangi biaya yang di keluarkan siswa/orang tua siswa malah dana BOS dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak pokok; menge-Cat dinding sekolah, memperbaiki pagar dan gerbang sekolah dan lain-lain. Program MDG,S yang juga di jalankan oleh SBY-Kalla tidak manpu mengankat martabat pendidikan nasional, hanyalah sebuah tipuan antara SBY-Kalla dan Tuannya(Modal Internasional).

Neoliberalisme di Institusi Pendidikan

Lembaga Universitas Indonesia sejak tahun 1999 telah mengalami perubahan fundamental, seiring dengan di berlakukannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 61/Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum. Dari 4 kampus percobaan( UI, UGM, ITB, dan IPB) kemudian bertambah 8 tahun 2000 yaitu UPI Bandung, Univ, Airlangga(Unair), Univ Diponegoro(Undip), dan Univ Sumatra Utara(USU), dan untuk tahun 2007 jumlah Perguruan tinggi negeri yang akan berubah status menjadi BHMN semakin bertambah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa lembaga Unversitas di Indonesia mulai mengarah pada privatisasi Kampus(Neoliberalisme). Semakin agressifnya ingin menjadikan kampus-kampus di Indonesia sebagai lahan akumulasi modal maka pemerintah dan DPR pun memaksakan penegsahan RUU BHP-Badan Hukum Pendidikan.

Komersialisasi pendidikan Universitas meskipun belum berjalan sepenuhnya namun dampaknya sudah sedemikian buruknya. Pada tahun 1999(awal pemberlakuan BHMN) di perkirakan kenaikan biaya kuliah dari 300 hingga 400%. Di Universitas Indonesia uang pangkal—Admission Fee(untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp.5 Juta hingga Rp 25 juta, sedangkan untuk program Prestasi Minat Mandiri(PPMM) Rp. 25 Juta-Rp75 Juta. Untuk kampus sekelas Institut Tekhnology Bandung(ITB) di kenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik ---bisa mencapai 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Universitas Gajah Mada(UGM) memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik(SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp.20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-SPMB. Argumentasi dari pendukung neoliberal bahwa biaya pendidikan sebesar itu di peruntukkan untuk kualitas pendidikan agar mengikuti standar internasional(syarat memasuki free trade). Sehingga keterlibatan swasta, atau para pemodal dalam lingkup kampus adalah untuk menolong pembiayaan kampus(konsep Otonomi Kampus) bukan lagi mengandalkan subsidi pemerintah. Mari kita lihat kebenaran argumentasi tersebut? Akibat pemberlakuan uang masuk(Biaya pendidikan) yang mahal maka bisa di pastikan bahwa banyak orang-orang yang secara IQ cerdas namun karena tidak mampu membayar sehingga tidak di terima di PTN. Pemberlakuan jalur khusus(dengan biaya puluhan juta hingga ratusan) justru lahan subur nepotisme, hanya anak-anak orang kaya yang belum tentu kualitasnya bagus masuk ke dalam PTN. Universitas seperti UGM hanya menempati urutan 77 dari 77 Universitas di kawasan Asia-Australia, apalagi universitas-universitaslain yang hanya mengandalkan “Papan nama” harus bersaing dalam kompetisi global.

Dalam persoalan fasilitas setelah BHMN juga tidak ada perubahan, di UGM mahasiswa masih memiliki problem dengan ruangan kelas yang terbatas sehingga harus berdesak-desakan. Di beberapa kampus memang di bangun fasilitas seperti jasa Internet M-Web, atau pembangun Toko buku(gramedia,dll) tetapi harganya susah di akses oleh semua mahasiswa terutama dari klas menengah kebawah. Di kampus Universitas Hasanuddin(Makassar) setelah BHMN di lakukan renovasi dan pembangunan fasilitas besar-besaran(satelit, Bis Kampus, AC untuk tiap ruangan, kamera CCTV) tetapi semua fasilitas ini harus di bayar mahal oleh mahasiswa dengan mengbengkaknya biaya pendidikan SPP dan lain-lain, belum lagi untuk mengakses fasilitas tersebut harus membayar Fee—dengan kedok biaya penelitian.

Korporasi yang merambah kampus sekarang bukan hanya dalam bentuk penempatan orang di Majelis Wali Amanat(MWA), tetapi juga pembentukan Unit Komersil yang berada di bawah naungan WMA. Di berbagai PTN/bahkan PTS di Indonesia kita bisa menjumpai minimarket (semisal Alfamart), layanan Bank dan ATM-nya(BNI, BCA, Mandiri), Jasa komersil internet-an, Mc. Donald, dan lain-lain. Fasilitas-fasilitas kampus yang di bangun dengan dana mahasiswa dan Subsidi pemerintah( Pajak Masyarakat) justru kini di komersilkan seperti Aula, Gelanggang Olahraga, asrama mahasiswa, hingga perpustakaan. Gedung alumni IPB lebih sering di pakai untuk seminar umum ketimbang di pergunakan oleh mahasiswa, Baruga AP Pettarani(Auditorium UNhas) lebih sering dipergunakan oleh pihak luar untuk acara-acara seminar, pernikahan, dan lain-lain ketimbang di manfaatkan mahasiswa.

Ancaman terbesar mahasiswa saat ini (selain UU Sisdiknas, PP Nomor 61/Tahun 1999 yang sudah berlaku) adalah pengesahan RUU-BHP, Alih-alih menjadi lembaga universitas menjadi mandiri secara finasial. Justru semangat utama RUU-BHP adalah swastanisasi dan Komersialisasi pendidikan, pendidikan akan berubah menjadi bahan dagangan yang tidak lagi menitikberatkan kualitas. Dalam RUU BHP antara lain disebutkan kepemilikan PTS oleh yayasan, perorangan, atau badan hukum maksimal memiliki saham 35 persen dan sisanya "dijual" kepada masyarakat yang berminat. Memang tidak adalagi kesenjangan swasta dan PTN tetapi kenyataannya adalah bahwa pendidikan semakin mahal dan susah di jangkau oleh warga masyarakat. semua kebijakan ini hanyalah pelaksanaan dari kebijakan World Trade Organization(WTO) yakni General Agreement on Trade and Service(GATS), sebuah aturan pemaksaaan bagi Negara-negara dunia ketiga untuk meliberalkan sector pendidikan, dan sekaligus membuka kampus untuk para pemodal menanamkan modalnya.

Jelaslah bahwa biaya pendidikan yang semakin mahal semakin menghalangi keinginan lulusan SMA dari klas menengah dan bawah untuk mengandalkan otak dan prestasi akademiknya karena itu tidak di hargai dalam kampus neoliberal. Akibatnya jumlah orang yang kuliah di Universitas terus menerus turun, lihat saja untuk tahun 2003 hanya 10% dari penduduk usia mengenyam pendidikan Perguruan tinggi yang bisa mengenyam pendidikan. Kampus yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar. Van Hoof & Van Wieringen (1986)mengatakan dalam suatu konferensi pendidikan tinggi Eropa, "Jika pemerintah suatu negara tidak secara serius memerhatikan arah dan pengelolaan pendidikan tinggi di negaranya, dapat dipastikan pembangunan ekonomi Negara tersebut akan terhambat."

Perubahan struktur ekonomi-politik kampus kea rah neoliberalisme, telah merubah paradigma pendidikan kapitalisme bukan hanya sekedar sebagai penyedia robot-root untuk industri, menyediakan riset, media transmisi ideology Negara tetapi di jaman sekarang(baca; Neoliberalisme) kampus telah menjelma sekaligu tidak ubahnya pasar. Dimana hanya orang-orang yang memiliki kesanggupan daya beli-lah yang bisa mengaksesnya, sedangkan orang-orang miskin cukup melihat-lihat dari luar.

Selain persoalan biaya pendidikan yang semakin mahal(komersialisasi) akibat utama reformasi neoliberalisme di perguruan tinggi adalah kurikulum yang sangat mengabdi kepada pasar tenaga kerja(Labour Market). Dalam kasus BHMN kampus telah berubah status menjadi reserarh University(dulu di cetuskan di jerman Untuk mendukung pemerintahan NAZI melakukan penemuan baru dalam persenjataan). Yang salah dari konsep ini penemuan technology dan IPTEK bukan di peruntukkan untuk kepentingan seluruh umat manusia, tetapi nantinya akan di kuasai oleh Korporasi Asing dalam bentuk Hak Cipta dan hak paten. Selain itu pendidikan di Universitas akan menjalin kerjasama dengan korporasi-korporasi dengan pola Link and Match atau pola magang di korporasi untuk ketersediaan tenaga professional. Jelas status BHMN tidak menghasilkan kualitas seperti yang dimitoskan, malah status ini menjerat pendidikan sekedar mesin penjaga kestabilan akumulasi modal dalam alam kapitalisme. Hubungan tidak linear antara PT dan sektor ekonomi disebabkan oleh pergeseran paradigma penyelenggaraan PT sebagai akibat langsung industrialisasi modern pasca-Perang Dunia II. Para pakar ekonomi sosial,

seperti Castells (2000), Callinicos (1999), dan Rifkin (2000), mencatat, semangat membangun kembali setelah perang melalui industrialisasi modern menumbuhkan tuntutan pragmatis masyarakat atas peran PT. Pola pengelolaan modal industri membentuk persepsi masyarakat bahwa investasi ekonomi dalam bidang pendidikan juga harus kembali dalam bentuk profit ekonomi. Akibatnya, tolok ukur masyarakat atas keberhasilan pendidikan adalah kerja yang mengembalikan investasi.

Imbas lain dari BHMN-isasi ini adalah persoalan tatahubungan kelembagaan dalam Universitas yang tidak demokratis, penyebabnya posisi lembaga mahasiswa tidak sederajat dengan birokrasi kampus. Status Badan Hukum telah merubah wajah kampus menjadi anti Unionisme(serikat mahasiswa),di berbagai kampus yang menjalankan Badan hukum ini sangat anti dengan aktivitas gerakan mahasiswa. Di UI tahun 1990/2000 dilakukan DO/skorsing terhadap mahasiswa kritis, di Universitas hasanuddin hal yang sama juga dilakukan terhadap mahasiswa(Korbannya si penulis Makalah ini), di USU, dan berbagai kampus di Indonesia. Penyempitan ruang demokrasi bagi mahasiswa untuk melakukan aktivitas kemahasiswaan(kecuali untuk minat dan bakat/UKM) hampir terjadi dimana-mana. Di IKIP Mataram protes mahasiswa karena keluarnya kebijakan yang tidak melibatkan mahasiswa memakan korban mahasiswa (Ridwansyah, tewas terbunuh oleh preman yang dibayar rektorat). Di berbagai kampus di keluarkan kebijakan pelarangan melakukan aktivitas mimbar bebas, melakukan diskusi, pelarangan mengedarkan selebaran, bahkan pelarangan berorganisasi(terutama organisasi radikal).

SBY-JK Anti Kemajuan Pendidikan Nasional

Kebohongan SBY-JK dengan realisasi anggaran 20 % dalam APBN adalah bukti bahwa SBY-JK tidak punya itikad baik untuk memajukan pendidikan nasional, ini sangat beda dengan komitmen seorang Bupati Jembrana yang berani menggratiskan Pendidikan di daerahnya kendati Jembrana bukanlah kategoti daerah ber-pendapatan Asli Daerah(PAD) tinggi. Upaya memaksakan pemberlakuan RUU BHP-sebagai implementasi dari kehendak WTO dalam General Agreement On Trade and Service(GATS) adalah bukti persekongkolan pemerintahan SBY-Kalla dan DPR untuk mendorong pendidikan kearah Liberalisasi dan privatisasi. Pendidikan nasional terus di remehkan, di hilangkan watak ilmiahnya, dan rasionalitasnya semakin terjebak dalam pragmatisme korporasi-korporasi. Di bawah panji-panji neoliberalisme Universitas dipaksa mencari sumber pendanaan sendiri, anggaran pendidikan dari pemerintah semakin di perkecil bahkan coba untuk dihilangkan. Data dari PBB dan Bank Dunia menunjukkan bahwa dana untuk mencapai target pendidikan dasar secara global memerlukan US$ 8 milyar dolar setiap tahunnya, atau setara dengan dana untuk kegiatan militer secara global selama 4 hari saja. Dalam setahun, kegiatan militer global menghabiskan biaya sebesar US$ 780 milyar, atau US$25 ribu per detik. Mengingat fakta ini, patut dipertanyakan, apakah memang terhambatnya pendidikan lebih dikarenakan kurangnya sumber dana atau tidak adanya kemauan politik dari negara-negara dunia, khususnya negara-negara utara yang telah memberikan komitmennya untuk mengalokasikan dana hibah yang lebih besar bagi pendidikan di negara-negara berkembang?

SBY-Kalla mencoba menutupi kebohongannya dengan sejumlah ilusi baru; misalnya pemberian beasiswa kepada aktivis mahasiswa, kemudahan untuk beasiswa luarnegeri, program bantuan untuk penyelesaian study, dan lain-lain. Namun program tersebut tidak sanggup menghentikan kesenjangan sosial dalam memperoleh pendidikan layak dan berkualitas, tetap saja orang miskin tidak tertolong. Menurut Faisal Basri, seorang pengamat ekonomi, justru mengkhawatirkan anggaran 20 persen itu akan menciptakan Depdiknas sebagai gudang korupsi. Sementara itu, Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Sofian Effendi mengingatkan bahwa alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN itu tidak berpengaruh banyak pada biaya pendidikan tinggi. Biaya pendidikan tinggi tidak serta merta akan murah. Dengan asumsi total APBN mencapai 550 sampai 660 trilyun rupiah, maka anggaran 20 persen itu sama dengan 120 trilyun rupiah. Dari jumlah tersebut, perguruan tinggi diperkirakan mendapat 20 persen atau sekitar 24 trilyun rupiah. Dana itu harus digunakan untuk seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta dengan total mahasiswa sekitar 4 juta orang. Padahal, kata Sofian seperti ditulis Media Indonesia (3/4), anggaran mahasiswa standar nasional untuk Strata Satu adalah 18,1 juta rupiah per mahasiswa per tahun, atau sama dengan 72 trilyun pertahun. Dengan demikian, anggaran yang ditetapkan MK pun tidak mencapai standar nasional. Dan tidak bia diharapkan akan menurunkan biaya pendidikan tinggi. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, anggarannya jauh di atas Indonesia. Di Malaysia, anggaran untuk mahasiswa mencapai 114 juta rupiah per mahasiswa per tahun. Dan ini belum termasuk soal pengembangan sumber daya manusia yang juga membutuhkan biaya besar.

Jika Mau sebenarnya SBY-Kalla bisa menggratiskan pendidikan, selama ini Anggaran negara banyak di hambur-hamburkan untuk sektor yang bukan kebutuhan mendesak(darurat) Rakyat. Misalnya dalam APBN posting untuk membayar hutang luar negeri masih sangat besar, (contoh untuk tahun 2005) alokasi pembayaran hutang yang terdiri dari bunga hutang dalam negeri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga hutang luar negeri Rp. 25,14 trilyun dan cicilan pokok hutang luar negeri Rp. 46,84 trilyun, hal tersebut artinya pembayaran utang luar negeri telah menggerogoti 25,10% dari total belanja negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, serta menguras pendapatan negara sebesar 29,33%. Bayangkan untuk total anggaran yang direncakan pemerintah dari tahun 2006-hingga 2009 yang hanya sebesar 210 trilyun. Selama ini perangkat Hutang telah di jadikan jerat/debt Trap bagi negara-negara selatan(baca;negara miskin) Karena itu sangatlah tepat thesis yang mengatakan bahwa utang merupakan instrumen utama yang digunakan imperialis untuk mempertahankan akses bahan baku murah di negara lain, terutama negara-negara berkembang. Untuk menutupi hutangnya kepada negara-negara maju, negara-negara berkembang tersebut saling berlomba memacu ekspornya ke negara- negara maju. Akibatnya terjadi kejenuhan pasar, sehingga harga komoditas tersebut semakin tertekan yang berdampak pada penurunan pendapatan produsen (misalnya, petani) di negara berkembang. Sementara negara-negara maju yang terletak di belahan utara menikmati surplus dan produk harga murah dari negara berkembang.

Janji-janji bohong SBY-Kalla untuk menggratiskan pendidikan hanyalah sebahagian kecil bukti bagi kita untuk membuktikan bahwa pemerintahan ini tidak akan mau mencerdaskan kehidupan bangsa. Partai-partai borjuis yang kini berkuasa diparlemen dan tidak berjuang mencabut/menolak keberadaan UU/RUU yang berbau Komersialisasi/Privatisasi seperti UU sisdiknas No. 20 tahun 2003, PP nomor 61/tahun 1999, RUU BHP,RPP tentang Pendidikan Dasar dan Menengah. RPP ini tidak membicarakan tentang tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, dan RPP Wajib Belajar yang tidak konsisten dari pemerintah(mengharuskan wajib belajar tetapi tidak menciptakan syarat-syaratnya).

Perlawanan terhadap Usaha Komersialisasi Pendidikan

Perubahan status BHMN di berbagai kampus negeri mendapat penolakan mahasiswa, di UI mahasiswa yang menolak di kenakan DO/skorsing, di Universitas hasanuddin juga dilakukan D.O/Skorsing terhadap aktivis mahasiswa yang menolak BHP, bahkan pembekuan lembaga kemahasiswaan yang ber-posisi menolak kebijakan rektorat. Di USU ketua Presiden Mahasiswa USU di D.O karena berupaya membongkar kasus korupsi rector USU. Di Universitas Sam Ratulangi(Unsrat) Manado sosialisasi BHP di gagalkan oleh aksi spontan mahasiswa, karena Unsrat juga di prediksikan akan mengarah ke BHMN. Naiknya biaya pendidikan telah menimbulkan perlawanan dari massa mahasiswa, di UGM aksi mahasiswa mendapat dukungan dari tenaga pengajar(dosen), demikian pula di Unsrat Manado aksi mahasiswa mendapat sokongan penuh dari tenaga pengajar. Kejadian serupa juga pernah terjadi di kampus UPN (Surabaya), Unila(Lampung), Univ.Udayana(Bali) dan beberapa kampus lainnya di Indonesia.

Catatan untuk perlawanan mahasiswa dan (sedikit) tenaga pengajar(dosen) ini adalah bahwa(1) perlawanan ini masih relatif kecil, belum melibatkan massa luas mahasiswa padahal persoalan biaya pendidikan adalah kepentingan mayoritas mahasiswa.(2) perlawanan ini masih ber-sifat lokalis dan spontan, tidak ada jaringan antar kampus yang mengkoordinasikan perlawanan mahasiswa. Padahal kebijakan ini akan merambah keseluruh Universitas di seluruh Indonesia, sehingga butuh perlawanan dalam skala nasional pula yang di organisasikan oleh sebuah komite nasional. (3) pemahaman aktivis mahasiswa masih cupet, terkadang persoalan –persoalan di kampus dianggap terpisah dengan akibat proyek neoliberal di sektor rakyat lainnya. Sehingga menurut pandangan cupet ini, agenda menolak BHP/BHMN cukup menjadi agenda mahasiswa saja.

Agenda perempuan II

Perempuan-Perempuan di Seputar Marx dan Engels

SEJARAH seringkali merupakan sejarah ’laki-laki’ (his-story). Jarang sekali peranan perempuan yang dekat dengan tokoh-tokoh tersebut, baik istri, kekasih (gelap maupun terang), serta saudara perempuan, juga mendapat perhatian dari para peneliti. Begitu pula dalam sejarah Marxisme, di mana orang kurang mendengar (atau membaca) tentang peranan isteri Marx, kekasih Engels, atau anak-anak perempuan Marx. Makanya, dalam handout ini, saya berusaha mengumpulkan semua data tentang tokoh-tokoh perempuan yang selama ini sering tersembunyi dalam bayang-bayang Marx dan Engels. Tujuannya untuk melihat pengaruh tokoh-tokoh perempuan itu, dalam perkembangan pemikiran dan gerakan Marxisme. Setidak-tidaknya, tulisan ini bermaksud mengurangi bias gender dalam mendalami sejarah Marxisme dini.

Perempuan-perempuan di seputar Marx & Engels:

Karl Marx (5 Mei 1818 - 14 Maret 1883):

19 Juni 1843: Karl Marx menikah dengan Jenny von Westphalen, kekasih sejak masa muda Marx, anak dari Baron Ludwig von Westphalen, seorang bangsawan yang berjiwa liberal. Mereka mendapatkan tujuh orang anak, di mana empat orang di antaranya meninggal karena kondisi kemiskinan Marx di London, sewaktu menulis karya akbarnya, Das Kapital (Gurley 1975: 57; Mandel 1990: 27; Aditjondro 2006; Wikipedia 2008a).

Dua di antara keempat anak Karl & Jenny Marx yang meninggal, Franziska dan Edgar (lihat Aditjondro 2006), tidak banyak informasi yang didapat, kecuali bahwa “Franziska” adalah juga nama ibu Friedrich Engels, dan “Edgar” adalah nama teman sekolah yang kemudian menjadi abang ipar Karl Marx (Wikipedia 2008ª, 2008d).

Anak tertua: Jenny Caroline, yang lahir pada tanggal 1 Mei 1844, mengikuti jejak ayahnya menjadi penulis. Dengan nama samaran J. Williams, tahun 1870, ia menulis di koran Perancis, Marseillaise¸ tentang perlakuan yang tidak manusiawi terhadap narapidana asal Irlandia. Dua tahun kemudian, ia menikah dengan seorang aktivis sosialis asal Perancis, Charles Longuet, dan memperoleh enam orang anak. Ia meninggal dalam usia 38 tahun, pada tanggal 11 Januari 1883, dua bulan sebelum kematian ayahnya (Wikipedia 2008a, 2008b).

Anak kedua, Laura, puteri kesayangan Marx. Lahir di Brussels tanggal 26 September 1845. Tanggal 2 April 1867, ia menikah dengan Paul Lafargue (1842-1911), seorang sosialis Perancis, kawan baik Engels dalam gerakan Marxis Perancis dan internasional, termasuk aktif dalam Komune Perancis tahun 1871. Laura yang mewarisi bakat bahasa dari ayahnya, telah menerjemahkan sebagian karya Marx ke dalam bahasa Perancis, dan karya suaminya ke dalam bahasa Inggris. Sejak pernikahan Laura dengan Paul Lafargue, pasangan ini aktif berkorespondensi dengan Engels yang terdokumentasi hingga tahun 1886, dan diterbitkan tahun 1959 oleh Foreign Languages Publishin House di Moscow. Paul Lafarge telah menerjemahkan tiga bab dari karya Engels, Anti-Duehring, ke dalam bahasa Perancis, menjadi Socialism: Utopian and Scientific, yang diterbitkan dengan kata pengantar Paul Lafarge tahun 1880 dalam bahasa Perancis dan dalam bahasa Inggris tahun 1892. Paul yang terbuka terhadap pemikiran aliran sosialis lain, yakni kaum utopis, juga sudah membaca hasil penelitian antropolog AS, Lewis Henry Morgan, sebelum Engels merujuknya dalam bukunya tentang asal-usul keluarga (The Origin of the Family, Private Property and the State, 1884), yang membeberkan kelebihan komunisme purba konfederasi Iroquois di perbatasan AS-Kanada. Karya Lafargue yang sejajar dengan pemikiran Engels dalam buku The Origin berjudul, The Evolution of Property from Savagery to Civilization (1890). Karya-karya menantu Marx ini adalah Idealism and Materialism in the Interpretation of History (1895) dan The Problem of Cognition (1910). Setelah kejatuhan Komune Paris, keduanya mengungsi ke Spanyol dan Inggris, sebelum kembali ke Perancis tahun 1882. Ketiga anak mereka meninggal selama masa pengungsian itu. Tragisnya, Laura dan Paul bunuh diri bersama pada tanggal 26 November 1911 di Paris dengan suntikanhydrocyanic acid, bukan karena putus asa, tapi karena ingin menghindar dari kesusahan di hari tua (Wilczynski 1984: 301; Carver 1983: 132, 163-4; Geoghegan 1987: 60; Magnis-Suseno 2001: 245-6; Wikipedia 2008e).

Anak keenam (bungsu): Eleanor (”Tussy”), lahir di London tanggal 16 Januari 1855. Sepeninggal kedua orang tuanya, ia terjun aktif dalam gerakan Marxis internasional, dan sering menjadi rujukan dalam karya-karya biografis Marx (misalnya dalam McLellan 1970: 49, 51). Sewaktu ayahnya masih hidup, Tussy bersama ibunya membantu ayahnya dengan menulis kembali tulisan Marx yang seperti cakar ayam, agar terbaca oleh penerbit. Setelah ibunya jatuh sakit, Tussy praktis menjadi sekretaris pribadi ayahnya, dengan menangani korespondensi, buku-buku, dan naskah-naskah Marx. Sebelum kematian Marx, sang ayah menugaskan Tussy mempersiapkan penerbitan volume pertama Das Kapital, dengan bantuan Friedrich Engels (Spartacus 2008; Wikipedia 2008c).

Waktu baru berumur 17 tahun, ia jatuh cinta dengan Prosper-Olivier Hippolyte Lissagaray, seorang aktivis Komune Paris, yang dua tahun lebih tua dari pada Eleanor. Itu sebabnya, walaupun segaris politik dengan Marx, ayah Tussy tidak merestui hubungannya dengan Lissagaray. Untuk merebut kemerdekaan pribadinya, Tussy meninggalkan rumah keluarga mereka di London, dan pindah ke kota peristirahatan Brighton, bekerja sebagai guru sekolah. Setelah setahun, dia bergabung dengan Lissagaray, membantunya menulis buku The History of the Commune of 1871. Marx, yang begitu senang dengan buku itu, sehingga menerjemahkannya ke bahasa Inggris, tetap tidak merestui hubungan putrid bungsunya dengan Lissagaray. Baru pada tahun 1880, Marx akhirnya mengizinkan Tussy menikah dengan Lissagaray, namun si bungsu sudah meragukan hubungannya dengan laki-laki ini dan di bulan Januari 1882 memutuskan hubungannya dengan Lissagaray (idem).

Tahun 1884, Eleanor mulai hidup bersama Edward Aveling (1851-98), seorang sosialis Inggris yang sudah menikah. Mereka berdua menjadi anggota Social Democrats’ Federation (SDF), di mana Eleanor terpilih menjadi anggota Badan Pengurus. Di bulan Desember 1884, menolak cara-cara otoriter ketua SDF, H.M. Hyndman, lalu bersama William Moris mendirikan Socialists League. Selanjutnya, Eleanor Marx secara terbuka mengkampanyekan Revolutionary International Socialism dan membantu mengorganisasi kongres International Socialist Congress di Paris di tahun 1885. Ia juga melakukan kunjungan ceramah yang sukses bersama Aveling. Kekasihnya itu telah terkenal karena menerjemahkan karya akbar Marx, Das Kapital bersama Samuel Moore di tahun 1887 (Wilczynski 1984: 29; Hook 1983: 114; Wikipedia 2008c; Spartacus 2008).

Sementara itu, Eleanor Marx sendiri telah terkenal, selain sebagai orator, juga karena menulis beberapa buku dan artikel, seperti The Chicago Anarchists (1877, bersama Edward Aveling); Marx’s Theory of Value (1883), The Irish Dynamics (1884), The Factory Hell (1885, bersama E. Aveling), The Women Question (1886, bersama E. Aveling), The Working Class Movements in America (1888, bersama E. Aveling), Shelley’s Socialism (1888), Speech on the First May Day (1890), The Working Class Movement in England (1896), dan Biographicl Notes on Karl Marx (1897), serta menyumbang artikel buat jurnal politik Justice, yang disunting oleh H.H. Champion (Spartacus 2008; Wikipedia 2008c).

Di bulan Januari 1989, waktu kekasihnya jatuh sakit parah, Eleanor merawatnya dengan penuh cinta, sampai Edward Aveling sembuh kembali. Namun tidak lama kemudian, Tussy menemukan bahwa kekasihnya telah menikah kembali secara diam-diam dengan seorang perempuan lain. Putri bungsu Marx ini begitu patah hati, sehingga pada tanggal 31 Maret 1898 ia mengakhiri nyawanya dengan bunuh diri pada umur 43 tahun (Wilczynski 1984: 29; Hook 1983: 114; Spartacus 2008).

Jenny Marx, isteri Karl Marx, meninggal dunia tanggal 2 Desember 1881, disusul dengan kematian Jenny Jr, anak sulungnya, tanggal 11 Januari 1883. Akibat kesehatannya yang terus merosot, dan karena sangat terpukul akibat kematian isteri dan anak perempuan kesayangannya, Karl Marx meninggal pada hari Rabu, 14 Maret 1883. Ia dikuburkan pada hari Sabtu, 17 Maret 1883 dalam liang lahat bersama isterinya di pemakaman Highgate di pinggir kota London (Gurley 1975: 57; Stepanova 2004: 114-5).

Selain anak-anak dari Jenny, Helene Demuth, pembantu rumah tangga dan pengasuh anak-anak yang dibawa dari Jerman, di tahun 1850-an lahir seorang anak laki-laki bernama Frederick (”Freddy”), hasil hubungan gelap dengan Karl Marx. Anak itu diaku dan dibesarkan oleh Engels, yang baru mengungkapkan rahasia identitas Freddy kepada Eleanor, menjelang kematian Engels pada tanggal 5 Agustus 1895. Sebelum Marx meninggal, Helene telah diangkat menjadi PRT Engels. Eleanor, sangat terkejut waktu diberitahu asal-usul Freddy, karena dia merasa sangat dekat dengan pemuda itu. Namun setelah mengetahui bahwa Freddy adalah saudara tirinya, Eleanor semakin akrab dengan pemuda, yang di kemudian hari menjadi aktivis serikat dagang Inggris (Berman 2002: 38; Hook 1983: 118-9; Wikipedia 2008a, 2008c, 2008d).

Marx bukannya tidak menyadari kemiskinan dan penderitaan isteri dan anak-anaknya, akibat konsentrasinya pada studinya selama belasan tahun untuk menghasilkan karya akbarnya, Das Kapital. Menurut Sidney Hook, seorang penulis yang sangat kritis terhadap Marx, kesadaran itu mempengaruhi sikap Marx dalam menyetujui atau menolak calon-calon menantunya. Seperti tulis Hook (1983: 118):

You know that I have sacrificed my whole fortune to the revolutionary struggle. I do not regret it. On the contrary. Had I my career to start again, I should do the same. But I would not marry. As far as lies in my power, I intend to save my daughter from the reefs on which her mother’s life has been wrecked.”

Ada juga penulis yang lebih keras lagi menyoroti bagaimana Marx sering mengabaikan kebutuhan hidup dan cinta keluarganya, sementara ia sendiri sibuk dengan organisasi, studi, dan penulisan karya-karya besarnya. Jerrold Seigel dalam bukunya, Marx’s Fate: The Shape of a Life, mengecam kehidupan domestik Marx sebagai berikut (Berman 2002: 42-3):

...... ketika Jenny dan anak-anak mereka kelaparan dan menderita selama 15 tahun (keadaan itu baru pulih di akhir tahun 1860-an), Marx malah melupakan dari tanggungjawabnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, dan bergulat dengan kesendirian untuk mencari kebenaran sejati, (”Ketika kamu, setan kecil yang menyedihkan, harus mengalami semua kenyataan pahit ini” – dia menulis ini untuk Jenny saat istrinya itu sedang melawan tuan tanah, pedagang grosir dan juru situ – ”aku juga harus hidup dalam siksaan dalam mencapai cita-cita.” Jadi, dia menyuruh istrinya menghadapi realitas seorang diri, sementara dia dengan bebas melayang, walaupun dia dalam kebahagiaan, dalam lingkaran dunia cita-cita.)

.... terutama di tahun-tahun terakhirnya, Marx mendorong dirinya dan orang di sekitarnya menjadi gila karena penolakannya menyelesaikan Capital. ”Aku harus menggunakan setiap detik waktuku untuk menyelesaikan bukuku, dengan mengorbankan kesehatanku, kebahagiaanku, dan keluarga.” Marx menulisnya di tahun 1867, hanya sesaat sebelum Capital Volume 1 terbit; tetapi dia akan terus berkorban seperti itu dalam 16 tahun ke depan, bahkan sampai dia menghembuskan napas terakhirnya. Engels, Jenny, anak perempuan mereka, dan semua teman Marx mendesaknya menghentikan pekerjaannya itu, menerima dengan lapang dada ketidaksempurnaan dan ketidaklengkapannya, serta mendesaknya meraih kesempatan dan bekerja di luar dunianya sendiri; tetapi dia telah menyerahkan hidupnya sendiri, terbenam lebih dalam ke arah dialektika, menolak menghentikannya sampai cita-citanya terwujud”.

Namun berbeda dengan gambaran Hook dan Siegel yang sangat negatif, catatan-catatan lepas Eleanor sangat positif tentang ayahnya, yang digambarkannya sangat sering bermain kuda-kudaan dengan anak-anaknya yang selamat dari kematian dini, sering memberinya buku di hari ulang tahunnya, selalu ramah terhadap anak-anak dan orang lain yang ingin belajar sesuatu darinya, sangat mencintai ibunya, Jenny von Westphalen, dan kedua orang tuanya sangat sedih dengan kematian dua orang kakak dan seorang adiknya (Mark-Aveling 2006).

Friedrich (Frederick) Engels (28 November 1820 - 5 Agustus 1895)

Selama 20 tahun, Engels hidup bersama Mary Burns, seorang buruh di pabrik tekstil milik ayah Engels di Manchester, Ermen & Engels. Buruh berdarah Irlandia ini yang memperkenalkan kondisi kelas pekerja di Inggris kepada Engels, dan mengajaknya ikut gerakan buruh Chartist dan para sosialis dini di Inggris. Mary Burns meninggal di bulan Januari 1863. Engels kemudian hidup bersama Lizzy Burns, adik Mary Burns, yang meninggal di bulan September 1878 (Tucker 1978: 1863; Hobsbawm 1979: 15; Dennehy 1996: 106; Wikipedia 2008d).

Belum banyak terungkap tentang hubungan antara Engels dengan kedua bersaudari Mary dan Lizzy Burns, dan keturunan mereka. Yang terungkap hanyalah bahwa Engels mengangkat anak ilegal Marx, Freddy Demuth (Wikipedia 2008d).

Konsep Cinta, Seks dan Keluarga dalam Pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels:

CINTA Marx yang begitu besar pada Jenny von Westphalen, dengan siapa ia bertunangan secara rahasia di tahun 1836, sudah diekspresikan dalam surat pemuda itu pada ayahnya, yang ditulisnya setahun kemudian (lihat Tucker 1978: 7-8; Easton & Guddat 1967: 40-50).

Cintalah, kata Marx, yang ”pertama mengajarkan manusia untuk percaya pada dunia di luar dirinya” (Berman 2002: 34).

Kekuatan utama síntesis Marx berada pada cinta seksual. Para penulis biografi mencatat bahwa Karl dan Jenny Marx mampu mempertahankan perkawinan selama 40 tahun dan hanya dipisahkan oleh kematian, walaupun melewati berbagai kekacauan, penderitaan, gairah, dan sekaligus kebahagiaan dalam perkawinan. Marx adalah salah satu dari pemikir besar dalam sejarah yang menjalani kehidupan perkawinan dan keluarga yang berbahagia (Berman 2002: 38).

Marx membuat banyak tulisan tentang cinta seksual di pertengahan tahun 1840-an, tidak lama setelah perkawinannya, ketika dia berusaha memenuhi cita-cita ayahnya untuk hidup dengan orang lain. Dia menolak Idealisme Jerman pada tahun 1845; dia menjelekkannya dengan mengatakan bahwa filsafat itu dan “studi aktualitas” mempunyai hubungan yang sama bagai masturbasi dan cinta seksual”. Kesan itulah yang didapat oleh seseorang yang mulai dewasa dalam pemenuhan kebutuhan seksual. Dia juga memberikan penilaian buruk terhadap pemikiran-pemikiran yang menolak kehidupan seksual seperti masturbasi, hidup menyendiri dan keasyikan dengan diri sendiri. Dia tumbuh dewasa dalam dua pertentangan itu, dia merasakan, dan tumbuh dalam pemikiran yang lebih sehat dan lebih dewasa dalam “studi aktualitas” seperti cinta seksual, melihat dunia luar dan berhubungan dengan orang lain (Berman 2002: 39).

Manuskrip-manuskrip Ekonomi & Filsafat yang ditulis Marx tahun 1844, menampilkan pendapat Marx tentang cinta dan seks, yang sering dirujuk oleh para peneliti dan penulis tentang Marx dan Marxisme, sebagai berikut:

Hubungan antarmanusia yang tidak terasing, diperlihatkan oleh Marx dengan indah pada hubungan cinta antara laki-laki dan perempuan. ”Hubungan langsung, alami, niscaya, manusia dengan manusia adalah hubungan antara laki-laki dengan perempuan. Dalam hubungan alami ini hubungan manusia dengan alam langsung menjadi hubungan dengan manusia, sebagaimana hubungan dengan manusia langsung adalah hubungan dengan alam ... Dalam hubungan ini juga terlihat sejauh mana kebutuhan manusia menjadi kebutuhan manusiawi, jadi sejauh mana orang lain menjadi kebutuhan, sejauh mana ia dalam eksitensi individual sekaligus makhluk sosial” [EPM, MEW EB 1, 534]. Maksud Marx: dalam cinta, laki-laki dan perempuan saling menjadi kebutuhan secara alami; secara alami dan spontan manusia yang satu terdorong dan gembira untuk memenuhi kebutuhan manusia yang lain, tanpa melirik pada keuntungan egoisnya sendiri. Apabila dua orang saling mencintai, mereka ingin saling membahagiakan. Kebahagiaan yang satu adalah kebahagiaan yang lain dan sebaliknya. Apabila mereka saling memberi hadiah, mereka tak pernah berpikir untuk menuntut pembayaran. Maka cinta sejati merupakan hubungan di mana individu bersifat individu sekaligus bersifat sosial” (Magnis-Suseno 2001: 99).

Atau, mengutip langsung dari Manuskrip-Manuskrip Ekonomi dan Filsafat Marx tahun 1844:

”In the approach to woman as the spoil and handmaid of communal lust is expressed the infinite degradation in which man exists for himself, for the secret of this approach has its unambiguous, decisive, plain and undisguised expression in the relation of man to woman and in the manner in which the direct and natural procreative relationship is conceived. The direct, natural, and necessary relation of person to person is the relation of man to woman. In this natural relationship of the sexes man’s relation to nature is immediately his relation to man, just as his relation to man in immediately his relation to nature – his own natural function. In this relationship, therefore, is sensuously manifested, reduced to an observable fact, the extent to which the human essence of man. From this relationship one can therefore judge man’s whole level of development. It follows from the character of this relationship how much man as a species being, as man, has come to be himself and to comprehend himself; then relation of man to woman is the most natural relation of human being to human being. It therefore reveals the extent to which man’s natural behavior has become human, or the extent to which the human essence in him has become a natural essence – the extent to which his human nature has come to be nature to him. In this relationship is revealed, too, the extent to which man’s need has become a human need; the extent to which, therefore, the other person as a person has become for him a need – the extent to which he in his individual existence is at the same time a social being”. (Marx 1961: 101).

”Assume man to be man and his relationship to the world to be a human one: then you can exchange love only for love, trust for trust, etc. If you want to enjoy art, you must be an artistically-cultivated person; if you want to exercise influence over other people, you must be a person with a stimulating and encouraging effect on other people. Every one of your relations to man and to nature must be a specific expression, corresponding to the object of your will, or your real individual life. If you love without evoking love in return – that is, if your loving as loving does not reproduce reciprocal love; if through a living expression of yourself as a loving person you do not make yourself a loved person, then your love is impotent – a misfortune.” (Marx 1961: 141)

Sementara itu, baik Engels maupun Marx sangat memperhatikan penderitaan perempuan, khususnya buruh perempuan, dalam perkembangan kapitalisme di Inggris. Engels lebih dulu melakukannya dalam The Condition of the Working Class in England: From Personal Observation and Authentic Sources, yang mula-mula terbit dalam bahasa Jerman tahun 1845. Sedangkan Marx dalam jilid pertama Das Kapital, yang terbit di tahun 1867. Walaupun jilid kedua dan ketiga dari studi yang begitu mendalam tentang kapitalisme itu disunting oleh Engels, bahan bakunya juga sudah dikumpulkan oleh Marx. Mengikuti jejak Engels dalam karya mendalam yang pertama tentang eksploitasi buruh dalam kapitalisme dini di Inggris, Das Kapital, terutama jilid pertama dan ketiga, sangat tajam membeberkan penderitaan buruh perempuan dan anak-anak dalam pabrik-pabrik di Inggris, mulai dari penyakit-penyakit lingkungan pekerjaan sampai dengan angka kematian perempuan dan anak-anak yang jauh lebih tinggi ketimbang buruh laki-laki (lihat Aditjondro 2006).

Selain itu, Marx dan Engels sempat berkolaborasi dalam ”membaca” kembali hasil penelitian antropologis Lewis Henry Morgan tentang masyarakat komunis purba bangsa-bangsa asli Amerika, sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa dengan sistem ekonomi kapitalisnya. Berdasarkan catatan etnologis Marx, yang mula-mula mendalami karya Morgan, Engels mengolahnya dan menerbitkan buku, The Origin of the Family, Private Property and the State di tahun 1884. Buku itu kemudian menjadi Injilnya gerakan feminis Marxis di AS, dengan merujuk kepada “penemuan” Engels bahwa masyarakat-masyarakat tribal di belahan benua Amerika Utara, belum dikuasai oleh patriarki sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa (lihat Tong n.d.: 150; Heywood 1992: 232).

Kesimpulan:

DARI seluruh uraian ini ternyata bahwa pemikiran Marx dan Engels untuk zaman mereka, sudah sangat maju peduli terhadap nasib buruh perempuan di awal Revolusi Industri di Inggris itu. Namun di awalnya, mereka tidak melihat hubungan antara penderitaan perempuan dalam sistem kapitalis, dengan patriarki yang merupakan ideologi dominan dalam hubungan di antara kedua jenis kelamin. Memang, dalam naskah-naskah ekonomi dan filsafatnya di tahun 1844, Marx mendambakan kesetaraan di antara kedua jenis kelamin, khususnya hubungan cinta seksual, sebagai relasi manusia yang paling ideal.

Tetapi dia, maupun sahabat karibnya, Engels, belum menyoroti relasi antara patriarki dan kapitalisme. Baru dalam dasawarsa terakhir hidupnya, setelah mempelajari karya Lewis Henry Morgan, Marx mulai melihat bahwa masyarakat komunis purba – di mana juga ada kesetaraan gender – seperti yang dia cita-citakan bersama Engels, sudah pernah ada. Sesudah kematian Marx, pengolahan pemikiran itu dituntaskan oleh Engels, yang bukunya, The Origin, menjadi acuan bagi aliran feminisme sosialis, khususnya feminis Marxis.

Apakah teori mereka sama dengan praxis mereka? Seperti juga kehidupan para pemikir besar yang lain, tentu saja tidak. Namun boleh dikata, praxis mereka dalam relasi mereka dengan significant others yang berkelamin perempuan, cukup mendekati teori mereka. Dengan perkecualian hubungan gelap Karl Marx dengan Helene Demuth, yang masih sangat terbatas referensinya, kehidupan perkawinan Karl Marx dan Jenny von Westphalen bisa bertahan, sampai maut memisahkan mereka. Begitu pula hidup bersama antara Friedrich Engels dengan Mary dan Lizzy Burns.

Bertahannya kehidupan perkawinan Karl dan Jenny Marx, tentu saja tidak bisa hanya didasarkan pada kesetiaan Marx, tapi juga pada kerelaan Jenny untuk ikut mendukung perjuangan suaminya, sebagai bukti dan bakti cinta dia pada Karl, kekasih sejak masa remajanya. Begitu pula kita perlu angkat topi buat kedua bersaudari Mary dan Lizzy Burns, yang ikut berperan dalam radikalisasi pemikiran dan perjuangan Engels, membela hak-hak buruh di Inggris, selama hidup bersama Engels selama dua dasawarsa.

cerita pendek

Anak-anak dan Beban Pasif


Seperti biasa dihari Jumat, setelah melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim yaitu Shalat Jumat di Masjid Al-Falah, anak-anak (begitu biasanya saya menyebut teman-teman saya) biasa mencari sandaran di luar altar masjid untuk sekedar ber-kongkow-an dalam rangka melepas lelah setelah letih melawan rasa kantuk pada saat khatib berkhutbah. Dan kebetulan saat itu memang khutbah terasa lama sekali. Memang Jamaah kampung kami sedikit maklum akan kebiasaan KH. Abdillah Isak yang jika sudah berkhutbah tidak pernah ingat waktu.

Jumat itu Yomi tidak biasanya absen dalam kongkow-Jumatan yang biasa digelar setelah memenuhi kewajiban jumatan. Dan sebagai gantinya saya yang hadir waktu itu. Karena memang saya hampir tidak pernah ikut riutal ini disebabkan saya biasa shalat ditempat saya bekerja. Dan kebetulan hari Jumat ini sedang libur.

“Yomi kemana, Bay” ivan memulai ritual ini dengan menanyakan keberadaan yomi yang memang tidak kedengaran beritanya. “Katanya sih pergi ke Tangerang, ke rumah kakaknya yang perempuan” jawab ubay sambil mulai menyundutkan rokoknya yang baru saja diantarkan oleh Ujang, tukang warung yang di samping Masjid Al-Falah.

Lalu tiba-tiba Om Kur, tetangga depan saya, datang dan mengagetkan saya yang sedang merebahkan badan yang sudah agak sedikit kelebihan beban ini. “Woi.. Anak-anak muda, Jumat ini gelar diskusi apa nih?” om Kur tiba-tiba bertanya dan sepertinya telah mengetahui pergelaran ritual yang biasa kami lakukan setelah jumatan. Memang om Kur, yang juga pegawai pajak dan kebetulan sedang libur karena tanggal merah yang telah digeser dari hari kamis ke hari jumat dengan seenaknya (entah apa alasannya atau pertanyaannya sebenarnya adalah pentingkah alasannya?) oleh pemerintah, pernah bergabung sekali, kira-kira 3 jumatan yang lalu.

“Eh, om Kur,” aku terkejut dan langsung merubah posisiku menjadi duduk bersandar di dinding masjid tepat disebelah ivan yang sudah lebih dulu bersandar, “ngga Om Kur, kebetulan dari tadi kita belum diskusi apa-apa, dan sebenarnya memang dah sepakat untuk tidak banyak omong jumat ini. Kita cuma lagi melihat anak-anak di tanah lapang itu yang sedang asyik menerbangkan layang-layangnya.”

“Bener, Om,” ivan melanjutkan dan nampak tak enak akan kehadiran om Kur namun tanpa ada diskusi atau pembicaraan, “kita Cuma lagi khidmat dan sedikit menikmati anak-anak itu yang sedang asyik bermain layang-layang. Dan nampaknya anak-anak itu malah seperti layang-layang itu sendiri.”

“Maksudnya seperti layang-layang itu apa Van?” tanya om Kur dengan sedikit penasaran dengan kata-kata yang digunakan ivan dalam menilai kejadian yang sama-sama kita saksikan. “Ane sepertinya tahu maksud perkataan ente van,” ubay langsung mencoba menafsirkan perkataan ivan tadi, “maksud ente anak-anak itu seperti layang-layang yang bebas terbang dan bermain seperti tiada beban. Seperti tidak terbebani atas setiap kebijakan pemerintah yang kadang agak ‘usil’, tidak terbebani atas kenaikan harga beras yang menjulang tinggi, dan juga tak terbebani atas carut-marut sistem pendidikan kita. betul, Kan?” ubay menjawab dengan penuh keyakinan. Dan memang saya kira cukup masuk akal apa yang diucapkan ubay dalam menafsirkan perkataan ivan tadi.

“Hehehe… iya betul juga, Bay. Sepertinya memang anak-anak itu tak pernah ingin sibuk memikirkan hal-hal yang ‘tidak bermanfaat’ bagi mereka. Lagian juga memang seharusnya anak-anak itu seperti itu kan? Mereka harus dipelihara oleh negara untuk kemajuan negara sendiri” om Kur langsung menyetujui pendapat ubay yang memang sangat benar juga menurut saya. Lalu saya menambahkan perkataan om Kur, “Bener tuh om Kur. Seharusnya anak-anak itu dijadikan sebagai investasi negara dengan cara diberi kebebasan dalam setiap melangkah sehingga nantinya, paling tidak, sedikit ikut serta dalam membentuk budaya negara itu sendiri.”

“Menarik, dan ada benarnya. Tapi menurut saya layang-layang itu tidak terbang dengan bebas. Ia dikuasai oleh seseorang dengan perangkat yang namanya benang.” Ivan coba bermain-main lagi dengan kata-katanya. “Jika kita bicara seharusnya atau apa yang biasa disebut dengan suatu yang ideal, apa yang Om Kur ucapkan tadi dan apa yang sudah ditambahkan oleh Aid(panggilan saya) adalah benar. Tapi, mbo ya kita dalam melihat suatu itu jangan yang ideal terus, sekali-kali lihat suatu dengan pandangan yang riil.”

"Maksudnya yang riil?” tanya om Kur kepada ivan sambil meletakkan gelas berisi kopi yang telah lama berada di genggamannya.

“Riil menurut saya bahwasanya anak-anak itu sepertinya memang tak terbebani oleh masalah yang ada. Namun sejatinya anak-anak itu telah dilibatkan oleh penguasa bahkan mungkin telah dipertaruhkan kehidupannya dengan setiap kebijakan-kebijakan yang diambil. Bahkan anak-anak itu sepertinya telah menjadi korban zaman rusak, yaitu zaman salah urus yang menyebabkan anak-anak itu utnuk mendapatkan pendidikan yang cukup tak pernah terwujud. Zaman revitalisasi feodalisme yang hanya melahirkan priyai-priyai kemaruk, kagetan, dan gumunan.” Ivan sengaja tidak lagi menyandarkan tubuhnya dan mulai duduk bersila.

“Kebebasan mereka, yang seperti tiada beban dalam menjalani hidupnya, hakikatnya adalah kebebasan semu yang mungkin dapat merusak, jika tidak sekarang, kehidupan masa depannya. Keterbebanan anak-anak itu bersifat pasif, ya karena memang mereka hanyalah anak-anak yang hanya seperti layang-layang itu, terbang menembus udara namun tetap ‘dibebani’ oleh pemain layang-layang itu dengan menggunakan benang yang ditarik-ulur. Sama seperti pemerintah kita menguasai anak-anak itu, yang salah satunya, dengan perangkat hukum UUD’45. Pasal berapa, Id?” ivan bertanya kepada saya mengenai pasal yang mengatur anak-anak, terutama anak-anak terlantar.

“Pasal 34, Bang” saya jawab dengan seyakin-yakinnya karena memang pasal ini yang sangat saya hapal pada UUD45, selain pasal 29 tentang kebeasan beragama.

“Ya, itu! Pasal 34 itu merupakan perangkat hukum untuk menjaga keutuhan anak-anak, terutama yang terlantar. Namun perangkat itu telah ditarik-ulur oleh pemerintah dengan kasar. Yah dengan kasar.”

“Jadi bagaimana kita menghilangkan keterbebanan-pasif anak-anak diseluruh negeri ini, supaya bisa membentuk kebudayaan seperti yang dikatakan Aid tadi, Van?” Om Kur dengan sedikit menggebu menanyakan solusi apa yang harus dilakukan.

“Hehm….., ivan sedikit tersenyum dan melanjutkan bicaranya. ”Mbo ya jangan muluk-muluk banget, Om, melepaskan keterbebanan-pasif seluruh anak di negeri ini,” seperti biasa ivan menjawab santai, “Mbo ya… anak sendiri dulu. Pendidikannya dijamin, makanannya yang halal, jangan terlalu dimanja, dan yang paling penting jangan lupa, yaitu kasih sayang supaya nanti besarnya selalu menebar kasih kepada sesama.”

“SETUJU…..!!!!” Saya dan ubay langsung bersama-sama mengucapkannya.

“Terus kita juga berharap dari orang-orang seperti Om Kur ini, yang punya kerjaan di tempat yang ‘basah’. Hehehehehe……, supaya memberi sedikit basah-basahnya sama anak-anakdi negeri ini.” saya langsung menyambungnya.

“Ah…, kalian bisa aja.” Om Kur merasa tersindir. Tapi kita semua tahu bahwa Om Kur adalah salah satu orang yang sangat dermawan di kampung ini. Walaupun kita semua tidak tahu status atas harta yang beliau infak-kan pada kebutuhan kampung ini. Maklum saja bahwa sudah menjadi rahasia umum bahwa tempat kerja Om Kur syarat dengan maal-syubhat. Tetapi mudah-mudahan Om Kur tidak seperti ‘itu’ melainkan seperti yang biasa kita lihat bahwa dia sering datang ke masjid ini sebagai salah satu jamaahnya. (walaupun sebenarnya tingkat keshalehan seseorang tidak dapat dilihat hanya dengan rajinnya seorang ke Masjid).


Catatan: kata-kata yang bertulis tebal di ambil dari novelnya Ahmad Tohari yang berjudul "Orang-orang Proyek"

Gosip Jalanan (SLANK)

Gosip Jalanan


Pernah kah lo denger mafia judi
Katanya banyak uang suap polisi
tentara jadi pengawal pribadi

Apa lo tau mafia narkoba
Keluar masuk jadi bandar di penjara
Terhukum mati tapi bisa ditunda

Siapa yang tau mafia selangkangan
Tempatnya lendir-lendir berceceran
Uang jutaan bisa dapat perawan
Kacau balau … Kacau balau negaraku ini …

Ada yang tau mafia peradilan
Tangan kanan hukum di kiri pidana
Dikasih uang habis perkara

Apa bener ada mafia pemilu
Entah gaptek apa manipulasi data
Ujungnya beli suara rakyat

Mau tau gak mafia di senayan
Kerjanya tukang buat peraturan
Bikin UUD ujung-ujungnya duit

Pernahkah gak denger teriakan Allahu Akbar
Pake peci tapi kelakuan barbar
Ngerusakin bar orang ditampar-tampar

Slank, Gosip Jalanan

Sosialisme Abad Ke 21

Memilah Kaum Reformis dari Kaum Revolusioner


Sejak berkobarnya revolusi di Amerika Latin yang dipimpin oleh rakyat Venezuela, ide sosialisme mulai bangkit lagi dari tidurnya. “Sosialisme Abad ke 21” begitu bunyinya. Sebuah frase yang dipopulerkan oleh Presiden Chavez sebagai sosialisme yang bebas dari distorsi Stalinisme. Bagi rakyat banyak, Sosialisme abad ke 21 merupakan simbol penolakan terhadap kapitalisme. Ia merupakan suatu hardikan kepada Francis Fukuyama yang mengklaim akhir sejarah dan kemenangan mutlak kapitalisme. Tetapi lebih dari itu, konsep Sosialisme Abad ke 21 sangatlah longgar. Apakah ini adalah sosialisme yang benar-benar baru? Para intelektual kiri dan kanan dan aktivis-aktivis berlomba-lomba menulis buku mengenai sosialisme ini; untuk menuangkan isi yang baru. Tetapi apakah sebenarnya isi baru dari Sosialisme Abad ke 21 ini?

Ada yang mengatakan bahwa Sosialisme Abad ke 21 ini adalah pembenaran untuk jalan parlementer menuju sosialisme; tentu saja ini berarti kita harus menutup mata kita terhadap aksi-aksi massa yang telah berulang kali menyelamatkan revolusi Bolivarian. Ada juga yang mengatakan bahwa Sosialisme Abad ke 21 ini adalah sosialisme ala Amerika Latin yang bernuansakan tradisi penduduk asli Amerika Latin, bahwa sosialisme ini tidak diimpor dari Eropa (baca Marx dan Engels) dan maka dari itu bebas dari kecongkakan orang putih.

Dari semua tafsiran akan apa sosialisme ini, yang paling keras diteriakkan oleh para intelektual adalah bahwa Sosialisme Abad Ke 21 merupakan sebuah sosialisme dimana semua kelas di dalam masyarakat dapat bekerja sama untuk mencapai kemakmuran bersama: buruh, tani, pedagang kecil, ….DAN para bos-bos besar! Yang dibutuhkan adalah sebuah sistem sosialisme yang berdampingan dengan sistem kapitalisme. Sedikit demi sedikit kapitalisme direformasi hingga kita mencapai tahapan sosialisme (kasarnya, mulai 90% kapitalisme, 10% sosialisme; lalu 80% kapitalisme 20% sosialisme, dan seterusnya hingga kita mencapai 100% sosialisme). Dibungkus dengan jargon-jargon baru dan radikal, para intelektual ini, yang diwakili oleh Heinz Dieterich[1], bersorak sorai: “Kita telah menemukan sebuah formulasi sosialisme yang baru. Ide-ide Marx dan Engels dari abad 19 sudah usang dan tidak cocok dengan abad sekarang, mari kita campakkan mereka dan bersama-sama menuju ke era yang baru: Sosialisme Abad ke 21!”.

Sosialisme Baru?

Tetapi, apakah formulasi mereka ini merupakan sesuatu yang baru? Bila kita teliti lebih seksama, ternyata ide sosialisme abad ke 21 tersebut hanyalah ide-ide tua yang sudah berulang kali dijawab dan dihancurkan oleh Marx dan Engels. Engels di dalam bukunya Anti-Duhring (1878) menghancurkan ide Herr Eugen Dühring yang mengklaim bahwa dia telah menemukan satu filosofi yang baru, satu sistem sosialisme yang baru. Kemudian, Rosa Luxemburg di dalam karya monumentalnya Reform or Revolution (1908) kembali harus menjawab Eduard Bernstein yang mengklaim bahwa abad ke 20 telah membuka jalan bagi sosialisme yang baru (baca Sosialisme Abad ke 20), yang dapat diraih dengan jalan reformasi semata.

100 tahun kemudian, dengan judul yang mirip, Alan Woods[2] menerbitkan buku (Reformism or Revolution: Marxism and Socialism of 21st Century, a reply to Heinz Dieterich[3]) untuk menjawab Heinz Dieterich yang mengklaim telah menemukan konsep sosialisme yang baru, sosialisme abad ke 21. Kutipan dari buku Alan:

“Mengenai ide sosialisme abad ke 21 yang ‘baru dan orisinil’ ini, saya hanya akan mengatakan ini: bahwa sampai hari ini, saya belum menemukan satu ide baru pun dari kumpulan tulisan-tulisan Dieterich dan kawan-kawannya. Yang saya temui adalah ide-ide tua dan antik yang telah diangkat dari tong sampah sejarah, yakni ide-ide yang tidak ilmiah dan utopis yang sudah dijawab oleh Marx, Engels, dan Lenin. Ini adalah ide-ide yang seharusnya ditinggalkan di zaman pra-sejarah gerakan buruh. Ide-ide sosialisme utopis ini dibersihkan dari debu-debunya dan disajikan sebagai Sosialisme Abad ke 21. Dan ada orang-orang naif yang menanggapinya dengan serius”

Heinz Dieterich tampil di arena internasional sebagai kawan Revolusi Bolivarian yang memberikan nasihat kepada aktivis-aktivis Venezuela yang jujur. Dan inilah mengapa Alan merasa perlu untuk menulis satu buku (yang sangat tebal, 400 halaman tebalnya) untuk menjawab satu per satu ‘nasehat-nasehat’ Heinz Dieterich dan mengeksposnya. Artikel ini terlalu pendek untuk bisa menguraikan satu-per-satu poin-poin Heinz Dieterich dan konternya dari Alan Woods. Akan tetapi secara garis besar, Heinz menentang nasionalisasi aset-aset kelas kapitalis dan menyerukan sosialisme utopis, yakni sistem kapitalisme yang eksis bersama-sama dengan sistem sosialisme, dimana perlahan-lahan sosialisme akan menggantikan kapitalisme.

Perjuangan Ideologi: Bagian penting dari perjuangan kelas

Banyak sekali aktivis kiri yang tidak pernah mendengar Heinz, apalagi membaca tulisan-tulisannya. Dan ini mengundang satu pertanyaan: Mengapa kita harus repot-repot menanggapi ide-ide Heinz? Saya rasa pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya. Ide-ide Heinz-lah yang harus dijawab, yakni ide-ide reformis yang kerap bersembunyi di dalam jargon-jargon sosialisme abad ke 21, ide-ide tua yang diberi bungkusan baru untuk membingungkan kaum muda dan pekerja.

Di dalam perjuangan kelas, pengorganisiran dan mobilisasi massa bukanlah satu-satunya lahan perjuangan yang harus digarap. Satu lagi arena perjuangan yang penting adalah perjuangan ideologi. Kelas kapitalis, dengan medianya, sekolahnya, intelektual-intelektual bayaran mereka, telah menciptakan suatu kabut ideologi yang sangat tebal untuk membingungkan kelas pekerja. Ideologi kapitalisme biasanya mudah dihancurkan bila rakyat pekerja sudah mulai bergerak. Tetapi ideologi yang paling berbahaya adalah reformisme yang berjubah sosialisme, layaknya serigala berbulu domba. Dengan lantangnya kaum reformis mengutuk kapitalisme dengan jargon-jargon sosialisme. Akan tetapi pada saat-saat yang menentukan, reformismelah yang kerap menyelamatkan kapitalisme dari kehancuran mutlaknya.

Buku Alan Woods yang terbaru ini bukan diterbitkan untuk dibaca oleh kaum intelektual dan disimpan di rak buku mereka. Justru sebaliknya, buku ini ditujukan kepada rakyat pekerja, terutama di Venezuela, sebagai senjata untuk melawan ide-ide reformisme. Semenjak penerbitannya (dalam bahasa Spanyol, lalu kemudian dalam bahasa Inggris), Alan Woods telah melakukan tur buku (http://www.marxist.com/alan-woods-speaking-tour-in-venezuela/) di 9 negara bagian Venezuela, dimana ribuan buruh, mahasiswa, kaum miskin kota, dan petani dengan antusias menghadiri tur buku tersebut. Yang patut disebut adalah pertemuannya dengan ribuan buruh minyak PDVSA di San Tome, Managos, Morical; 600 delegasi buruh pabrik mobil dari seluruh Venezuela; ratusan buruh Venalum (pabrik Aluminum negara); ratusan buruh dari SIDOR (pabrik besi baja yang baru saja dinasionalisasi); dan pemimpin-pemimpin nasional PSUV (Partai Persatuan Sosialis Venezuela). PDVSA (Perusahaan Minyak Negara Venezuela) lalu memutuskan untuk memesan 10 ribu kopi buku tersebut untuk dibagi-bagikan kepada pekerjanya.

Saking popularnya tur buku ini, Alan Woods diundang untuk hadir di acara TV nasional Venezuela (Venezolana de Televisión) untuk berbicara mengenai buku terbarunya. Esok harinya, Presiden Chavez yang mendengar mengenai Alan Woods dan tur bukunya dari acara televisi tersebut langsung mengundang Alan untuk bertemu. Sebulan kemudian, Chavez di dalam acara Alo Presidente (episode 315, 27 Juli) mengutip buku tersebut; dia mengatakan kalau dia sedang membaca buku ini dengan sangat teliti. Ini berita yang harus disambut dengan gembira, terutama kalau kita melihat belakangan ini Chavez yang dikelilingi oleh birokrat-birokrat reformis (Chavista kanan) mulai mengambil jalan reformisme. Kita hanya bisa berharap kalau Chavez bisa mengambil pelajaran revolusioner dari buku Alan.

Akan tetapi, pemeran utama dari Revolusi Bolivarian tetap adalah rakyat Venezuela: kaum buruh, petani, miskin kota, dan kaum muda. Untuk merekalah buku tersebut ditujukan, supaya rakyat pekerja Venezuela dapat memilah reformisme dari sosialisme. 10 tahun sudah revolusi ini berjalan, dan hanya keberanian rakyat pekerja Venezuela yang memberikan nafas panjang bagi proses revolusi ini. Di setiap tikungan, bukan hanya kaum oligarki Venezuela yang harus dihadapi oleh rakyat pekerja Venezuela, tetapi juga para ‘kawan’ revolusi yang menawarkan nasehat sosialisme abad ke 21 mereka.

Ide-ide sosialisme ilmiah sudahlah diformulasikan oleh Marx dan Engels, dan mereka masihlah relevan, apalagi dalam periode sekarang ini. Sejarah sudah membuktikan kebenaran ide-ide mereka. Kita tidak perlu ide yang baru (atau yang mengaku baru) bila yang lama masih benar adanya. Yah, tentu saja detil-detil ide Marxisme akan berbeda di situasi yang berbeda, tetapi ide umumnya masih sama: sosialisme hanya bisa dicapai dengan menghancurkan relasi produksi kapitalisme, yakni menyita hak milik alat produksi, dan menghancurkan negara kapitalis dan bangun negara buruh yang baru.

kenaikan BBM

Batalkan Kenaikan Harga BBM, Nasionalisasi Industri Pertambangan, Hapuskan Utang Luar Negeri, Tinggalkan Elit Politik Pro-Asing; Rejim SBY-JK (Golkar-Demokrat), dan PK harus Mengontrol dan Mengawasi Anggota PANSUS dari Korupsi dan Penyuapan!

Kenaikan BBM sudah berdampak luas. Berdasarkan perkiraan sementara dari ECONIT, kenaikan BBM akan mendorong inflasi tahun 2008 berada diatas 10%, angka kemiskinan otomatis naik menjadi sekitar 37,6 juta dan kredit bermasalah akan mencapai kisaran 5-6 persen. Fakta-fakta kemiskin yang begitu vulgar tak bisa ditutup-tutupi lagi oleh pemerintah. Sebelumnya, Tim Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Tim P2E-LIPI) memperkirakan warga miskin tahun ini akan bertambah menjadi 41,7 juta orang (21,92%). Menghadapi situasi tersebut, pemerintah masih memakai pendekatan lama yang terbukti gagal, yakni SOGOKAN. Pemerintah kemudian menggelontorkan anggaran untuk; Pertama, Program ketahanan pangan dan peningkatan penjualan beras bersubsidi di luar beras miskin dengan alokasi dana Rp 4,2 triliun. Kedua, pengembangan kredit usaha rakyat (KUR) dengan tambahan dana Rp 1 triliun. Ketiga, pemberian bantuan langsung tunai (BLT) untuk 7 bulan di 2008 ini dengan sasaran 19,1 juta rumah tangga sasaran (RTS). Dana untuk BLT ini sebesar Rp 14,1 triliun.

Kami mengatakan, bahwa program tersebut akan mengalami kegagalan. Alasannya, dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga BBM sudah berakumulasi dengan beban krisis sebelum-sebelumnya dan kerusakannya tidak akan sanggup ditutupi dengan anggaran yang hanya bernilai 19,4 trilyun rupiah. Sebaliknya, program ini hanya bersifat bom waktu yang memendam krisis sementara waktu dan kemudian berbuah “letupan sosial” dimasa yang akan datang. Ini tidak pernah disadari oleh rejim SBY-JK. Malahan, SBY dan Jusuf Kalla semakin merapat ke ketiak imperialis dengan menyepakati penguasaan sektor migas nasional kepada pihak asing dan memaksakan liberalisasi sektor migas nasional. Belum usai luka parah dampak kenaikan yang lalu, pemerintah (via Bappenas) kembali menyusun rencana menaikkan harga BBM tiap bulannya sebesar 2% untuk tahun depan.

Sejak 1965 hingga 2008, pemerintah telah menaikkan harga BBM sebanyak 37 kali. Pada 1965-2000 pemerintah menaikkan harga BBM 30 kali, dan pada 2000-2008 sebanyak tujuh kali. Dan dimasa rejim SBY-JK, BBM sudah dinaikkan tiga kali. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena sejak itu didalam tubuh rejim ada sebuah kekuatan politik yang menjadi agen/kaki-tangan pihak asing, yakni Partai Golkar dan ditambah Demokrat (sekarang ini). Kedua partai ini merupakan partai pendukung pemerintah, partai yang menyepakati kenaikan BBM, dan partai yang menentang hak angket. Kami tidak menutupi kenyataan bahwa partai-partai lain juga punya andil terhadap persoalan tersebut. Akan tetapi, golkar dan Demokratlah yang merupakan dua kekuatan politik yang bergandengan bersama rejim SBY-JK menjadi agen utama kepentingan Imperialis di Indonesia sekarang ini.

Terhadap Hak Angket di DPR, Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) dan Front Rakyat Menggugat (FRM) memiliki beberapa catatan; Pertama, Hak Angket bisa menjadi salah satu pintu masuk untuk membongkar persoalan-persoalan dominasi asing terhadap sektor migas kita. Penyelidikan tidak bisa hanya diarahkan kepada persoalan criminal seperti “oil trader/broker”, tetapi harus diarahkan kepada substansi persoalan, seperti; penguasaan 90% lapangan migas Indonesia oleh pihak asing, keuntungan yang begitu kecil dibanding yang dibawa pulang oleh korporasi asing, dan tidak ada alih tekhnologi; selama ini, pemerintah memanfaatkan “cost recovery” dan holiday domestic market obligation, dimana ada jangka waktu tertentu kontraktor diliburkan dari kewajibannya mensupply migas ke domestik dengan harga murah. Kedua, komitmen fraksi-fraksi pendukung hak angket hanya akan berakhir sebagai “manuver politik” belaka, jikalau tidak ada ketegasan soal kepemilikan dan penguasaan seluruh sumber daya dan kekayaan alam kita, seperti yang disebutkan dalam pasal 33 UUD 1945 (ayat 1,2, dan 3). Rakyat mau melihat ketegasan itu berupa keberanian DPR untuk mendukung program pengambil-alihan perusahaan tambang asing, atau memperbaharui kontrak KPS yang merugikan. DPR harus membatalkan dan mencabut UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas. Ketiga, Segera menyiapkan konsep soal pengelolaan sektor migas yang mandiri dan berdaulat, dengan mengutamakan kepentingan rakyat. Pemerintah harus mengupayakan pengelolaan migas nasional secara berdaulat dengan memfasilitasi berdirinya perusahaan negara yang tangguh dan demokratik, serta melakukan kerjasama dengan bangsa-bangsa lain atas dasar prinsip kesetaraan dan solidaritas.

Pansus soal Hak Angket telah dibentuk oleh DPR. Di depan mata, terlihat kerawanan terhadap kinerja pansus, mengingat reputasi DPR dalam proses penyodoran hak angket sebelumnya selalu berakhir ditengah jalan. Kita juga sangat sadar, kepercayaan rakyat terhadap lembaga DPR semakin menciut, seiring dengan semakin banyaknya anggota DPR yang terseret kasus korupsi, penyuapan, bahkan skandal seks. Hal ini merupakan tantangan terhadap Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bekerja jeli dan giat untuk mengawasi (secara lansung gerak-gerik tiap anggota PANSUS), guna mencegah kemungkinan politik suap dalam proses perjalanan Hak Angket. Keberhasilan KPK menerobos gedung parlemen dan menciduk beberapa anggota DPR yang terlibat korupsi patut diacungi jempol dan diberi dukungan. Akan tetapi, seruan “perang melawan Korupsi” yang digembor-gemborkan KPK tidak akan ada gunanya, jikalau tidak dapat menggunakan otoritasnya mengontrol proses perjalan hak angket hingga usai.

Hak angket merupakan kesempatan terakhir kepada DPR untuk memperbaiki citranya dihadapan rakyat, sekaligus kesempatan terbuka kepada KPK untuk membuktikan komitmennya memerangi korupsi dan penyuapan di Indonesia tanpa pandang bulu. Tekanan massa terhadap DPR dan pengawasan ketat dari KPK akan menjadi kunci pokok kinerja PANSUS bisa bekerja maksimum membongkar “policy” SBY-JK disektor energi yang keblinger dan pro-asing. Oleh karena itu, Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI)/ Front Rakyat Menggugat (FRM) menyatakan sikap sebagai berikut;
1. Menuntut KPK untuk segera menginventarisir nama dan data anggota PANSUS ANGKET BBM, untuk selanjutnya melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap aktifitas mereka, guna menjauhkan dari kemungkinan politik suap dan Korupsi;

2. Batalkan kenaikan harga BBM; Segera ambil langkah-langkah sebagai berikut;
a) Nasionalisasi Industri Pertambangan dan Penghapusan Utang Luar Negeri;
b) Membatalkan atau merombak kontrak pertambangan yang merugikan dengan memasukkan klausul soal kemaksimalan keuntungan, alih tekhnologi, peningkatan pajak (royalty), dan keharusan memasok kebutuhan domestic dengan harga murah;
c) Bangun Industri dalam negeri terutama; Industri migas negara, industri petrokimia, pengolahan hasil kekayaan alam, dll.
d) Bangun Posko Rakyat Miskin ditempat tinggal anda untuk mengawai penyaluran dana BLT, kredit usaha rakyat (KUR), dan Beras Miskin (Raskin);

3. Tinggalkan Elit politik pro asing; Pemerintahan SBY-JK dan partai-partai pendukung kenaikan harga BBM; partai-partai yang mengkhianati hak angket.
Demikian statemen ini saya buat untuk diperhatikan dan dilaksanakan.