Senin, 19 Mei 2008

Biaya Pendidikan Masih Mahal

Oleh ; Fahruddin Fitriya*

Undang-undang dasar memang telah mengamanatkan bahwa 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) harus dialokasikan untuk biaya pendidikan. Sejumlah daerah seperti Provinsi Jawa Tengah juga sudah menganggarkan biaya pendidikan yang cukup besar.

Bahkan untuk tahun 2006, 20 persen lebih dari total anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Jawa Tengah yang berjumlah Rp. 10 triliun diperuntukkan bagi pendidikan. Membaca angka-angka di atas tentu kita sangat gembira dan sangat optimistis bahwa pendidikan generasi muda kita akan lebih baik dibandingkan dengan waktu lalu. Namun, faktanya ternyata tidak seoptimistis seperti yang digambarkan oleh angka-angka tersebut.

Selain pemerintah pusat belum mampu mengalokasikan dana seperti yang diperintahkan oleh undang-undang, dana pendidikan yang sudah dikucurkan pun, termasuk oleh Pemda, seringkali tidak mengenai sasaran. Ini belum termasuk sekolah-sekolah yang berada di sejumlah daerah yang APBD-nya memang sangat kecil.

Coba saja lihat di lapangan. Sejumlah SMP dan SMA, terutama yang unggulan, masih memungut dari orang tua murid dana yang cukup besar, khususnya yang terkait dengan uang masuk (pembangunan). Di Semarang, misalnya, meskipun dengan dalih bahwa besaran uang masuk itu sudah disepakati oleh orang tua murid lewat Komite Sekolah, namun kesan ‘pemaksaan’ tetap saja terasa. Intinya, orang tua murid harus membayar sekian juta bila anaknya ingin diterima di sekolah unggulan tersebut.

Besarannya variatif, antara Rp 3 juta hingga Rp 10 juta. Bila tidak, silakan pindah di sekolah lain. Padahal, para murid yang nilainya memenuhi syarat diterima di sekolah unggulan tidak semua orang tuanya mampu secara Finansial. Besaran dana ini baru sebagai uang masuk dan belum uang bulanan dan lainnya yang jumlahnya bisa mencapai Rp 250 ribu/per bulan. Ini baru di tingkat SMP serta SMA. Bagaimana dengan di perguruan tinggi?

Bagi yang bernasib baik diterima di perguruan tinggi negeri, mungkin lebih beruntung. Beruntung karena uang masuk (gedung) akan lebih murah daripada di perguruan tinggi swasta, terutama yang terkenal (unggulan). Namun, murah di sini bukan berarti ratusan ribu rupiah, tapi puluhan juta. Yang terakhir ini tentu lebih murah dibandingkan dengan perguruan tinggi swasta. Konon, untuk fakultas unggulan seperti kedokteran, ada universitas yang mengenakan uang masuk sebesar lebih dari Rp 100 juta.

Bila fakta lapangan ini benar adanya, maka alangkah malang nasib orang-orang ‘kecil’ dan miskin yang jumlahnya sangat besar di negeri ini. Anak boleh pintar, tapi kalau orang tuanya tidak mempunyai biaya maka tetap saja ia tidak bisa masuk perguruan tinggi. Ini berbeda dengan nasib anak-anak yang orang tua mereka mampu secara finansial. Kalau mereka pintar, tinggal pilih perguruan tinggi yang diingini, termasuk universitas di luar negeri. Bahkan, seandainya pun anak tidak pintar, mereka pun masih bisa kuliah karena orang tuanya mampu ‘membeli’ bangku sekolah/kuliah.

Memang, ada sekolah-sekolah atau universitas swasta yang murah. Namun, sekolah atau universitas seperti ini biasanya mutunya sangat tidak memadai. Bahkan, murid-murid atau mahasiswa-mahasiswinya merupakan ‘sisa-sisa’ dari mereka yang tidak diterima di sekolah atau universitas negeri. Sehingga, kualitas lulusannya pun sangat rendah. Karena itu, kalau Dunia pendidikan, termasuk masalah pendanaannya, ini tidak segera dibenahi, kita khawatir struktur Negara di negeri ini akan terus menguntungkan orang-orang kaya saja. Anak orang kaya akan terus kaya, sedangkan anak orang miskin akan tetap miskin. Padahal, bukankah setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan?

Tidak ada komentar: