Senin, 30 Juni 2008

demokrasi

Membedah demokrasi

Sebuah pernyataan menggelikan kembali terlontarkan dari istana. Berkali-kali dalam setiap jumpa pers, presiden SBY melontarkan mantra-mantra demokrasi untuk membobokkan rakyat. Pernyataan ini semakin diperjelas oleh juru bicara presiden Andi Mallarangen, ketika mengomentari berbagai bentuk aksi massa yang mengarah pada konfrontasi-konfrontasi dengan apparatus keamanan. Mallarangen menyederhanakan demokrasi sekedar metode menyampaikan pendapat secara damai dan tidak ada kaitannya dengan proses kekuasaan. Ini adalah pernyataan reduksionis dan cukup manipulatif. Demokrasi menurut istana adalah stabilisasi kehidupan politik dan kanalisasi aspirasi atau protes-protes rakyat. Kalau sudah demikian, bagaimana tanggung jawab demokrasi atas korban dari kebijakan? Bukankah demokrasi juga bermakna mengankat semua orang agar memiliki posisi secara sama rata dalam tata-hubungan (relasi produksi).

Demokrasi yang telah disederhanakan (reduksi) oleh orang-orang istana sebagai hanya persoalan metode penyampaian pendapat, secara tidak sadar dilakoni oleh kaum kiri dalam setiap tahunnya, bahkan dimasa-masa mendatang. Kita menyebut ini adalah proyek kanalisasi, dimana aksi-aksi massa dirangkum sebagai “arus kecil namun mudah dijinakkan”. Andi menyebut proses ini sebagai “bunga-bunga demokrasi”. Tidak. mereka telah melupakan bahwa demokrasi identik dengan persoalan kekuasaan, bukan persoalan metode penyampaian pendapat.

Bunga –bunga demokrasi

Bunga adalah hiasan keindahan. Dimana-mana, apapun warna dan baunya, bunga selalu ditempatkan sebagai bahan pajangan untuk dinikmati dan memberikan ketenangan pada perasaan. Jika aksi massa ---yang menurut Andi Mallarangen terjadi setidaknya 3 kali sehari—dianggap sebagai bunga-bunga demokrasi, maka apaguna warna-warna merah dan symbol-simbol revolusioner yang bertaburan diperangkat-perangkat aksi massa kalau kita hanya sekedar pajangan. Tidak, kita sedang melakoni sebuah perjuangan klas. Sebuah perjuangan yang usianya sama dengan sejarah perkembangan masyarakat. Kita berdiri digaris depan dari lautan massa rakyat yang masih tertidur untuk membangunkannya, menuntunnya, dan berjalan dengan mereka menuju sebuah tatanan masyarakat baru. Marx mengatakan bahwa setiap perjuangan klas mestilah merupakan perjuangan politik, dan politik adalah perjuangan untuk berkuasa. Harus diingatkan lagi kepada kawan-kawan semua bahwa perjuangan kita bukanlah untuk menjadi “bunga-bunga demokrasi-nya” Mallarangen, kita berjuang bukan untuk jadi pajangan. Akan tetapi, perjuangan yang sedang dikerjakan adalah perjuangan untuk perebutan kekuasan politik.

Kenapa perjuangan kita sampai dijadikan pajangan? Untuk ini, cukup dengan sebuah analogi sederhana. Sesuatu yang dijadikan pajangan adalah sesuatu yang tidak membahayakan penikmatnya (penontonnya). Kalaupun ia merupakan sesuatu yang berbahaya, sesuatu itu harus dijinakkan atau dibuat kurungan agar tidak berbahaya. Cakupan objek yang dirangkum dalam peristilahan ini adalah keseluruhan aksi-aksi damai didepan istana negara dan aksi-aksi serupa dikantor-kantor pemerintahan lainnya, dimanapun. Ketidakberdayaan kaum oposisi dalam memberikan tekanan politik terhadap tembok-tembok memisahkan antara negara dan rakyat, membuat penguasa yang berlindung dibalik tembok itu merasa aman. Ketika mereka mulai terancam dan terusik oleh gemuruh orang dibalik tembok, maka pada saat itulah penguasa keluar dari balik tembok dan melancarkan kekerasan atau perang. Selama mereka belum terusik, mereka akan melakukan pendekatan yang cukup moderat dan jinak.

Demokrasi bagi istana adalah demokrasi yang tidak mengancam kesinambungan kekuasaan dari rejim yang berkuasa. Demokrasi mereka seperti tanaman bonsai yang bisa dibentuk sesuai keinginannya, kerdil, dan menarik buat mereka. Demokrasi liberal atau demokrasi borjuis berdiri seolah-olah membela kepentingan semua klas, termasuk membela kepentingan dua klas yang antagonistic tanpa merugikan salah satunya. Ini tentu merupakan pernyataan menggelikan. Tidak mungkin ada demokrasi kalau masih ada pengekangan. Demokrasi yang netral atau sering dikatakan demokrasi murni (seperti ungkapan Karl Kautsky) adalah hal yang mustahil dalam keberadaan masyarakat berklas. Dimanapun dibelahan dunia ini, demokrasi liberal selalu tampil membelah kepentingan klas borjuis. Meskipun mereka berdalih bahwa kompetisi sehat akan menjadi ukuran kemurnian demokrasi, akan tetapi kompetisi sehatpun patut dipertanyakan dalam masyarakat yang tersusun dalam klas-klas. Kenyatannya, demokrasi liberal telah menjadi selaput kekuasaan kaum borjuis untuk menghadang partisipasi kaum miskin.

Jika demokrasi hanya sekedar kebebasan menyampaikan pendapat. Maka orang-orang istana termasuk intelektual-intelektual pendukung tipe demokrasi ini telah melakukan kesalahan besar ketika mengukur demokrasi sekadar ide (gagasan) dan cara (instrument). Penyampaian pendapat adalah cara/instrument demokrasi yang disahkan oleh kaum liberal sebagai alternatif jika mekanisme parlementer tersumbat. Mereka mengakui aksi-aksi massa, demonstrasi-demonstrasi, pawai-pawai, dan pertemuan-pertemuan akbar sebagai sarana alternative demokrasi borjuis. Pengakuan ini bukan karakteristik alami demokrasi liberal, tetapi ini adalah tuntutan dari gerakan progressif dan gerakan klas pekerja.

Mengharapkan demokrasi liberal ataupun demokrasi versi “elit istana” bisa menyelesaikan problem sosial, ekonomi, budaya, sosial dan hukum adalah tidak mungkin. Demokrasi ini kendati terlahir dari semangat revolusi perancis, tetapi mengambil semangat dan kepentingan klas borjuis. Tidak salah, demokrasi liberal merupakan demokrasi pembela kekuasaan kaum borjuis.

Demokrasi baru, Demokrasi Kerakyatan

Pada abad ke 19, demokrasi tidak dapat disamakan dengan liberalisme. Liberalisme lebih dikenal sebagai sistem elitis dari mesin konstitusional dan pembagian kekuasaan, jaminan hak sipil tapi bukan kedaulatan rakyat sebagai implikasi demokrasi (Diana Raby, 2007). Bersamaan dengan gelora demokrasi borjuis, kaum pekerja di Paris membangun komune sebagai bentuk politik dari negara pekerja pertama. Kendati berumur singkat, komune paris merupakan bentuk demokrasi lansung yang pertama. Pada tahun 1930-an, stalinisme menguasai semua pencitraan tentang komunisme dan sosialisme. Stalinisme yang menekankan pada pembelaan pada birokratisme telah menenggelamkan model demokrasi alternatif yakni dewan pekerja (soviet). Tahun 1936, Stalin mengumumkan konstitusi baru yang secara formal melikuidasi kekuatan soviet, menggantikan demokrasi soviet dengan demokrasi parlementer borjuis yang penuh tipu daya yang di dalam konstitusi tersebut penduduk diperbolehkan memilih satu-satunya partai yang secara rutin "memenangkan" 99 persen suara pemilih. Dengan demikian kita lihat bahwa meskipun masih disebut "Uni Soviet", negeri itu, di bawah pemerintahan birokratik Stalinis, sama sekali berbeda dengan rezim demokrasi soviet yang terbentuk sebagai hasil Revolusi Oktober, di bawah pimpinan Lenin dan Trotsky. Keruntuhan eropa timur merupakan lonceng kematian sekaligus kemenangan bagi mereka yang menyebut dirinya demokrat-liberal.

Kemenangan sementara demokrasi liberal dimanfaatkan dengan begitu baik oleh intelektual-intelektual pendukungnya di barat dan kakitangannya di belahan dunia yang miskin. Mereka segera menyebarkan ideology dan wacananya (discourse) ke berbagai belahan dunia, termasuk eks komunis, dan memproklamasikan bahwa inilah jalan satu-satunya, tidak ada yang lain. Jargon-jargon seperti “good governance”, “Civil Society”, dan “Promosi demokratisasi” membanjiri wacana dan kajian di lembaga-lembaga universitas, penelitian, LSM, bahkan lembaga pemerintahan. Begitu pula dengan Indonesia, paska kejatuhan rejim orde baru, selain penyesuaian structural dalam front ekonomi, juga terjadi penyesuaian structural dalam lapangan politik, seperti perombakan sistem politik, pemilu, lembaga parlemen, desentralisasi, dan lain-lain. Begitu dibanjiri dengan propaganda liberal, sehingga pemerintah dan kaki-tangannya gagap dalam menyesuaikan diri dalam waktu yang agak singkat.

Menghadapi situasi ini, tidak ada pilihan, rakyat Indonesia harus bergerak menemukan tipe demokrasi yang baru. Tipe demokrasi yang sesuai dengan corak masyarakat Indonesia dan sanggup memenuhi kepentingan-kepentingan mendesak dan strategis rakyat Indonesia. demokrasi baru ini akan mengembalikan kekuasaan sejati ketangan rakyat. Sehingga demokrasi baru ini menekankan pada partisipasi rakyat dalam kehidupan politik dan kontrol kolektif terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik.

Kami menyebut demokrasi yang baru sebagai demokrasi kerakyatan. Demokrasi ini mensyaratkan keberpihakan kepada kekuatan masyarakat baru (klas pekerja, petani, dan klas-klas terpinggirkan) dan membuka pintu bagi kekuasaan rakyat. Keberpihakan yang jelas dan tegas merupakan demarkasi nyata antara konsistensi demokrasi kerakyatan dengan prasangka menggelikan demokrasi borjuis yang seolah tampil sebagai pendamai. Kita menyakini segala instrument politik yang lahir dalam masyarakat berkelas sudah pasti akan mengabdi kepada kepentingan klas berkuasa. Sehingga keberadaan demokrasi baru memiliki fungsi menghancurkan dan membangun, yakni menghancurkan sistem demokrasi lama dan membangun masyarakat baru yang lebih baik.

Kaitannya dengan aksi-aksi massa yang dicap sebagai “bunga-bunga demokrasi” oleh pengusung demokrasi liberal, maka demokrasi rakyat akan menyandarkan kekuatannya justru pada aksi-aksi rakyat, mobilisasi-mobilisasi umum, dan berbagai bentuk perjuangan klas. Kalau demokrasi liberal membunuh partisipasi politik dan hak-hak umum klas pekerja dan kaum terpinggirkan, maka demokrasi kerakyatan akan memberi mereka kekuatan, kepercayaan diri, dan kesadaran baru tentang masa depan yang lebih baik.

Krisis akut sedang menerjang sistem kapitalisme. Terjangan krisis bukan hanya pada aspek ekonomi semata, tetapi juga pada lapangan sistem politik dan budaya. Proyek demokrasi AS di Irak dan Afghanistan ditentang dengan perlawanan bersenjata oleh kelompok perlawanan. Dimana-mana, AS mencoba mendanai proyek-proyek demokrasi guna mempertahankan kesinambungan pengaruhnya di berbagai kawasan. Akan tetapi, usaha ini sedikit mengalami kegagalan karena metode-metode demokrasi procedural mulai dijungkir-balikkan oleh gerakan massa yang menjatuhkan pemerintahan. Di Argentina, gerakan rakyat dan kaum terpinggirkan berhasil menjatuhkan presiden lewat cara-cara aksi massa. Di Filipina, baru saja terjadi “people power” yang menjatuhkan presiden Estrada yang dipilih oleh mekanisme demokrasi borjuis. Pendalaman dan perluasan aksi-aksi massa yang berbarengan dengan kelahiran metode-metode demokrasi lansung telah menjadi embrio—meskipun masih kecil—dari sebuah tatanan masyarakat baru, yang lebih progressif, lebih manusia, dan lebih adil.

Tidak ada komentar: