Jumat, 23 Mei 2008

BBM Naik Tak Masuk Akal

Logika-logika yang salah di balik “rencana kenaikan BBM”

Saat ini adalah Mei 2008, sebuah perjalanan waktu yang krusial menjelang pelaksanaan pemilu 2009. karena begitu krusial, langkah-langkah pengambilan kebijakan akan dipertimbangkan dengan baik-baiknya, peluang kecolongan harus ditutup rapat agar tidak mempengaruhi performa menuju 2009. itulah yang difikirkan oleh SBY dan think-thank ekonominya menjelang rencana kenaikan BBM. Begitu berhati-hati dan begitu dramatic, begitulah kira-kira gambarannya. Disamping itu, kelompok oposisi akan memanfaatkan situasi ini untuk melancarkan kritik dan serangan dari berbagai sisi untuk membongkar kelemahan kebijakan tersebut. Harus diingat, ini bukan perang antar klas, ini hanya pertarungan elit, sehingga tifologi kritik dan serangannya terkadang tidak ilmiah dan objektif. Beberapa seruan pergantian rejim patut dipertimbangkan karena dibangun dari argumentasi yang kurang ilmiah, ditambah lagi, tidak memberikan solusi konkret, seperti apa yang dilakukan paska penggantian rejim itu?

Kita gerakan revolusioner akan berdiri, membongkar logika-logika kesalahan mereka dari berbagai sisi, dengan argumentasi ilmiah dan solusi yang konkret, tidak bertele-tele dan tidak mengawang-ngawang. Kita akan membongkar kesalahan logika mereka hingga menyangkut pada akarnya, sehingga memungkinkan adanya perubahan yang lebih mendasar.

Dibalik Kenaikan harga minyak dunia

Beberapa ekonom neoliberal dan termasuk beberapa dari sayap kiri mencoba menimpali kenaikan harga minyak dunia dengan menyalahkan pertumbuhan ekonomi China dan India. Menurut mereka, pertumbuhan industri dan ekonomi China telah memicu peningkatan konsumsi minyak dunia sehingga menyebabkan permintaan BBM meningkat dan harganya turut meningkat. Pendekatan ini mirip dengan pandangan Malthusian di abad ke 19, yang menyebutkan pertumbuhan populasi lebih besar dari bahan makanan sebagai penyebab kelaparan. Pendekatan ini sangat berbahaya dan rasialistik. Kalau ekonomi Cina dan India tumbuh apa yang salah? Itu logika alamiah yang tak terbantahkan. Cina sendiri disuruh bertanggungjawab atas 4% (dari 13,9 %) kenaikan permintaan minyak dunia. Pertumbuhan ekonomi dan konsumsi tidak dapat dituduh sebagai biang kerok, karena pertumbuhan ekonomi merupakan variable konstan dan alamiah. Jika diamati dari sisi permintaan minyak dunia Amerika Serikat paling tinggi dibandingkan dengan negara lainnya dan di tahun 2006, sekitar 25% dari total permintaan dunia adalah berasal dari negara tersebut. Krisis yang melanda AS, terutama akibat Suprime-mortage merupakan krisis besar dalam sistem pasar financial global, dan didalamnya termasuk krisis utama dari finansialisasi ekonomi dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini menjelaskan bahwa kenaikan harga minyak bukan hanya karena konsumsi yang meningkat akibat industrialisasi, akan tetapi karena komoditi minyak telah diekpansi oleh para spekulan (hedge fund) yang menyebabkan harga-harga mengikuti pola bursa saham.

Beberapa ekonom neoliberal juga mempersalahkan politik energi beberapa negara seperti Venezuela dan Bolivia. Mereka (ekonom liberal) menuduh Chaves dan Morales menggunakan isu minyak untuk memperkuat bargain politik mereka. Apa yang dilakukan Chaves dan Morales adalah untuk kepentingan nasionalnya; memenuhi kebutuhan domestic dan mengalirnkan keuntungan minyak bagi rakyatnya, bukan untuk kepentingan korporasi yang puluhan tahun mengangkangi negeri itu. Lagi pula, Venezuela telah membantu supply minyak murah kepada negara-negara amerika latin dan karibia yang membutuhkan minyak, dengan program “petrocaribia”. Bahkan, Venezuela merencanakan mengirim berjuta-juta barel minyak murah kepada negara-negara Afrika yang rakyatnya dilanda krisis energi dan pangan.

Kenaikan harga minyak disebabkan oleh beberapa faktor; pertama gangguan produksi yang menyebabkan penurunan produksi dalam beberapa tahun. Gangguan produksi bukan hanya karena faktor bencana alam seperti badai Katrina yang menerjang teluk Meksiko, atau badai musim panas yang merata di Amerika. Akan tetapi, gangguan produksi terjadi dibeberapa negara penghasil minyak yang kehidupan politiknya direcoki oleh tangan-tangan imperialisme. Taktik bumi hangus sumur minyak oleh pejuang Irak, merupakan respon atas agresi militer yang tidak manusiawi yang dilancarkan pemerintahan Bush. Nafsu serakah AS menguasai ladang-ladang minyak Irak telah membawa negeri itu pada ketidakstabilan politik dan juga kawasan timur tengah. Demikian pula dengan Nigeria, salah satu negara Afrika penghasil minyak terbesar didunia, terus menerus mengalami gangguan produksi akibat pengrusakan jalur minyak secara sengaja, penculikan terhadap pekerja minyak, dan krisis politik yang terus berkecamuk.

Kedua kenaikan harga minyak dunia dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi AS yang menyebabkan nilai mata uang dollar terus merosot. Ketika dollar AS turun 1 persen, harga minyak akan melonjak 4 dollar AS per barrel. Penggunaan dollar sebagai alat tukar (currency) secara internasional mendorong banyak negara didunia terbawa dampaknya. Ketiga, permainan spekulan yang melihat potensi keuntungan dari minyak. setelah kemacetan kredit perumahan AS, para spekulan mulai mengalihkan dananya untuk spekulasi komoditi minyak. Minyak tidak lagi berfungsi sebagai faktor produksi, tetapi sudah masuk wilayah instrumen investasi sehingga harganya berfluktuasi seperti harga saham. keempat, permainan korporasi-korporasi minyak dunia terutama yang berbasis dinegara maju. Seperti kita ketahui, Dick Cheney merupakan pemimpin perusahaan Haliburton Energi hingga tahun 2000. Condoleeza Rice, merupakan salah seorang CEO perusahaan Chevron Texas. Menhan AS sekarang, Donald Rumsfeld, pernah menjabat wakil pemimpin perusahaan Western Oil. Dia juga merupakan partner Bush di perusahaan Enron Energy. Ada sekitar 100 orang pejabat di pemerintahan Bush yang pertama, mereka menanamkan investasinya yang mencapai 144,6 juta dolar AS di sektor migas.

Yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia bukan negara eksportir minyak tetapi perusahaan-perusahaan pemilik ladang eksplorasi dan industri pengilangan minyak, serta para broker (spekulan). Sebagai gambaran, meskipun negara-negara OPEC menguasai 2/3 cadangan minyak dunia dan volume ekspor minyak mentahnya 40% dari ekspor dunia, negara-negara OPEC hanya memiliki sarana pengolahan minyak 10% saja. Sedangkan negara-negara maju menguasai 60% industri pengolahan minyak dunia yang mayoritas dimiliki beberapa perusahaan saja seperti Chevron, ExxonMobil, ConocoPhilips, Sheel, Texaco, BP, UNOCAL, dan Hallilburton. Dari selisih harga saja, beberapa korporasi minyak internasional meraup keuntungan besar. Contohnya, keuntungan Exxon Mobile sebesar 8 milyar dolar AS pada kuartal pertama tahun ini. Keuntungan ConocoPhillips sebesar 3,3 milyar dolar AS, keuntungan Anglo Dutch Shell setara 6,09 milyar dolar AS dan keuntungan BP (British Petroleum) sebesar 5,82 milyar dolar AS, dan seterusnya.

Dramatisasi kenaikan harga minyak akan berlansung panjang, mengingat peningkatan harga tidak lagi pada persoalan supply and demand, akan tetapi sudah berporos pada spekulasi yang dilakukan oleh para broker minyak. Gejala ini membenarkan ungkapan Karl Marx, ketika sebuah corak produksi sudah usang, maka kecenderungannya adalah menjadi parasit. Kapitalisme yang sudah memperlihatkan ukuran parasitnya, ditandai dengan tumbuh suburnya spekulasi.

APBN Tertekan?

APBN Tertekan? Ini merupakan sebuah ungkapan menggelikan. Ketika harga minyak dunia meroket, tiba-tiba saja para ekonom liberal berteriak-teriak bahwa APBN kita tertekan, padaha sejak lama APBN kita sudah tertekan. Pos pembayaran utang luar negeri yang mencapai Rp 91,365 triliun lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan anggaran subsidi BBM untuk tahun 2008 yang hanya 46,7 trilyun rupiah. Belum lagi surat obligasi yang mencapai hanya untuk menutupi kesalahan para konglomerat hitam. Tekanan sesungguhnya bagi APBN berasal dari sektor pembayaran utang luar negeri dan surat obligasi perbankan. Akibat porsi yang sangat besar pada pos ini, anggaran untuk pelayanan publik dan pembangunan dipangkas habis-habisan.

Argumentasi bahwa APBN tertekan karena kenaikan harga minyak dunia perlu dikoreksi. Beberapa asumsi yang coba dibangun sungguh sangat liar dan tidak sesuai dengan kenyataan. Asumsi APBN 2008 terhadap harga minyak dunia adalah 98 USD/barel. Harga itu disebutkan oleh pemerintah sebagai subsidi.

Kepala Badan Pengkajian Ekonomi Kebijakan dan Kerja Sama Internacional, Anggito Abimanyu memaparkan, akibat melambungnya harga minyak dunia itu, windfall profit atau keuntungan yang diperoleh pemerintah lebih besar dari pada tambahan subsidi bahan bakar minyak. (tempo interaktif). Berdasarkan perhitungan pada 2006, kenaikan satu dolar harga minyak akan menyebabkan tambahan penerimaan Rp3,9 triliun. Chatib Bisri, Ekonom LPEM UI mencatat, setiap kenaikan harga minyak US$ 1 per barel justru akan memberikan dampak positif bagi anggaran pemerintah sebesar Rp 700 juta. Yang penting, pemerintah sanggup mencegah pelarian (penyelundupan/pemborongan) minyak besar-besaran keluar negeri. sebagaimana estimasi yang dilakukan oleh Bank Dunia untuk kenaikan harga minyak sebesar US$ 1 per barel akan meningkatkan defisit anggaran sebesar US$ 100 juta. Selanjutnya untuk setiap kenaikan harga minyak dunia sebesar US$ 10 per barel akan meningkatkan anggaran (pendapatan) pemerintah sebesar US$ 1 miliar (0,3% PDB), dan secara keseluruhan defisit pemerintah hanya meningkat sebesar US$ 500 juta (0,15% PDB) dan kondisi ini bukanlah suatu ancaman yang terlalu serius untuk stabilitas makroekonomi Indonesia. Seandainya ada kenaikan beberapa digit diatas angkat tersebut, maka itu dianggap sebagai sebagai titik impas, yakni keseimbangan antara dampak kenaikan dan penerimaan.

Perlu dikemukakan di sini bahwa harga minyak acuan APBN kita adalah harga minyak Indonesian Crude Price (ICP), yang cenderung berada di bawah harga minyak WTI (West Texas Intermediate), yaitu rata-rata lebih rendah sekitar 5 dollar AS per barrel. Pada 21 April 2008, misalnya, ketika harga minyak WTI berada pada level 117,5 dollar AS per barrel, harga ICP berada pada leve1 107,0 dollar AS per barrel. Harga minyak OPEC pun tidak terlalu jauh dari level harga minyak ICP ketika itu. Selain itu, harga rata-rata minyak ICP pada 2008 sampai 21 April baru 95,7 dollar AS per barrel, tidak terlalu banyak berbeda dengan asumsi APBN yang sebesar 95 dollar AS per barrel.

Produksi Minyak Nasional menurun

Paska berakhirnya periode oil boom (bonanza minyak) tahun 1970-an, produksi minyak Indonesia terus menerus mengalami penurunan. Tingkat kejatuhan produksi ini berbarengan dengan meningkatnya kebutuhan akan konsumsi minyak, terutama perkembangan transfortasi (motor dan mobil). Situasi ini direspon oleh pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengimpor minyak.

Kondisi perminyakan Indonesia

2000

2001

2002

2003

2004

Produksi minyak

1272.5

1214.2

1125.4

1139.6

1094.4

Konsumsi minyak

996.4

1026

1075.4

1112.9

1143.7

Impor minyak mentah

219.1

326

327.7

306.7

330.1

Ekspor minyak mentah

622.5

599.2

639.9

433

412.7

Kapasitas pengilangan

1057

1057

1057

1057

1055.5

Output pengilangan

968.2

1006.1

1002.4

944.4

1011.6

Cadangan minyak(MB)*

5123

5095

4722

4320

4301

Sumber: Oil Petroleum Exporting Countries

Penyebab penurunan cadangan minyak Indonesia adalah (i) kilang-kilang minyak milik kita rata-rata sudah tua dan sudah ratusan tahun berproduksi, sejak jaman kolonial. Tidak ada upaya pemerintah untuk mengupgrade tekhnologi perminyakan dengan memberikan suntikan anggaran. (ii). eksploitasi selama bertahun-tahun dan minimnya eksplorasi baru atau survey untuk mencari dan menemukan cadangan minyak baru. Hal terpenting, yang tidak pernah diungkapkan oleh pemerintah adalah soal penguasaan mayoritas sektor migas kita. Hendri Saparini, ekonom ECONIT menyebutkan 85%-90% pengelolaan migas nasional dikuasai oleh pihak asing, sisanya dibagi antara perusahaan migas negara dan swasta dalam negeri. Penguasaan asing yang terlampau besar menyebabkan mereka sanggup mengontrol sekitar 80-90% total produksi migas kita. Pemberlakuan UU nomor 21/tahun 2001 semakin memberikan keleluasaan kepada korporasi asing untuk merajela dari sektor hulu sampai kehilir.

Dengan mengacu pada UU nomor 21/tahun 2001 tentang migas ditegaskan, hasil pembagian keuntungan berupa minyak mentah antara pemerintah dan pihak asing tidak lansung boleh dijual kepada pembeli (lansung), akan tetapi oleh BP Migas harus mendapat persetujuan korporasi untuk menjual kepada pihak ketiga. Selain itu dalam proses impor minyak, pemerintah tidak melakukan impor lansung, akan tetapi melalui pihak trader (pihak ketiga) menyebabkan harga patokannya jauh lebih mahal. Hal itu membuat anggaran yang dikeluarkan pemerintah membengkak. Padahal, persoalannya bisa diatasi jika saja pemerintah punya keberanian politik menghadapi korporasi-korporasi asing.

Korporasi asing mencaplok kekayaan alam kita dengan memanfaatkan kontrak-kontrak pertambangan yang dibuat/didesain menurut selera mereka. Kontrak-kontrak pertambangan yang dibuat semasa orde baru ataupun setelah direvisi dengan jenis kontrak baru yang bernama PSC, sama sekali tidak memberikan ceceran keuntungan kepada rakyat Indonesia. Kalaupun di perjanjiannya dibuat skema bagi hasil 85:15 (85% pemerintah pusat dan 15% untuk kontraktor), inipun menuai kontroversi; ada yang mengatakan realitanya adalah 60:40, dan ada pula yang menyebutkan bahwa bagian pemerintah habis karena dibebani untuk membayar cost recovery.

Menimbang Solusi Pemerintah

Beberapa bulan yang lalu, pemerintah sudah menyiapkan beberapa langkah untuk mengantisipasi gejolak kenaikan harga minyak dunia, terutama untuk mengamankan APBN 2008. Langkah pertama yang diambil pemerintah adalah menaikkan BBM industri dan BBM nonsubsidi (pertamax). Sayangnya, kebijakan ini berjalan tidak efektif. Data Pertamina menunjukkan, pada Maret 2008 volume penjualan pertamax turun 15 persen dan pertamax plus turun 13 persen. Hal ini menunjukkan bahwa ada pergeseran (pemidahan) dari pola konsumen dari BBM non-subsidi kepada BBM bersubsidi. Sebagian konsumen pertamax beralih ke premium bersubsidi, itu terlihat dari meningkatnya volume penjualan dari 1,44 miliar kiloliter (Februari) menjadi 1,58 miliar kiloliter (Maret 2008) atau naik 8,0 persen. Akibatnya, penjualan BBM bersubsidi triwulan I-2008 melampaui kuota 35,5 juta kiloliter. Langkah kedua yang diambil pemerintah adalah rencana pembatasan pemakaian premium (BBM bersubsidi). Akan tetapi langkah ini mengalami kegagalan total, penyebabnya adalah meningkatnya pemakian BBM premium akibat pertumbuhan besar jumlah kendaraan bermotor dan mobil. Data menunjukan penjualan mobil kuartal I 2008 secara tahunan (YoY) meningkat 60,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, Penjualan sepeda motor dalam periode yang sama juga mingkat 28,6 persen dibandingkan tahun lalu. Sedang konsumsi listrik kuartal ini juga mningkat tujuh persen dibandingkan tahun lalu, jadi susah untuk melakukan penghematan dari sisi permintaan. Kecuali kalau pemerintah berani berhadapan dengan kepentingan korporasi otomatif melalui pembatasan kendaraan dengan menaikkan pajak impor kendaraan mobil dan motor. Disamping itu, bisa menaikkan pajak bagi pemilik kendaraan dan pajak parkir.

Berhadapan dengan kegagalan demi kegagalan, pemerintah merubah taktik dengan meluncurkan kartu kendali (smart card). Kebijakan yang pertama kali diperkenalkan oleh Franklin.D.Roosevelt untuk membatasi penggunaan BBM pada tahun 1942. Kartu kendali akan diberikan kepada pengguna mobil dan kendaraan bermotor yang memakai BBM bersubsidi, dengan membatasi volume BBM yang diberikan. Seberapa efektif kebijakan kartu kendali ini? Menurut pengamat ekonomi, Kurtubi, paket kebijakan penghematan BBM oleh pemerintah memang bisa mencapai Rp. 10 trilyun, dan cukup untuk menyehatkan APBN. Tetapi dampak yang ditimbulkan oleh pembatasan ini jauh lebih besar seperti penurunan aktivitas perekonomian akibat pembatasan BBM. Pembatasan pada hakekatnya mengurangi konsumsi dan produktivitas. Berbeda dengan mencegah pemborosan, pembatasan BBM justru akan membuat aktivitas perekonomian berjalan lambat.

Kalau pemerintah khawatir dengan konsumsi BBM akibat pemakaian kendaraan yang berkembang pesat, maka seharusnya pemerintah berfikir untuk mengurangi/membatasi kendaraan pribadi yang jumlahnya sangat besar. Jumlah kendaraan pribadi meningkat pesat tidak sebanding dengan penyiapan sistem transfortasi efisien dan jalan raya yang lebar menimbulkan kemacetan. Maraknya kemacetan di kota besar di Indonesia merupakan sumber pemborosan BBM terbesar. Untuk itu, pemerintah seharusnya mengambil langkah membatasi pemakaian kendaraan pribadi/mewah dengan jalan menaikkan pajak impor dan pajak –pajak progressif bagi orang kaya.

Beberapa minggu lalu, presiden SBY menganjurkan kepada jajaran pemerintahannya untuk menghemat anggaran. Anjuran ini searah dengan pidato SBY didepan ratusan ribu massa PKS yang menghimbau agar orang kaya di Indonesia mau membantu orang miskin. Secara retorika, anjuran ini cukup mulia akan tetapi tidak berpengaruh signifikan. Seruan untuk menghemat anggaran harus berbarengan dengan keseriusan memberantas korupsi itu sendiri. Kalau memberantas korupsi saja, pemerintahan SBY ketar-ketir, apalagi kalau mau memaksa pejabat dan birokrat dinegeri ini untuk hidup sederhana. Aku berani mengatakan bahwa hal ini sangat mustahil. Apalagi anjuran supaya yang kaya membantu simiskin, sepertinya SBY mengulang utopia Robert Owen untuk membangun masyarakat sosialis dengan memberikan seruan kepada kaum kapitalis agar menyerahkan alat produksinya secara demokratik kepada klas pekerja dan kaum tertindas. Utopisme Robert owen sendiri dikritik habis-habisan oleh Karl marx sebagai kecenderungan borjuis kecil yang sangat idealis. SBY tidak memahami bahwa sudah banyak rakyat Indonesia terlempar ke pinggir-pinggir jalan sebagai tunawisma, pengemis, dan hidup mengenaskan tanpa sedikitpun perhatian dari orang kaya apalagi pejabat korup negeri ini.

Kenaikan BBM produk Kejahatan Imperialisme

Ekonomi nasional suatu bangsa, kalau berjalan bukan dalam arah kemandirian dan kedaulatan bangsanya, maka ditakdirkan akan mengalami kehancuran. Imperialisme sebagai tahap lebih lanjut dari perkembangan kapitalisme, setelah pemusatan capital mengambil bentuknya dalam monopoli, penyatuan capital keuangan dan industri membentuk oligarkhi financial, dan eskpor capital dalam taraf yang luar biasa menghantarkan pembagaian kawasan-kawasan oleh negara-negara imperialis, telah mengambil bentuk nyata saat ini. Indonesia sendiri, bersama-sama dengan negara-negara dikawasan ini merupakan wilayah yang dipengaruhi oleh dominasi kekuatan ekonomi imperialis. kehidupan ekonomi Indonesia sekarang memiliki kesamaan dengan susunan ekonomi kolonial dijaman Hindia-belanda. Kedudukan ekonomi nasional hanya sebagai penyuplai bahan baku, sebagai pasar dari produk/komoditi mereka, sebagai penyedia tenaga kerja dengan upah murah bagi kepentingan ekonomi imperialis. Selama pemerintahan SBY-JK terus menerus menjalankan ketergantungan ekonomi pada imperialisme, tetap mempertahankan kebijakan ekonomi yang bertumpu pada liberalisasi, maka sudah pasti pemerintahan seperti ini tidak akan sanggup meletakkan dasar ekonomi nasional yang kuat dan mandiri. Sudah pasti pemerintahan seperti akan gagal mensejahterakan rakyat Indonesia.

Sudah dijelaskan dibahagian sebelumnya; produksinya minyak nasional kita menurun disamping karena memang rata-rata kilang minyak kita sudah tua dan tidak ada survey untuk mecari sumber pengeboran minyak yang baru, tetapi sesungguhnya disebabkan oleh penguasaan asing terhadap sektor migas kita yang mencapai 90% dari pengelolaan migas. Pemerintah juga belum sanggup mencari solusi dan mengembangkan energi alternatif untuk mengatasi hal tersebut. Menyebabkan tidak ada sumber pasokan energi yang jelas untuk kebutuhan industri nasional maupun aktivitas perekonomian yang lain. Ketika terjadi periode oil boom tahun 1970-an dan 1980-an, keuntungannya mengalir ketangan segelintir orang dalam klik kekuasaan orde baru, terutama Soeharto dan Ibnu Soetowo. Keuntungan itu tidak dimanfaatkan untuk merecovery industri perminyakan yang tekhnologinya merupakan warisan kolonial. Paska reformasi, sektor migas Indonesia belum sembuh dari penyakitnya, kemudian dilemparkan pada mekanisme liberalisasi pasar yang agresif.

Krisis energi sebenarnya bukan istilah yang tepat. Karena secara objektif, produksi minyak bergerak menurut tingkat konsumsi yang wajar. Yang terjadi adalah pergeseran dari model ekonomi yang berbasiskan “ekonomi nyata/produksi” menjadi ekonomi yang berbasiskan pada spekulasi dan kekaburan. Jelas bahwa korporasi dan spekulan yang menikmati keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia, bukan negara penghasil minyak (OPEC). Sebagai contoh, di Indonesia, banyak perusahaan asing yang menyimpan minyak mentah di tangki-tangki mereka, mereka menahan untuk segera melepaskan kepasar karena menunggu harga minyak dunia terus meninggi. Siapa yang dirugikan? Seluruh kekuatan ekonomi nasional yang menbutuhkan migas sebagai sumber energi untuk aktivitas perekonomian. Penyerahan asset-aset/alat produksi yang vital seperti migas, ketenaga-listrikan, transportasi, telekomunikasi, pangan, dan lain sebagainya, menyebabkan ekonomi nasional berjalan dalam realitas kekosongan. Praktis negara dan borjuis nasionalnya hanya menjadi parasit; penarik pajak.

Jalan Keluar Rakyat Indonesia

Menghadapi pukulan telak imperialis dan kekuatan reaksi didalam negeri, sudah seharusnya pemerintahan sekarang mengibarkan bendera “nasionalisme yang progressif”. Sebuah bentuk nasionalisme yang menghendaki pemisahan kepentingan ekonomi nasional dengan kepentingan imperialisme. Lahirnya sebuah pemerintahan nasional yang progressif, mandiri dan kerakyatan akan menjadi motor utama pembangunan ekonomi nasional. Untuk itu, tuntutan Nasionalisasi Industri pertambangan (terutama migas) merupakan tuntutan objektif dari kehancuran industri dalam negeri dan ketidakadaan kemandirian ekonomi nasional atas desakan imperialisme. Kita harus berani mengatakan, tidak mungkin ada pembangunan ekonomi nasional dan reorganisasi produksi jika tidak dilakukan nasionalisasi terhadap asset-aset vital yang dikuasai oleh asing, jika tidak ada program industrialisasi nasional.

Agen pemerintah menuduh bahwa nasionalisasi tidak mungkin dan merupakan ide yang ketinggalan jaman. Pertimbangan mereka adalah bahwa kita tidak memiliki modal dan tekhnologi. Persoalan modal bukan sesuatu yang tidak bisa diatasi. Sejak bertahun-tahun masalah modal selalu dijadikan pembenaran untuk memberikan ruang leluasa bagi investasi, termasuk dengan menjual kedaulatan bangsa. Persoalan modal akan teratasi kalau pemerintah berani menghapuskan utang luar negeri, berani menarik surat obligasi perbankan, dan berani mengintensifkan pemberantasan korupsi dan menyita hartanya. Kalaupun seandainya pemerintah tidak berani mengambil jalan diatas karena terlampau radikal, maka seharusnya pemerintah mempertimbangkan untuk melakukan kerjasama dengan investor lain dengan prinsip yang saling menguntungkan.

Soal tekhnologi, pertamina sudah bisa melakukan eksplorasi dan separasi. Tekhnologi bisa dihadirkan lewat kerjasama dengan beberapa negara-negara yang lebih sukses seperti Venezuela dan lain-lain. Beberapa insinyur dan tenaga ahli ditemukan bekerja di perusahaan asing diberbagai negara, karena didalam negeri, mereka tidak dimanfaatkan oleh pemerintah. kemudian, untuk persoalan sumber daya manusia(SDM), sekitar 90% lebih operasional pertambangan, dijalankan oleh orang Indonesia. ExxonMobil, salah satu korporasi asing disektor pertambangan, memiliki lebih dari 600 orang pegawai. Hampir 95 persennya adalah orang Indonesia yang bekerja di berbagai bidang termasuk para senior manager, ahli teknik, ahli geologi, operator lapangan, akuntan, pengacara dan administrator.

Kemudian, ada pendapat bahwa mempopulerkan nasionalisasi asset asing (terutama pertambangan) tidak relevan untuk saat ini, sesuatu yang abstrak dan tidak konkret, dan tidak praktis. Itu merupakan pendapat yang salah, sangat tahapanisme, dan cukup reformis. Tuntutan minimum (parsial) akan dengan mudah melibatkan partisipasi luas dari pada massa. Akan tetapi, marxisme mengajarkan bahwa tuntutan minimum (parsial) tidak akan memenangkan keseluruhan penderitaan yang dialami klas pekerja. Kemiskinan akibat projek neoliberalisme bukan hanya menimpa klas pekerja dalam satu aspek, tetapi dalam berbagai aspek. Neoliberalisme meminggirkan bukan hanya pekerja, akan tetapi semua klas-klas di Indonesia, termasuk klas menengah/sedang dan borjuis nasional. Sebuah program membutuhkan jembatan untuk menjembatani kesadaran massa agar mengerti persoalan pokoknya dan mengerti tugas-tugas pokoknya; menghilangkan akar dari penindasan itu sendiri. Perjuangan normatif kaum buruh akan diperhadapkan dengan kondisi yang sulit; kehancuran industri nasional. Pada titik itu, penyelesaian kepentingan minimum kaum buruh tidak terpisah dengan kepentingan perjuangan pembebasan nasional. Nasionalisasi asset vital merupakan karakter khusus dari perjuangan pembebasan nasional.

Dalam merespon kemendesakan situasi sekarang ini, beberapa jalan seharusnya bisa diambil oleh pemerintah Indonesia untuk mencegah dampak lebih luas dari kenaikan harga minyak dunia, yakni pertama penghapusan utang luar negeri. Tuntutan penghapusan utang cukup kuat dengan pertimbangan bahwa utang-utang itu sudah terlampau membebani rakyat Indonesia. Utang mengambil porsi sekitar 30-40% dari APBN. Karena porsinya cukup besar maka mengurangi/membatasi alokasi anggaran untuk pos-pos lain, terutama untuk anggaran pelayanan publik dan pembangunan. Belum lagi penemuan yang menyebutkan bahwa 30% dari komponen pinjaman itu dikorupsi oleh rejim Orde baru. Penghapusan utang akan menjadi sumber pendanaan untuk APBN dan program Industrialisasi nasional. Selain itu, penghapusan utang bermakna pemutusan hubungan tertulisa (dan tidak tertulis) antara pemerintah Indonesia dengan paket-paket kebijakan Stuktual Adjusment Program (SAP). Sumber pendanaan lain yang bisa digenjot pemerintah adalah penarikan obligasi, mempercepat dan mengintensifkan program pemberantasan korupsi dan penyitaan hartanya, menaikkan pajak impor kendaraan pribadi, dan pajak progressif bagi orang-orang kaya. Kedua melakukan reorientasi kebijakan ekspor. Minyak bagian pemerintah dari korporasi asing tidak boleh diekspor kalau kebutuhan didalam negeri belum mencukupi. Pemerintah juga perlu membuat kesepakatan baru ataupun mengeluarkan sebuah kebijakan baru kepada korporasi asing untuk menyuplai kebutuhan minyak didalam negeri dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Ketiga melakukan renegosiasi kontrak pertambangan. Perubahan kontrak ditekankan pada peningkatan share profit, kejelasan soal alih-tekhnologi, dan peningkatan pajak/royalty bagi pemerintah hingga 20%.

Tidak ada komentar: