Jumat, 13 Juni 2008

Tolak kapitalisasi pendidikan

Senjata Mandul, Kepala Besar

Sebuah kesimpulan menggelikan tertuliskan sebuah jurnal bersatu edisi Mei 2008, pada komentar kawan Ken, Ketua Serikat Maahasiswa Indonesia (SMI) yang mengatakan, dalam konteks isu digerakan mahasiswa (general) yaitu bagaimana mengkampanyekan kapitalisasi dunia pendidikan, hanya ada dua organisasi yang disebut paling konsisten (SMI dan FMN). Dalam menjelaskan soal situasi gerakan mahasiswa, kawan-Kawan kembali larut dalam penjelasan eksistensialisnya yang menyebut bahwa hanya FMN dan SMI –lah yang bersifat progressif. Kesimpulan diatas sungguh reduksionis dan memperlihatkan kecenderungan eksistensialis (sectarian) dengan membenarkan garis sendiri, meskipun belum teruji kebenarannya.

Kalau ukurannya adalah konsistensi menolak kapitalisasi pendidikan, ini terlampau luas baik jangkauan pembahasannya maupun konteks sejarahnya. Sejak politik etis dipraktekkan, kapitalisasi dunia pendidikan dengan sendirinya sudah berlansung. Meskipun tidak siginifikan dan kurang kedengaran, Tan Malaka dan banyak tokoh pergerakan dimasa itu (termasuk Ki Hajar Dewantara) sudah menentang konsep kapitalisasi pendidikan. Kalau yang dimaksud kapitalisasi pendidikan adalah neoliberalisme yang merasuki perguruan tinggi, maka titik awalnya adalah tahun 1999. Pada masa itu SMI ataupun FMN belum ada, masih berbentuk komite-komite aksi. Akan tetapi, perlawanan terhadap BHMN-isasi sudah marak dilakukan oleh mahasiswa. Di UI, beberapa aktifis di D.O karena menolak kebijakan BHMN. Di Makassar, mahasiswa UNHAS sudah membangun komite aksi lintas kampus bernama SMAPER (solidaritas mahasiswa anti pendidikan refresif). SMAPER dimotori oleh LMND dan beberapa komite mahasiswa dari Unhas. Di UGM, Unair, dan di ITB, perlawanan serupa sudah bergolak, berupa aksi pendudukan kantor rektorat dan mogok makan. Tidak terhitung jumlah anggota kami yang mengalami drop-out dan skorsing akibat perlawanan terhadap BHMN ini. kejadian ini pula berpengaruh meskipun tidak signifikan atas kemunduran basis. Bahwa saat ini, gelombang privatisasi kampus sudah meluas kemana-mana dan hampir semua kampus bertekuk lutut menerima sistem ini.

Kita mengakui bahwa kita telah gagal membendung badai neoliberalisme menerjang kampus. Pengesahan UU sisdiknas dan beberapa bentuk peraturan lainnya merupakan arus besar neoliberal mengangkangi system pendidikan nasional

RUU BHP dan Isu Sektoral

Reformasi perguruan tinggi menjadi neoliberal di eropa dan Negara-negara maju ditentang oleh gerakan mahasiswa dengan mobilisasi cukup massif. Mahasiswa yang pada awalnya menikmati subsidi dari pemerintah tiba-tiba diperhadapkan dengan system baru yang mengharuskan mereka mengeluar biaya lebih besar. Belum lagi kurikulum yang diutak-atik agar lebih sesuai dengan kebutuhan pasar. Disamping itu, pasang revolusioner gerakan mahasiswa tahun 1960-an telah membangkitkan kesadaran-kesadaran mahasiswa diberbagai kampus di eropa guna melawan system pendidikan kapitalis yang tidak humanis (lihat Penjelasan Ernest Mandel dalam gerakan mahasiswa revolusioner; antara teori dan praktek, ataupun Guy Debord- tokoh situasionis internasional yang menulis tentang kemiskinan mahasiswa).

Beda halnya dengan Indonesia. Paska masa subur aktivitas revolusioner gerakan mahasiswa tahun 1960-an, perubahan kehidupan kampus memasuki sebuah era- depolitisasi dan deorganisasi selama berpuluh-puluh tahun. Selama masa itu, gerakan mahasiswa radikal benar-benar kering dikampus. Nanti setelah kemunculan aktifis radikal tahun 1980-an, kehidupan progressif kembali tumbuh di berbagai kampus di Indonesia. Puncaknya adalah gerakan mahasiswa tahun 1998 yang berhasil menumbangkan rejim orde baru. Cerita sukses tahun 1998, telah mengilhami generasi mahasiswa sesudahnya sehingga mereka terlampau banyak bermimpi “peristiwa serupa seperti 1998” bakal bisa terulang. Mereka benar-benar mabok heroisme, sehingga mereka missed dengan pengetahun yang akurat mengenai gerakan mahasiswa 1998 sendiri.

Sejak dimulai 1999, dengan dikeluarkannya PP No.60 dan 61 Tahun 1999 tentang BHMN, gelombang swastanisasi mulai merambah kampus. Pilot projeknya adalah UI, ITB, IPB, dan UGM. Perlawanan mahasiswa bergejolak ketika itu. Namun situasi ini datang berhimpitan dengan situasi kemunduran total gerakan mahasiswa paska dikalahkan dalam pertempuran melawan sisa-sisa orba (Golkar dan Tentara). Karena itu energi gerakan yang melawan tidak sanggup menahan BHMN ini. Bersamaaan dengan periode ini, secara perlahan-lahan terjadi perubahan komposisi asal klas dari mahasiswa yang menikmati pendidikan diuniversitas. Kampus negeri yang seharusnya menampung mahasiswa miskin dan berbakat, ketika menaikkan biaya pendidikan (seiring dengan BHMN) mulai susah diakses mahasiswa dari keluarga miskin dan menengah. Dibukanya jalur non-formal (tanpa tes) dengan jalan jual beli bangku semakin memperbesar dan mempercepat perubahan komposisi dari mahasiswa. Mahasiswa miskin makin susah ditemukan, sedangkan mahasiswa kaya dan keadaan ekonomi yang stabil semakin mendominasi kampus negeri dan swasta.

Pada tahun 1999 (awal pemberlakuan BHMN) di perkirakan kenaikan biaya kuliah dari 300 hingga 400%. Di Universitas Indonesia uang pangkal—Admission Fee (untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp.5 Juta hingga Rp 25 juta, sedangkan untuk program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) Rp. 25 Juta-Rp75 Juta. Untuk kampus sekelas Institut Tekhnology Bandung(ITB) di kenakan Biaya Sumbangan dana Pengembangan Akademik —bisa mencapai 45 Juta. Itu belum termasuk biaya SPP dan kebutuhan lainnya. Universitas Gajah Mada(UGM) memberlakukan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik(SPMA) yang besarnya bisa mencapai Rp.20 Juta untuk jalur SPMB dan Non-SPMB. Dengan biaya pendidikan yang sebesar itu mustahil bisa diakses oleh mayoritas rakyat Indonesia yang oleh Bank Dunia dikatakan 49,5%nya berpendapatan dibawah 2USD perhari. Itu berarti ada 110 juta rakyat Indonesia yang hanya berpendapatan sekitar 500 ribu -600 ribu per-bulan. Sanggupkah mereka mengakses bangku Universitas? Diakui, jalur khusus 300 kursi di ITB dengan biaya masuk minimal Rp 45 juta itu banyak diisi anak-anak orang kaya.

Menurut data yang akurat; Pada tahun 2004 peserta seleksi penerimaan mahasiswa baru turun 4 %(336.707 Peserta), dibandingkan dengan tahun 2003 sebanyak 350.306 peserta. Tahun 2005 mengalami penurunan lebih parah sebesar 7,5 % atau sekita 311.000-an (sumber Suara Pelopor, edisi I tanggal 21 Mei Tahun 2006, LMND). Dalam tahun 2003, mayoritas jumlah mahasiswa baru terbanyak(77%) adalah mereka yang orang tuanya berpendapatan sekitar 1,5- juta perbulan, sedangkan 20% nya adalah mahasiswa yang orang tunya berpendapatan lebih dari 2 juta keatas. Biaya masuk perguruan tinggi negeri bisa mencapai angka di atas Rp 100 juta, sementara setiap semester dapat mencapai Rp 70 juta. Tingginya biaya tersebut semakin memperkecil akses masuk ke pendidikan tinggi (Kompas, 12,05.08).

Berbarengan dengan meroketnya biaya pendidikan, kampus-kampus dibawah pengaruh neoliberal kini ditata-ulang, baik secara kurikulum maupun structural. Semangat utama dari yang berbau neoliberal adalah anti serikat (unionisme), dan anti terhadap aktivitas berbau politik.

Disinilah letak perdebatan kenapa focus pengorganisiran dan metode pembangunan gerakan mahasiswa harus ditinjau ulang dan menyusun taktik-taktik baru dalam membangun gerakan mahasiswa. Kami di LMND mengakui bahwa mahasiswa berkepentingan menentang RUU BHP, mengkampanyekan secara luas penentangan terhadap neoliberalisme, dan menyerukan pembentuk front persatuan. Kami pun menyadari bahwa semakin jauh mahasiswa radikal meninggalkan kampus, maka gerakan dikampus akan direbut oleh gerakan mahasiswa kanan dan konservatif. Akan tetapi, perlu mempertimbangkan kembali tekanan isu yang difokuskan (sekali lagi difokuskan) kepada penentangan RUU BHP , isus social ekonomi dan demokratisasi kampus. Dengan perubahan komposisi seperti yang kami jelas diatas, ketepatan program dan taktik ini untuk menarik simpati dan dukungan mahasiswa luas begitu kecil. Mahasiswa yang berasal dari klas menengah keatas merasa tidak begitu berkepentingan dengan isu itu. Isu-isu perbaikan fasilitas kampus bagi merekapun tidak terlampau menarik. kalau fasilitas kampus jelek, mereka masih memiliki duit untuk bisa ke mall, diskotik, starbuck, atau tempat-tempat hiburan lainnya yang lebih menyenangkan buat selera klas mereka.

Pembesaran organisasi kanan seperti KAMMI ataupun Gema Pembebasan bukan karena program dan taktik itu juga (RUU BHP dan isu social ekonomi, red). Tetapi, pembesaran mereka lebih banyak disebabkan oleh kenyataan bahwa ideology yang mereka jual tidak terlalu mendapatkan refresi sehingga dengan leluasa mereka memanfaatkan dan mendominasi ruang-ruang dikampus (UKM,himpunan, BEM, LDK, dll). Harus pula diakui militansi dan kedisiplinan kader-kader KAMMI dan Gema Pembebasan yang melebihi kapasitas kader organ cipayung.

Kalaupun mau mendorong kampus terpolitisasi (karena kampus bukan area netral dari kehidupan politik), maka program dan taktiknya pun tidak kaku dan saklak harus fokus pada RUU BHP dan isu sosial-ekonomi massa mahasiswa. Kami sepakat bahwa gerakan mahasiswa harus “back to campus”. Akan tetapi, yang ditarik kekampus hanyalah “panggung” dan “aktivitasnya”, sedangkan arena pertempurannya tetap harus dikutub politik. Kemungkinan politisasi kehidupan kampus seperti yang dikerjakan oleh Persatuan Mahasiswa Jakarta (PMJ) dalam gerakan penentangan kenaikan harga BBM memang cukup besar jika panggung dan aktivitasnya ditarik dikampus. Akan tetapi, hambatan dalam mengelolah gerakan dikampus dimasa sekarang mungkin akan lebih sulit dibandingkan dimasa sebelumnya.

Pendidikan Gratis, Ilmiah dan Demokratis, dan Kebutuhan Respon Politik

Neoliberalisme disektor pendidikan tidak terlepas dari persoalan umum yang mendera rakyat Indonesia. Tidak adanya kemandirian ekonomi dan politik, menyebabkan imperialisme begitu leluasa memaksakan agenda-agenda mereka disegala sektor. Sektor pendidikan saat ini bukan lagi sekedar lembaga penyedia “robot” untuk pabrik kapitalis, bukan pula sekedar sebagai instrument memasok ideology klas borjuis, akan tetapi system pendidikan telah menjadi komoditi yang akan diserahkan pada mekanisme pasar. Semakin dalam prose situ, maka semakin banyak yang akan terbuang dari lembaga pendidikan dan sebaliknya lembaga pendidikan hanya akan dinikmati oleh orang-orang kaya.

Sehingga program tuntutan mendesak sektor mahasiswa sekarang adalah menuntut pendidikan gratis dan berkualitas agar bisa diakses oleh seluruh rakyat dan dapat memajukan tenaga-tenaga produktif dalam negeri. Logika pendidikan gratis merupakan penjungkirbalikkan terhada logika berfikir neoliberal yang menjadikan pendidikan sebagai komoditi mahal. Selain itu, dalam isu pendidikan gratis sebenarnya kita telah meletakkan dasar-dasar untuk menarik lautan jutaan rakyat Indonesia yang terpinggirkan oleh system pendidikan.

Sekarang problemnya adalah bagaimana agar system pendidikan gratis dan berkualitas bisa terwujud, bukan sekedar slogan-slogan. Kami menyadari betul, pendidikan gratis akan susah terwujud jikalau kekayaan alam kita yang melimpah (terutama pertambangan) masih dikuasai oleh fihak asing. Tidak akan ada pendidikan gratis jikalau pemerintahan yang ada termasuk kaki-tangannya (elit-politik pro asing) masih tetap berkuasa dan membiarkan sumber-sumber ekonomi kita dihisap oleh imperialisme. Maka LMND kemudian menganggap bahwa gerakan mahasiswa seharusnya berada digarda depan perjuangan anti-imperialisme, perjuangan untuk menegakkan kedaulatan nasional atas sumber-sumber ekonomo dan SDM demi kemakmuran rakyat. Sehingga LMND menyerukan program nasionalisasi Industri pertambangan asing sebagai program anti imperialis sekaligus jawaban kami atas persoalan pembiayaan pendidikan gratis. Di kalangan gerakan mahasiswa, LMND bisa disebut organisasi mahasiswa pertama yang mengusung isu nasionalisasi industri pertambangan dan berkali-kali melakukan aksi didepan kantor ExxonMobil, symbol korporasi minyak asing.

Akan tetapi, perjuangan anti imperialis tidak akan sukses kalau tidak berdasarkan politik persatuan. LMND terlibat dalam inisiatif mendirikan partai guna mengintervensi proses elektoral ditahun 2009. Ada kawan yang menuduh kami oportunis-revisionis modern dan lain-lain. Kami katakan bahwa pandangan semacam ini adalah bentuk oportunisme kiri yang tidak memahami perkembangan situasi politik dan sifat/karakter kesadaran massa. Kami menganggap aksi ekstra-parlementer saja tidak cukup, metode ini harus dikombinasikan dengan jalan parlementer. Intervensi momentum elektoral bagi kita, akan semakin memperluas lapangan perjuangan dan propaganda anti-imperialisme. Pelajaran kemenangan calon pengusung pendidikan gratis dalam momentum elektoral di daerah bisa menjadi investasi untuk menarik sentiment rakyat ini pada panggung nasional. Keterlibatan LMND dalam pemilu 2009 nanti akan semakin meneguhkan makna perjuangan politik mahasiswa.

Kesimpulan

Perbedaan taktik adalah sah dalam gerakan. Ukuran paling sehat untuk mengukur kebenarannya adalah praktek bukan kesimpulan subjektif. Problem subjektif utama gerakan mahasiswa yang makin mengalami fragmentasi (sektarianisme) dan diosorientasi (ketiadaan orientasi politik yang lebih strategis). Kami setuju bahwa solusi untuk persoalan ini adalah persatuan. Akan tetapi kecenderungan gerakan untuk eksklusif dan mengunci diri merupakan hambatan-hambatan dalam mengusahakan persatuan. Sehingga tawaran paling praktis untuk mengatasi persoalan ini agar tidak makin melebar adalah melakukan kerjasama pada hal-hal yang memungkinkan bersama, dan menjalankan garis sendiri –sendiri kalau memang susah untuk diketemukan.

Tidak ada komentar: