Kamis, 22 Mei 2008

“KIRI”

Ya, yang suka naik angkot pasti akrab betul dengan seruan di atas. Tapi saya tak hendak bicara tentang angkutan publik yang senantiasa carut marut di negara kita tercinta ini. Saya sedang ingin ngobrol tentang kiri yang lain. Mari bicara tentang kiri yang selalu sukses memancing kalut di sebuah negeri bernama Indonesia.

Pertama-tama, kita runut dulu sejarah istilah kiri yang menyeramkan ini. Awalnya terminologi kiri dan kanan digunakan untuk menunjukkan afiliasi politik seseorang di awal era Revolusi Prancis. Asal muasalnya sangat sederhana, cuma soal tempat duduk para anggota legislatif di Prancis sana pada tahun 1791. Waktu itu, raja masih jadi kepala negara [dalam konteks formal], dan pendukung kerajaan yang konservatif [kaum Feuillants -- jangan suruh saya membaca nama ini!] duduk di sebelah kanan ruang sidang legislatif; sedangkan kelompok radikal (kaum Montagnards) duduk di sebelah kiri ruangan.

Aslinya sih, pemisahan ini mencerminkan tingkat keberpihakan masing-masing kelompok pada rezim lama (baca: para aristocrat). Maka kala itu kaum kanan adalah kelompok pendukung para aristokrat dan keluarga kerajaan. Sedangkan kaum kiri diartikan sebagai kelompok yang menjadi oposisi.

Itu dulu. Namun lama kelamaan, pemisahan siapa kiri dan siapa kanan jadi jauh lebih kompleks. Misalnya nih, waktu revolusi Bolshevik, jelas Stalin dan para pendukungnya masuk di golongan kiri; dan memang, para pendukung komunisme jaman Stalin disebut (dan menyebut diri mereka) the leftists, alias kaum kiri. Tapi, siapa yang bisa disebut kelompok kiri di Rusia kala Stalin berkuasa? Mereka yang mendukung Stalin sejak Bolshevik-kah? Atau para reformis yang sudah mengadopsi beberapa pemikiran yang berasal dari mazhab kanan? Sudah mulai bingung? Semoga belum. Yang jelas, terminologi kiri dan kanan mengalami evolusi seiring perkembangan jaman. Sederhananya, terminologi kiri biasa diasosiasikan dengan kelompok progresif (di Amerika Serikat, kelompok kiri kerap juga diartikan sebagai kelompok Liberal); sedangkan terminologi kanan diasosiasikan dengan kaum konservatif yang setia pada paham-paham lama.

Di Indonesia, kiri acap kali diartikan secara sempit sebagai PKI/Komunis/Sosialis -- tanpa mengenali sejarah maupun pemaknaan kata-kata tersebut secara benar. Ya, tidak heran kalau ujungnya jadi salah kaprah tiada tara. Ada baiknya kita mencoba menggali lagi, arti dari tiap-tiap kata yang berseliweran di sekeliling kita, daripada lantas mendekam dalam kebingungan abadi gara-gara indoktrinasi rezim yang gemar berdusta.

Tapi semua kembali pada pilihan masing-masing orang: Apakah hendak menggali tiap kata dan memaknainya dengan merunut sejarah kata itu? Atau masih betah terlelap dalam dusta dan pemaknaan absurd karangan para tukang bohong? Terserah, sih. Yang penting anda menentukan pilihan itu secara sadar, dan siap dengan segala konsekuensinya.

Tidak ada komentar: