Senin, 19 Mei 2008

KAUM MUDA OPORTUNIS
MUSUH BESAR REVOLUSI

Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis.
(Soe Hok Gie)

Lebih baik menderita kekalahan bersama massa daripada bersikap netral.
(Bolshevik)

Oleh ; Fahruddin Fitriya*

Revolusi bukan sebuah adegan pesta makan malam. Kalimat itu suka sekali diucapkan Mao. Saat digelar revolusi China, Mao bergerak lincah seperti seekor kijang. Gempuran yang keras dari kaum nasionalis tidak lantas membuatnya tumbang. Mao punya energi spartan seperti Che Guevara yang berparas tampan dan tegas. Keduanya memiliki kesanggupan untuk bertahan, menahan kekalahan sekaligus menyerang dengan cepat. Sama dengan Imam Khomeini yang petuah dan sikap hidupnya terus mendendangkan lagu perlawanan. Hal yang juga dialami oleh Lenin, yang diduga karena terlalu banyak menggunakan otak sampai pada kematiannya. Orang-orang itu, sepertinya diciptakan dalam “cetakan” yang khusus.

Disebut khusus karena mereka melakukan sesuatu yang sekarang mungkin dianggap tidak masuk akal. Khomeini menjatuhkan kekuasaan syah Reza yang jadi boneka mainan Amerika. Che menumbangkan Batista dengan serangan gerilya yang cekatan dan militan. Sedangkan Lenin menumbangkan kekuasaan Tsar yang tiran dan penindas. Mereka melakukannya, dengan motif dan cita-cita raksasa. Mendirikan negara komunis hingga menetapkan sistem politik Islam. Di tangan Lenin tulisan Marx berbuah gerakan. Di tangan Khomeini ajaran dalam Qur’an menjadi revolusioener. Hingga saat ini mereka adalah? inspirasi banyak kaum pergerakan.

Tapi tak selamanya membaca tulisan Marx jadi radikal. Sama halnya tak semua pembaca Qur’an akan menjelma jadi sosok Khomeini. Tulisan maupun seruan Lenin belum tentu membuat orang lantas jadi bernyali. Malahan tak sedikit mereka ketakutan, cemas, dan kuatir. Suatu ketika pada saya, seorang anak muda menelpon dan mengatakan kalau kaos Lenin itu bahaya. Usianya memang masih belia tapi ucapannya mirip lansia (lanjut usia). Anak muda seperti ini ternyata jumlahnya cukup banyak di negeri ini. Mahkluk jenis ini adalah generasi yang terlalu banyak makan dan kebanyakan nonton acara hantu di televisi. Hingga tempurung kepalanya penuh nasi dan darahnya lebih banyak mengalir? rasa takut!

Dulu mereka mungkin pemberani. Suatu ketika mereka mungkin aktivis yang giat di jalanan bahkan pernah kena sentuhan sel penjara. Bentrok dengan polisi dan tentara bisa jadi menu sehari-hari. Tapi nyali itu bisa di makan usia. Keberanian kerapkali kurang bertahan lama di badan. Semangat perlawanan dan anti kemapanan nyatanya mengenal kata istirahat. Uang dan jabatan pastilah mampu membuat mereka bersimpuh. Nyali berganti dengan watak pengecut. Suara kritis berbelok ke arah kompromi. Dan sikap anti kemapanan berbalik jadi pribadi borjuis yang haus popularitas dan posisi. Sehingga ketika menjadi pengecut, mereka sibuk membela diri.

Di sekitar kita, memang ada banyak kaum muda yang tidak betah lapar. Sebagian dari mereka juga agak nyiyir terhadap mimpi revolusi. Bahkan ada pula yang sinis hanya karena rekan-rekan muda yang lain memakai kaos perlawanan. Mereka kerapkali menyebut diri dengan sosok yang realistis. Pribadi yang seolah-olah tidak memiliki motif raksasa. Sejenis ego yang tak mampu melihat apapun yang berbau mimpi dan imajinasi kecuali dengan semangat merendahkan. Di mata kepala mereka, hidup itu tak perlu mimpi dan omong besar. Tak jarang, spesies yang tak sukar ditemui ini berkumpul dengan sesamanya lantas ramai-ramai saling mengucapkan, meneriakkan, bahkan mengecam anak-anak muda-yang mungkin dianggapnya-seperti seorang bayi.

Yang menakjubkan, mereka bukanlah kawanan penganggur. Ada yang duduk dalam posisi kekuasaan. Opini mereka tentu bermotif melunakkan udara perlawanan. Ada yang duduk sebagai pengusaha. Motifnya yang mungkin adalah mengeruk laba. Tetapi yang mengejutkan, ada anak muda yang duduk sebagai aktivis yang punya pandangan seperti itu. Mereka yang menolak perubahan melalui revolusi dan lebih menyukai metode yang lunak serta jelas-jelas didukung lembaga donor. Mereka semua adalah pengkhianat revolusi yang jauh lebih berbahaya ketimbang barisan serdadu. Dengan kantong yang tebal serta pengalaman travelling kemana-mana, mereka adalah tanaman yang dibonsai. Mereka besar bukan karena nyali perlawanan tapi karena “loyalitas dan kepatuhan” buta pada kaum cukong pemegang uang.

Inilah jenis utama musuh yang sesungguhnya ditentang oleh Ali Syariati dan Imam Khomeini. Orang-orang pintar omong yang sebenarnya tidak kerja demi rakyat. Rakyat di kalimat mereka, hanyalah himpunan orang-orang yang berkumpul karena perlu untuk di “proyekkan”. Lenin mengecam barisan yang tidak punya dedikasi dan kedisplinan. Karena mereka selalu punya pandangan dengan disiplin ala serdadu. Yang mereka rindukan dan disenangi adalah popularitas. Bahkan tak jarang mereka menginjak sesama anak muda, untuk menduduki tangga popularitas itu. Mulutnya saja ngomong tentang demokrasi padahal kerjaannya melakukan penindasan imajinasi. Mereka kini memenuhi, bukan saja NGO/LSM, melainkan dunia profesi yang bersentuhan dengan kegiatan seperti hukum, medis, hingga pendidikan. Semua lini yang mengarah kepada orang-orang miskin.

Andai Che Guevara masih hidup, tentu ia akan menghimpun bergerilya melawan mereka. Mereka seperti barisan pendukung Batista yang loyal dan juga kaya. Bagaimana anak-anak muda ini bisa radikal, jika gaya hidup serta konsumsi mereka jauh dari apa yang dimakan sehari-hari oleh rakyat miskin. Jika saja Imam Khomeini masih segar tentu anak-anak muda ini yang ia peringatkan pertama kali. Tapi mereka tak mungkin patuh dengan Khomeini, yang terus mendesak untuk aksi ke jalan meski moncong senapan diarahkan ke muka. Kalau Lenin masih tegak pasti kelompok anak-anak muda ini akan dikenakan disiplin untuk pertama kali. Revolusi, yang menuntut sikap tegas, tidak memerlukan mereka yang ragu-ragu apalagi skeptis terhadap mimpi. Revolusi jadi menarik, karena ia energik, imajinatif, dan menolak keragu-raguan.

Mungkin karena itu revolusi muncul hanya dalam slogan. Sebab anak-anak muda pendukungnya berada dalam situasi yang sakit dan cacat. Pertama, mereka tidak suka mimpi perubahan yang radikal dan besar. Uang telah membikin mereka jadi anak muda yang berurusan dengan hal-hal sepele dan sederhana. Uang tidak membuat mereka bergegas membikin karya besar. Kenikmatan mereka diukur dengan badan dan perut mereka sendiri. Kedua, anak-anak muda ini begitu rakus dan haus popularitas. Lensa kamera yang ukurannya kecil itu dijadikan sasaran untuk menayangkan muka mereka yang letih dan penuh polesan. Ukuran aktivitas bukan sejauh mana dampaknya bagi rakyat melainkan dimuat-tidaknya di media. Ketiga, karena itu mereka meneguhkan diri sebagai kawanan sekuler dan liberal karena mereka berbuat, bertindak, dan bersikap tanpa dasar nilai sama sekali. Mereka tidak beragama, tapi mereka juga bukan atheis atau marxis. Mereka tidak beragama karena memang malas diikat oleh aturan-aturan.

Satu-satunya ikatan di antara mereka hanyalah uang. Selama uang berkibar maka apapun akan dikerjakan. Selama uang bisa memenuhi kantong maka semua akan dilakukan. Karena istilah uang itu agak kasar, maka coba disebut kata logistik untuk menghaluskannya. Bagaimana kita bisa bergerak kalau logistiknya tidak ada? Itulah semburan yang dilontarkan. Sudah pasti mereka tidak tahu, berapa modal yang dipunyai Lenin saat memulai Revolusi Oktober. Mereka pasti tidak ingat bagaimana Marx yang lapar mampu melahirkan karya Das Kapital. Mereka juga tidak pernah tahu berapa uang yang dimiliki anak-anak muda ketika menculik Soekarno-Hatta di Rengasdengklok. Mereka nggak pernah bisa paham kalau modal semua kaum radikal adalah nyali. Berkat nyali, perubahan besar bisa digulirkan.

Dan perubahan bukan datang dari konsep-konsep proposal. Revolusi memang dicetak oleh anak-anak muda yang bernyali. Almarhum Romo Mangun selalu bilang, bukan anak muda jika tidak radikal! Sikap radikal adalah karakteristik orang yang disebut muda. Muda, radikal dan karenanya militan. Terhadap uang, sikap anak muda adalah seperti novel Knut Hansum yang berjudul lapar, enggan, malu dan tidak akan meminta. Karena ia tahu, martabatnya tidak diukur dari berapa uang yang dimiliki. Terhadap jabatan apalagi. Persis sikap Einstein yang menolak jadi penguasa karena ilmu fisika jauh lebih asyik ketimbang duduk didampingi pengawal. Tapi terhadap petualangan pelawanan, ia akan mengatakan, ya! dan terjun bergerak. Novel dan film The Old Man and The Sea, karya Ernest Hemingway, menuturkan bagaimana seorang layaknya menyambut petualangan. Inilah sikap anak muda mas Marco Martodikromo hingga Che Guevara. Mereka adalah anak muda yang selalu curiga, dengan kenyataan. Anak muda yang hidupnya dimodali dengan pertanyaan, bukan segebog rupiah atau dollar. [F.F]

Tidak ada komentar: