Minggu, 25 Mei 2008

Mengapa Harus Mengambilalih (Nasionalisasi) Tambang?

Penguasaan tambang adalah mutlak hukumnya bagi negara yang ingin membangun industri nasionalnya. Selagi kontrol tambang kita hanya di atas kertas, maka selamanya ia hanya berfungsi melayani permintaan pasar luar negeri (negeri maju). Negara industri maju (sering disebut negara OECD) sebagian besar merupakan negara-negara miskin sumber daya alam dan energi yang sangat berkepentingan untuk mengamankan ketahanan energi demi menjaga stabilitas ekonomi dan industri mereka. Caranya adalah dengan menguasai sumber energi negeri-negeri dunia ketiga untuk kepentingan akumulasi modal dan spekulasi pasar.

Dr. Mohammad Hatta dalam karangannya “Soal Industrialisasi Nasional” sudah menyatakan bahwa “...Soal kapital menjadi halangan besar untuk memajukan industrialisasi di Indonesia... Kalau industrialisasi mau berarti sebagai jalan untuk mencapai kemakmuran rakyat, ...mestilah kapitalnya datang dari pihak rakyat atau dari pihak pemerintah. Karena, kalau kapital harus didatangkan dari luar, tampuk produksi terpegang oleh orang luaran...”. Oleh karena itu kapital (modal) dalam negeri menjadi faktor kunci bagi pembangunan struktur industri nasional kita.

Tujuan pengambilalihan kontrol perusahaan tambang dari tangan asing pertama, adalah sebagai salah satu komponen modal dalam negeri yang harus diprioritaskan untuk membangun fondasi industri nasional dan kebutuhan konsumsi energi rakyat, termasuk pengembangan teknologi untuk pengadaan energi alternatif yang terperbarui. Komersialisasi energi hanyalah dalih untuk menguras sumber daya energi nasional bagi kepentingan segelintir imperialis minyak dan energi asing serta kroninya di dalam negeri.

Sektor Migas menyumbang 24% dari seluruh penerimaan negara. Jumlah ini sangat jauh dibandingkan keuntungan bersih yang dibawa pulang para imperialis tambang. Contohnya, keuntungan bersih sebuah perusahaan tambang seperti ExxonMobil asal AS saja (pemegang banyak kontrak migas di Indonesia) bisa mencapai hingga US $36,1 milyar (+/- Rp.33 Trilyun) pada tahun 2005. BP-Amoco asal Inggris, yang memproduksi 10 persen gas nasional Indonesia, bisa mengeruk keuntungan US$1,3 miliar (+/- Rp.10,8 Trilyun) per tahun. Sementara PT. Freeport McMoran mendapatkan keuntungan US$934 juta (+/- Rp.85 Milyar) untuk tahun 2004 saja. Bahkan para direktur tambang perusahaan imperialis (MNCs/TNCs) tersebut dapat mengantongi antara US$200,000–US$300,000 (+/- Rp.180 juta-270 juta) per bulannya, sementara penduduk-penduduk sekitar tambang dan negara jarahan hidup dengan penghasilan di bawah $1/hari.

Setelah mengantongi laba sedemikian besar, persoalan selanjutnya yang dibebankan kepada pemerintah dan merugikan rakyat, adalah penundaan produksi setelah negosiasi kontrak selesai. Sebagai contoh adalah kasus Blok Cepu yang dikontrakkan pada ExxonMobil. Berdasarkan Laporan LPEM FEUI mengenai perhitungan ‘hilangnya peluang’ (opportunity lost) penerimaan negara akibat penundaan produksi Blok Cepu (produksi seharusnya sudah dimulai awal tahun 2005 setelah penyelesaian negosiasi kontrak 2003) total selama tiga tahun (2005, 2006, 2007) sebesar Rp. 20,6 Trilyun. Bahkan baru-baru ini dengan seenaknya Exxon meminta keringanan kewajiban memasok minyak ke dalam negeri (domestic market obligation), yang akan berkontribusi terhadap penumpukan keuntungannya, apalagi produksi baru akan dimulai 2010.

Laporan LPEM juga menyebutkan betapa potensi penerimaan tersebut seharusnya bisa membiayai berbagai komponen kesejahteraan nasional serta daerah setempat. Pemerintah Daerah Bojonegoro, tempat Exxon beroperasi, akan berpeluang mendapat tambahan APBD sebesar 179 milyar rupiah, yang bisa digunakan untuk membangun infrastruktur kesehatan, pendidikan, jalan, dan seterusnya.

Sekarang mari kita bayangkan betapa besar keuntungan setiap perusahaan transnasional yang menguasai 110 dari sekitar 137 perusahaan migas yang kini beroperasi di Indonesia. Untuk sektor tambang non-migas hingga tahun 2001 saja, sebanyak 890 ijin Kontrak Karya, Kuasa Pertambangan, dan PKP2B (Perjanjian Kerja Pengusaha Pertambangan Batubara) telah diberikan negara dengan penguasaan lebih dari 35% daratan kepulauan Indonesia. Angka-angka itu belum termasuk penguasaan pertambangan galian C (tambang pasir, marmer, dan sebagainya).

Manfaat nasionalisasi yang kedua adalah memperkecil dampak pengrusakan lingkungan. Di tangan perusahaan-perusahaan tambang imperialis yang berkembang karena menggenjot akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi tinggi, maka eksploitasi sumber daya alam cenderung berlangsung secara besar-besaran dan berpotensi tinggi menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Walau terlambat, Jepang dan sebagian negeri Eropa sudah mulai menyadarinya dengan turut mendukung Protokol Kyoto mengenai pengurangan sebab-sebab pengrusakan lingkungan (emisi gas buang CO2 dan sebagainya). Namun tidak demikian halnya dengan pengguna (konsumen) energi dunia terbesar yakni Amerika Serikat sebagai satu-satunya negeri yang tidak mau menandatangani Protokol Kyoto.

Dengan membawa keuntungan milyaran dollar, PT. Freeport meninggalkan 852,6 juta ton limbah bagi rakyat Amugme di Papua; PT. Newmont Minahasa dan Nusa Tenggara meninggalkan tak kurang 270 juta ton limbah bagi warga Buyat dan NTT. Ditambah derita penyakit kulit, kekeringan, kerusakan tanah, dan lain-lain, eksplorasi tambang di bawah dominasi asing lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.

Katherine Yih, seorang ekologis yang aktif di New World Agriculture Group dan kerja solidaritas ilmiah untuk Nicaragua menyebutkan, bahwa permasalahan-permasalahan ekologi adalah masalah politis yang dihasilkan, atau sangat dipengaruhi, oleh kesenjangan kontrol atas sumber daya alam dan kekuatan politik di antara kelompok-kelompok dan bangsa-bangsa.

Itulah sebabnya mengapa kontrol tambang harus kita rebut kembali. Dengan semakin meluasnya kesadaran perlindungan lingkungan di dalam negeri (tentu saja oleh aktivis-aktivis gerakan sosial dan para ahli, bukan para birokrat dan pengusaha calo lokal), maka keuntungan ekonomi dari eksplorasi tambang beserta potensi dampak lingkungan yang ditimbulkannya akan menjadi satu paket pertimbangan yang akan saling memberi manfaat.

Tidak ada komentar: