Senin, 30 Juni 2008

kematian maftuh fauzi

Dalih Yang Menyebabkan Kematian Maftuh Fauzi

“Ada kemiripan perilaku berbohong oleh pihak berwenang; dokter yang menangani dan aparat kepolisian dalam kasus kematian Maftuh Fauzi (mahasiswa Universitas Nasional) dan Irfan Maulana (Joki 3 in 1) sebagai perilaku pembohongan publik yang terus menerus digunakan.”


Semula berawal dari kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat, menaikkan harga Bahan Bakar Minyak sebesar 28,7%. Akibatnya beban hidup rakyat bertambah, jumlah arga miskin meningkat.

Keprihatinan dan empati terus mengalir.Buruh tani, mahasiswa dan rakyat miskin bergerak bersama-sama menolak rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak. Sebab,kelompok masyarakat inilah yang memang menderita akibat kebijakan pemerintah yang melayani kepentingan neoliberalisme.

Gerakan itu bukan sekadar basa-basi atau rasa marah sesaat. Mereka bahkan menawarkan solusi; nasionalisasi perusahaan-perusahaan tambang asing, berani-menolak hutang luar negeri, menyita harta koruptor-koruptor. Bahkan celoteh Kwik Kian Gie, kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak omong kosong. Menurutnya pemerintah tak harus memilih menaikkan harga Bahan Bakar Minyak.

“Jujur, kalau pemerintah memang memihak rakyat,Indonesia sebagai penghasil minyak bumi bisa menghindari harga krisis minyak dunia yang disebabkan oleh krisis ekonomi global, perang, dan krisis politik dalam negeri Amerika,” kata Kwik Kian Gie.

Bagi Maftuh Fauzi dan ratusan mahasiswa Universitas Nasional atau Unas yang menolak rencana kenaikan Bahan Bakar Minyak adalah sebuah perjuangan senyatanya. Bukan teori atau sekadar retorika belaka tapi aksi yang ditunjukkan melalui solidarita aksi massa. Mereka orang-orang yang membuat pilihan dengan sadar, berada di posisi bersama rakyat miskin, menolak kebijakan yang menyengsarakan dan menyesatkan itu.

Insiden Universitas Nasional

Pemerintah tak menggubris keinginan rakyat untuk tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak. Pada 23 Mei 2008 kenaikan harga Bahan Bakar Minyak itu diresmikan. Unjuk rasa penolakan semakin meluas di banyak kota di Indonesia.

Di Unas, unjuk rasa memanas. Sekelompok polisi menyerbu kampus itu sekitar pukul 4 pagi 24 Juni 2008, pada saat mahasiswa sudah berhenti aksi dan kembali ke kampus. Terjadi bentrok fisik antara Mahasiswa Unas dan anggota Pengendali Massa atau Dalmas dari Polres Jakarta Selatan. Bentrok pun berakhir dengan drama penyerbuan oleh pihak polisi, ditangkapnya 114 mahasiswa. Ditemukannya ‘seonggok daun ganja’ dan Granat.

Korban berjatuhan. Menurut para wartawan yang meliput sekitar pukul 06.30 pagi itu, polisi berlaku diskriminatif dengan melarang sebagian wartawan untuk ikut meliput penyerbuan dan penangkapan ke dalam kampus. Sehari sesudahnya berita pun tersiar.

Publik dipaksa menerima kejadian tersebut sebagai ‘Insiden Unas’. Tidak hanya penangkapan dan penahanan. Kerugian materi pun turut ditanggung pihak warga kampus Unas. Kaca-kaca berserakan, beberapa mobil dan motor hancur bahkan ruang koperasi ikut menjadi sasaran penyerbuan, hancur berantakan mirip kondisi paska perang.


Sudah terjadi pelanggaran hak asasi manusia di sana; penangkapan dan penahan tanpa prosedur yang berlaku, pemukulan, penganiayaan, perlakuan kasar dan intimidasi kepada para mahasiswa Unas yang ditangkap.

Lantas, ratusan mahasiswa Unas digelandang ke kantor polisi karena dianggap telah melakukan kejahatan dan perbuatan meresahkan masyarakat ketika menolak kenaikan Bahan Bakar Minyak yang dinilai anarkis.Beberapa hari kemudian para mahasiswa yang ditahan itu dicap sebagai pengguna narkotika dan obat terlarang. Ada upaya pembuktian dari hasil tes urin. 55 mahasiswa dituduh sebagai pengguna narkoba, meski bentuk pemeriksaan tersebut dinilai tidak independen dan terkesan dipaksakan.

Meskipun penahanan para mahasiswa ini bukan lantaran terjerat razia narkotik, namun dengan dalih penemuan ‘seonggok daun ganja’polisi merasa berhak memeriksa urin para mahasiswa tanpa menunggu proses penyelidikan darimana barang bukti—ganja itu berasal. Mereka tidak menghormati hak-hak tersangka untuk mendapatkan perlakuan adil, seperti adanya bukti permulaan yang cukup; yang terkandung dalam laporan polisi, berkas acara pemeriksaan, tempat kejadian perkara, laporan hasil penyelidikan, keterangan saksi ahli dan barang bukti). Memperlihatkan surat penangkapan pun tidak dilakukan, padahal itu prosedur terpenting. Polisi merasa berhak menggunakan wewenangnya didasari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Kepolisian.

Ketidakadilan itu juga dialami oleh para Mahasiswa yang terluka. Ada yang robek kepala, patah, lebam dan trauma. Mereka dibiarkan begitu saja seperti disengaja untuk tidak diberikan pelayanan kesehatan selama dua hari. Meski pada akhirnya diberikan pertolongan ala kadarnya. Itu pun bukan bagian dari sikap profesionalisme dalam menjunjng tinggi dan menghormati hak-hak asasi manusia, tapi lebih didasarkan atas ketakutan semata, karena kondisi korban makin parah. Terjadi infeksipada luka robek dan menganga, ada juga yang muntah-muntah. Maftuh Fauzi termasuk salah satu korban terluka yang mengalami pembiaran itu.

Tim Pencari fakta

Insiden Unas kemudian mendapatkan perhatian dari berbagai pihak dan media, termasuk para anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras dan tentu saja gerakan-gerakan mahasiswa dan rakyat lainnya.

Desakan untuk mencari kebenaran pun melahirkan Tim Pencari Fakta yang diketuai oleh Yoseph Adi Prasetyo koordinator Tim Pencari Fakta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dalam temuannya terungkap; adanya penggunaan granat dan proyektil peluru karet sebanyak delapan belas butir. Dan itu tidak diakui sebagai proyektil yang biasa digunakan oleh Dalmas. Dalam hal ini polisi tidak menggunakan Prosedur Tetap yang diterbitkan pada 5 Desember 2006, oleh Kapolri Jenderal Polisi Sutanto. Pasal 14 menyatakan Dalmas tidak boleh arogan dan terpancing oleh perilaku massa. Dalmas juga tidak perlu bertindak keras yang tidak sesuai dengan prosedur. Tindakan keras jika dalam kondisi yang proporsional –apakah hijau, kuning, atau merah.

Kepala Bagian Operasi Polres Jakarta Selatan, AKBP Elbin Darwin mengakui bahwa dalam menangani kasus unjuk rasa Unas dimengerti sebagai bukan kondisi kekacauan. Sepengetahuan Kapolersta Jakarta Selatan Kombes Chairul Anwar, Prosedur Tetap tidak digunakan sebagai acuan. Diperjelas bahwa tak perlu ada alih komando Dalmas Lanjut kepada Brimob (PHH).

Berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta di lapangan telah terjadi pemukulan oleh para Dalmas dan polisi yang berseragam preman yang memang tidak diatur dalam Prosedur Tetap.(sumber: Hukum Oline.Com) Temuan ini juga diperkuat oleh hasil pemeriksaan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bahwa penyerbuan itu memang melanggar prosedur tetap, ujar Pandu Praja. Secara prosedur yang bisa melakukan penindakan aksi massa adalah Brigade Mobil (brimob). Contoh lain pelanggaran Prosedur Tetap adalah pada kasus penembakan petani Alas Tlogo oleh Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Laut.

Dalih ‘Penyebab Kematian’

Seorang mahasiswa Akademi Bahasa Asing angkatan 2003, ia termasuk 31 mahasiswa yang dibebaskan paling akhir. Menurut rekan satu sel, Maftuh Fauzi sering mengeluh karena menderita luka di kepala. Selama dua hari sejak ditahan Maftuh Fauzi tidak mendapatkan pengobatan. Luka di kepala semakin terasa. Bahkan karena terpaksa, Ia mengikat paksa kedua lengannya agar tak memukul-mukul kepala karena sakit yang maha hebat itu.

Berikut adalah kronologi meninggalnya Maftuh Fauzi (sumber: Solidaritas Mahasiswa Unas)


Pada 2 Juni 2008, Maftuh dibebaskan pukul 08.00 dan dirawat inap tanggal 10 sampai 17 Juni 2008 di Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia di Cawang. Sebelum dibebaskan, ia sempat mengeluh sakit kepala hebat selama beberapa hari ditahanan Mapolres Jaksel. Kepala bagian belakang sobek dan beberapa bagian tubuh memar akibat pukulan benda tumpul.

Pada 17-20 Juni 2008 Maftuh dipindahkan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta karena kurang mendapat perawatan yang memadai. Kepindahan itu atas desakan beberapa mahasiswa Unas kepada pihak rektorat sebagai bentuk pertanggungjawaban. Jumat, 20 Juni 2008 ia mengembuskan napas terakhir pukul 11.20.

Persoalannya, keterangan para dokter Rumah Sakit Pusat Pertamina menyebutkan, kematian Maftuh Fauzi akibat terinfeksi HIV secara menyeluruh, sistemik, tidak berfungsinya organ tubuh. Menurut para dokter, mereka tidak menemukan luka atau kelainan pada bagian kepala Maftuh Fauzi.

Berbeda dengan pernyataan dokter Rumah Sakit Fakultas Kedokteran UKI Cawang, Miftah Fauzi dinyatakan menderita trauma terbuka di kepalanya. (lihat rekam medis, sumber: www.mediabersama.com) Bahkan dalam blog ondosupriyanto(www.ondosupriyanto.blogspot.com) melaporkan dari Desa Adikarto di Kabumen, Sabtu, 26 Juni 2008 pukul 01.30 saat jenazah Maftuh Fauzi dimakamkan.

Ondo menyatakan, dalam keterangan kepada wartawan, ketua tim forensik Rumah Sakit Umum Margono Purwokerto, dokter M Zaenuri Samsul Hidayat didampingi Kepala bidang Humas Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Kombes Pol Drs Syahroni an Kapolres Kebumen AKBP Triwarno Atmojo mengatakan, hasil sementara dari emeriksaan luar dan dalam, telah ditemukan luka memar akibat bersentuhan dengan benda tumpul di kepala bagian belakang. Namun luka tersebut telah mengalami kesembuhan.

Tim forensik belum bisa mengambil kesimpulan penyebab kematian Maftuh Fauzi. Untuk mengetahui penyebabnya, tim forensik mengambil sampel otak, hati,darah, untuk dikirim ke laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Diponogoro Semarang. “Hasilnya baru akan diketahui seminggu mendatang,” katanya.

Cukup jelas, dengan membandingkan keterangan dari beberapa pihak Rumah Sakit dan dokter yang berbeda, Miftah Fauzi, memang menderita luka di bagian kepala. Meskipun keterangan ini dianggap tidak pernah ada oleh pihak dokter Rumah Sakit Pusat Pertamina. Wajar saja jika mahasiswa Unas menolak keterangan dari Rumah Sakit itu.

Bentuk kebohongan publik yang dilakukan oleh dokter (kaum profesional) bukan baru kali ini terjadi. Pada kasus penganiayaan hingga meninggalnya Irfan Maulana, seorang anak berusia 14 tahun yang bekerja sebagai joki 3in1 di Jakarta. Bocah itu disiksa oleh sembilan orang Polisi Pamong Praja, 8 Januari 2007. Dokter yang memeriksa menyatakan Irfan Maulana ditemukan tak bernyawa di tengah jalan karena menderita epilepsi.

Meskipun keterangan saksi yang seorang kawan Irfan bertentangan, tapi kebohongan itu terlanjur dipercaya, lantaran argumentasi para dokter lebih dipercaya daripada keterangan saksi bocah ingusan yang selalu dipinggirkan. (Baca disini:www.rakyatmiskin.wordpress.com)

Sejak Soeharto dan Orde Baru berkuasa, sejak itu pula tatanan masyarakat dibangun dengan pondasi tulang belulang dan darah rakyat yang dihilangkan. Dusta menjadi hal yang teramat sering digunakan di semua aspek kehidupan. Kebohongan muncul dari para intelektual, kaum profesional dan tentu saja aparat. Kehidupan masyarakat tak ubahnya hidup dalam gelembung kebohongan yang diciptakan sejak awal pada tahun 1965.

Keterangan dokter di Rumah Sakit Pusat Pertamina soal penyebab kematian Maftuh sungguh memungkinkan berupa kebohongan belaka, karena kekuasaan memang berada di belakangnya. Fakta telah membuktikan dalam kasus Irfan Maulana. Seorang dokter mampu berbohong dan membuat kebohongan umum.[end]

Tidak ada komentar: