Senin, 26 Mei 2008

Menegaskan [Kembali] Perjuangan Politik LMND


Dalam dinamika gerakan mahasiswa, sudah tidak terbantahkan bahwa perjuangan politiklah jalan yang harus di tempuh untuk menegakkan sistem sosial yang demokratis. Dan, sejak awal memang perjuangan mahasiswa sudah mengambil perjuangan politik. Namum, ditengah perjalan gerakan mahasiswa muncul fikiran-fikiran absurd untuk mengombang-ambingkan perjuangan mahasiswa yaitu perjuangan moral (moral force). Jika di telusuri akarnya, moral force ini adalah merupakan tindakan pergerakan yang menganggap/memposisikan negara sebagai sebuah organisasi yang berdiri di atas kepentingan semua klas. Bisa dilacak dalam pemikiran Hegel tentang negara, atau konsep ”kontrak sosial” Hobbes soal terbentuknya dan kedudukan negara. Bagi penganut konsep ini, keberadaan kekuatan –kekuatan sipil untuk mengoreksi kehidupan bernegara sudah cukup efektif untuk tetap menjadikan negara berjalan pada relnya—melayani kepentingan umum. Seorang tokoh gerakan chartis (Inggris) mengatakan bahwa perjuangan moral juga bisa di maksudkan sebagai keragu-ragauan dalam perjuangan, karena musuh yang kita hadapi sungguh mahakuat. Budi Oetomo (BO) yang berdiri tahun 1905, bisa dikatakan sebagai salah satu organisasi pergerakan di masa awal yang mendasarkan perjuangannya pada perjungan moral. Berharap ada perubahan bentuk ekonomi-politik kolonial dengan memajukan pendidikan dan pengetahuan kaum pribumi agar tidak mudah di bodohi oleh kolonialis.

Bentuk perjuangan ini kemudian muncul lagi pada saat revolusi fisik melawan penjajahan belanda, beberapa kelompok mahasiswa menganggap bahwa jalan kemerdekaan bukanlah jalan yang tepat, melainkan harus mempertahan Indonesia di bawah Uni- Indonesia –belanda. Tidak heran, mereka berkantor di daerah pendudukan Belanda dan dalam aktivitas organisasinya menyerukan kepada mahasiswa untuk tekun menyelesaikan kulian ketimbang ikut ke garis depan mengangkat senjata. Beberapa organisasi mahasiswa pro-Belanda membentuk Badan Koordinasi Mahasiswa Indonesia (BKMI) sedangkan yang pro-republik membentuk Perserikatan perhimpunan-perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). Pada tahun 1950-an unsur progressif dalam gerakan mahasiswa berhasil membentuk Front Pemuda Indonesia(FPI) dan hanya mengakui PPMI sebagai satu-satunya federasi mahasiswa tingkat Universitas. Ada upaya kekuatan kanan dalam gerakan mahasiswa mengambil kepemimpinan dalam Majelis Perwakilan Mahasiswa(MPM) dan menarik PPMI keluar dari FPI pada tahun 1955. gerakan mahasiswa yang memiliki afiliasi politik paling banyak meramaikan panggung politik nasional. Mereka terlibat dalam pertarungana politik dan polarisasi ideologis yakni yang pro-imperialisme dan yang anti-imperialisme. Pertarungan semakin ramai ketika Soekarno lebih dekat pada organisasi-organisasi yang berideologi komunis dan nasionalis radikal. Organisasi-organisasi mahasiswa yang berbasiskan agama—HMI, PMKRI—semakin terpinggirkan. Pada tahun 1963, ketegangan politik di dalam kampus semakin memanas setelah GMNI, CGMI, Germindo, Permi semakin mendominasi senat fakultas dan dewan mahsiswa universitas di perguruan-pergurun tinggi yang ada.Konflik yang terjadi misalnya ketika kongres nasional keempat Majelis Mahasiswa Indonesia (MMI) pada bulan April 1964 di Malino, dalam kongres ini GMMI memenangkan 18 dari 24 kursi esekutif. Sementara itu, kelompaok mahasiswa dari UI dan ITB yang non-GMNI tidak mendapatkan posisi yang menyebabkan mereka menolak hasil kongres, dan akibatnya dewan mahasiswa dari kedua universitas ini dikeluarkan dari MMI. Pertentangan-pertentangan terus terjadi sampai tahun 1965. Sebuah pertarungan di tingkat fakultas misalnya terjadi di fakultas sastra UI ketika GMNI dan sekutu-sekutunya menuntut agar senat yang baru terbentuk dibubarkan karena terdapat unsur-unsur kontra-revolusioner seperti HMI. Tanggal 21 oktober 1964, atas desakan dari organisasi mahasiswa seperti CGMI dan GMNI, akhirnya HMI di keluarkan dari PPMI. Kelompok kanan dalam gerakan mahasiswa merasa mendapat angin ketika ada gerakan dari tentara dan politisi kanan yang di dukung oleh pihak Imperialis untuk menjatuhkan pemerintahan soekarno dan menghancurkan PKI.


Manuver-manuver politik yang di lakukan oleh kelompok kanan dalam gerakan mahasiswa dengan memunculkan ”gerakan moral” bertujuan untuk mematikan mobilisasi politik dari kaum kiri. Mereka saadar betul, bahwa mobilisasi politik kaum kiri yang makin besar akan menjadi bahaya bagi sistem ekonomi-politik yang sedang dimapankan. Ini pula yang menjadi keyakinan Soe Hok GiE, bahwa mobilisasi politik yang makin kiri akan semakin menajamkan pertentangan yang tidak terdamaikan (baca; perjuangan klas) antara AD (yang merupakan refresentasi paling utama kekuatan borjuis pro –imperialis, selain PSI dan Masyumi) berhadapan dengan politik kekuatan kiri yang di pimpin oleh PKI. Maka menurut Gie, PKI harus di hentikan karena tiap hari makin kelihatan pembesarannya dan semakin mengancam, kemudian, Bung Karno juga harus dihentikan karena condong kepihak kiri-komunis dan menegakkan demokrasi terpimpin. Maka, menurutku gerakan moral adalah metode kelompok kanan untuk menghambat, menghentikan mobilisasi politik klas-klas tertindas. Maka tepat yang dikatakan Arbi Sanit bahwa gerakan mahasiswa hanyalah gerakan koreksi, bukan gerakan politik. Gerakan moral mengakui harus ada kerjasama antara gerakan mahasiswa dan sektor masyarakat untuk memassalkan koreksi, tetapi hanya dalam rangka serah-terima tanggung jawab dari permasalahan yang dimunculkan, untuk selanjutnya eksekusi/penyelesaiannya di serahkan kemasayarakat atau parpol.

LMND sudah sejak awal kelahirannya, menegaskan bahwa perjuangan politiklah jalan satu-satunya bagi gerakan mahasiswa dan rakyat untuk mengakhiri penindasan yang berakar pada struktur sosial masyarakat berkelas. Pandangan ini berakar pada pandangan Marxisme bahwa kepentingan klas-klas adalah sesuatu yang tak-terdamaikan, kalaupun bisa di kompromikan hanya dalam batasan waktu tertentu setelah itu akan meletup pertentangan yang tak terhindarkan. Eksistensi negara borjuis sendiri adalah produk dan manifestasi dari tak terdamaikannya antagonisme-antagonisme kelas. Negara timbul ketika, di mana dan untuk perpanjangan terjadinya antagonisme-antagonisme kelas secara obyektif tidak dapat didamaikan. Dan sebaliknya, eksistensi negara membuktikan bahwa antagonisme-antagonisme kelas adalah tak terdamaikan.

Seringkali argumentasi gerakan moral mengatakan bahwa politik itu kotor, masuk dalam arena politik borjuis adalah sama saja menceburkan diri dalam sebuah arena yang kotor. Banyak unsur gerakan mahasiswa menolak gerakan politik karena hakekatnya adalah kekuasaan. Politik memang arena perebutan kekuasaan, yakni kekuasaan politik klas-klas. Disadari atau tidak, pertarungan politik di tingkatan borjuis akan mempengaruhi dinamika klas-klas lainnya. Marxisme mengajarkan bahwa politik adalah arena pertarungan kepentingan klas-klas sosial, sumbu untuk perebutan kekuasaan dari suatu klas ke tangan klas lainnya hanyalah lewat politik. Sehingga tugas kaum revolusioner adalah harus mendekatkan kekuatan klas pekerja—klas tertindas dalam arena politik, agar segi-segi pertarungan klas itu melahirkan kesadaran klas tertindas yang sejati untuk merebut kekuasaan. Adalah omong kosong, fikiran yang ingin menciptakan perebutan kekuasana politik borjuis ketangan klas pekerja sedangkan kekuatan klas pekerja (partai, serikat, aksi-aksi, propoganda) dijauhkan dari arena politik. Ini sama bodohnya dengan tindakan kaum Blanquis yang mau menciptakan perebutan kekuasaan politik dengan metode konspirasional.

Politik kotor di republik ini adalah buah dari panggung politik yang di kuasai dan didominasi kekuatan politik dan partai-partai borjuis. Sama saja dengan ajaran filsafat kita bahwa gerak sebuah materi di tentukan oleh kualitas dan kuantitas dari materi itu sendiri. Sistem politik kotor inilah oleh sejumlah kalangan intelektual dikatakan sebagai oligarkhi politik, dimana sistem politik di dominasi oleh satu kekuatan politik saja; pemilik modal.

LMND dan Perjuangan Parlementer

Parlementer merupakan bangunan politik borjuis untuk menyeleksi kekuatan borjuasi mana yang akan memimpin. Lenin mengatakan bahwa “ Hakekat dari Parlementarisme adalah-----Untuk sekali dalam setiap beberapa tahun menetapkan anggota yang mana dari kelas yang berkuasa yang harus menindas dan menghantam Rakyat melalui parlemen —inilah esensi sebenarnya dari parlementerisme borjuis, tidak saja di monarki-monarki parlementer-konstitusional tetapi juga di kebanyakan republik-republik demokratis”. Jadi sebuah badan demokratis diantara bagi kaum borjuis untuk menentukan borjuis mana yang akan memegang kekuasaan penuh untuk menindas klas tertindas, sehingga tidak mungkin mengharapkan parlemen akan berpihak kepada klas pekerja. Namun, kritik kita terhadap Perlemen sangat berbeda dengan kritik kaum anarkis yang menuntut penghapusan total parlemen seketika termasuk penghapusan lembaga-lembaga perwakilan dan prinsip pemilihan. Padahal bagi Lenin (mengikuti Marx dan Engels) adalah mengubah lembaga-lembaga perwakilan dari warung obrolan menjadi badan-badan “yang bekerja”. “Komune haruslah suatu badan pekerja, bukannya badan parlementer, yang sekaligus eksekutif dan legislatif. Tekanannya adalah komune sebagai badan yang berfungsi eksekutif dan legislatif dan bekerja untuk kepentingan mayoritas klas tertindas.

Dalam mendemonstrasikan taktik maka parlementer harus di pandang sebagai arena (ruang) politik yang bisa dimanfaatkan kekuatan revolusioner, ketika ada kesimpulan bahwa kesadaran massa masih mempercayai instrumen parlementer. Maka, ruang parlementer sama pentingnya dengan ruang ekstra-parlementer dalam kekhususan situasinya. Ketika demonstrasi massa belum bisa menembus kesadaran ekonomis/spontanitasnya menjadi kesadaran politik (berkuasa), maka jalan parlementer sah untuk di gunakan. Ketika demonstrasi massa yang terpimpin dan sadar sudah sampai pada kesimpulan perebutan kekuasaan politik, maka jalan insureksi adalah kewajiban sejati (tidak bisa di tawar-tawar lagi). Namun proses mengakumulasi kesadaran massa untuk sampai ketitik perebutan kekuasaan politik itu harus di mainkan dalam arena-arena parlementer dan ekstra-parlementer, tidak boleh dikotomikan.

Ideologi kapitalisme dalam tatanan masyarakat neoliberal seperti sekarang sangat sukses dalam mencekoki fikiran-fikiran dan kesadaran massa. –misalnya lebih mendasarkan pilihannya pada figur, slogan heroisme semata, atau sibol-simbol, bukan pada program. Kesadaran massa yang masih rendah ini menyebabkan mereka memandang bahwa lembaga-lembaga demokrasi berkarakter borjuis adalah jalan keluar dari ketertindasan mereka. Kita tidak dapat menyadarkan massa hanya dengan jalan propaganda saja melainkan massa sendiri harus disadarkan oleh hasil pengalaman perjuangan mereka dalam menuntut kesetiaan lembaga-lembaga borjuis tersebut. Kesadaran massa yang rendah, yang masih mempercayai lembaga demokrasi borjuis (parlemen misalnya) mengharuskan partai menjalankan taktik masuk ke dalamnya bekerja justru untuk menghancurkannya.[4]

Demokrasi liberal ini adalah sistem yang sudah lama mencekoki fikiran rakyat, untuk membabatnya membutuhkan pekerjaan panjang, intens, dan memanfaatkan semua ruang yang ada. Kesadaran massa yang rendah tidak bisa di paksakan untuk diarahkan pada tujuan utama gerakan; perebutan kekuasaan politik. Kesadaran massa awalnya ekonomis, kaum sosialis tidak boleh “ngotot” memaksakan untuk melakukan pemberontakan, sehingga dalam pekerjaan dengan massa, kaum revolusioner tidak boleh mengabaikan tuntutan reformis/moderat. Kendati, terkadang sebuah revolusi tercipta dari sebagai hasil gerak perlawanan yang spontan/letupan. Kita tentu tidak akan menyandarkan aktivitas partai untuk menunggu letupan, karena kalau itu dilakukan berarti kita telah sukses menjadikan partai bekerja dalam langgam advonturisme/petualangisme. Partai harus diletakkan pada aktivitas yang tersistematis, dan strategi taktik harus diletakkan pada perkembangan objektif kesadaran massa dan organisasi-organisasi perlawanannya. Seperti yang ditulis oleh Lenin dalam Dari Mana Kita Mulai:

“Kesimpulannya, sebenarnya hanya sedikit kata-kata yang dapat menghindarkan kesalahpahaman yang mungkin timbul. Setiap saat, kami telah mengatakan (secara tersirat) tentang persiapan yang sistimatis dan terencana --akan tetapi hal itu belum menjadi perhatian kita-- yakni bahwa otokrasi dapat tumbang hanya sebagai hasil dari pengepungan reguler dan serangan yang terorganisir. Memang, pandangan demikian akan menjadi absur dan doktriner. Sebaliknya, adalah juga memungkinkan, dan secara historis lebih memungkinkan, bahwa otokrasi akan hancur/tumbang di bawah tekanan ledakan spontan demikian, atau komplikasi politis tak terduga yang terus menerus menyerang dari segala sudut. Akan tetapi, tak ada satu pun partai politik, bila tidak ingin jatuh ke dalam petualangan, yang dapat mendasarkan aktifitasnya pada kalkulasi ledakan dan komplikasi demikian. Kita harus berangkat di jalan kita sendiri, secara tabah terlibat di dalam kerja-kerja yang sistimatis, dan, semakin kita menyimpang dari sesuatu yang tidak diharapkan, maka semakin besar ketidakmungkinan yang kita genggam, karena dilelapkan oleh suatu perubahan historis”[5].

Kongres IV LMND telah menyimpulkan situasi kesadaran massa rakyat indonesia sekarang masihlah percaya pada ilusi parlementaris. Begitu banyak perlawanan yang muncul (ini harus diakui), bahkan intensitas dan geografinya semakin meningkat dan meluas. Tetapi, karakter perlawanan yang muncul masih spontan, ekonomis, dan energinya masih pendek. Berkali-kali, beberapa perlawanan massa itu bisa ditangkap oleh elemen gerakan dimanfaatkan dan dimajukan, Tetapi, potensi massa yang terolah oleh unsur gerakan inipun masih sangat rapuh dalam makna bahwa masih sangat di pengaruhi oleh kepentingan pragmatis massa; penyelesaian persoalan mereka. Sehingga, jika momentumnya berubah atau kepentingan minimum mereka sudah terpenuhi atau karena faktor lain (harus bekerja full untuk makan, atau tidak ada kemenangan-kemenangan kecil dalam perjuangan) maka kemanpuan mobilisasi unsur-unsur inipun akan mengecil.

Memanfaatkan arena parlementer dalam situasi sekarang adalah merupakan kesimpulan kita. Tetapi, bukan parlementer an sich karena sedari awal sudah menyadari keterbatasan-keterbatasan sistem ini. Sehingga bentuk pengolahannnya harus betul-betul maksimal, tentunya didasarkan dengan situasi objektif organisasi, makanya muncul konsepsi harus konsentrasikan kekuatan. Karena pengolahan dengan memfragmentasikan kekuatan itu sama saja tidak memaksimalkan taktik, dan susah untuk menentukan tagihan output politiknya. Makanya, aku kurang tidak sepakat dengan usulan taktik memanfaatkan semua arena, karena itu sama saja memfragmentasikan kekuatan kita. Padahal, suka atau tidak suka, panggung politik nasional kedepan menjelang 2009 akan semakin bergerak kearena tunggal yakni pemilu. Sangat susah memproyeksikan situasi di luar arena pemilu karena fokus semua kekuatan borjuis beserta aparatusnya (media massa, ceramah masjid,dll) dan massa rakyat masih parlementaris ini pun semuanya akan tersedot ke pemilu.

LMND Dan Partai Koalisi

"Dalam masa untuk mengawali insureksi revolusioner, salah satu pekerjaan utama kita adalah propaganda dan agitasi revolusioner. Namun, pada saat ini kebanyakan perkerjaaan masih dipersiapkan dan dikerjakan dengan cara-cara lama yang formal dan terbatas pada intervensi sporadis dalam pertemuan-pertemuan massa, tanpa suatu perhatian khusus pada pidato dan phamplet yang berisikan kenyataan revolusioner."

(V.I Lenin)

Pertama-tama aku ingin menjelaskan bahwa dalam memasuki arena politik borjuis ini, syarat-syarat dan aturan main di buat oleh mereka, dengan situasi yang lebih mengauntungkan kelompok mereka. Dalam kerangka neoliberal, demokrasi bermakna mereka yang mengontrol kekuasaan negara haruslah memfasilitasi dan menjaga agar standar, prinsip dan nilai-nilai kapitalisme-neoliberal bekerja sebagai sesuatu yang normal. Itulah yang kemudian disebut Boltadano sebagai demokrasi-neoliberal. Konsekuensinya, semua pemain yang akan memasuki arena tersebut harus mengikuti dan mematuhi aturan main yang sudah di putuskan oleh mereka. Tetapi, bukan berarti bahwa karena arena itu sudah di format oleh kaum borjuis maka gerakan revolusioner tidak usah memanfaatkannya. Ibaratanya sebuah konser musik dimana Event Organizer sudah menset-up acara dengan aturan main buat penonton, susunan acara, dan sebagainya agar acara tersebut bisa berlansung dengan aman, tetapi tetap saja ada penonton tidak bayar karcis bisa masuk, dan kadang-kadang konser pun banyak berakhir rusuh. Maksudnya adalah bahwa meskipun panggung politik itu sudah di set-up menurut aturan kepentingan borjuis, tapi dalam kompetisi dan memenangkan dukungan, keampuhan propoganda merupakan faktor pokok siapa yang bakal jadi pemenang. Itulah, kenapa beberapa pemilu yang di buat dalam kerangka demokrasi borjuis bisa di menangkan kekuatan politik kiri, seperti pengalaman Allende di Chile, dan pengalaman Presiden-presiden kiri di Amerika Latin saat ini.

Karena harus mengikuti aturan mereka (paket UU Politik) maka partai dalam memainkan taktik di haruskan se-fleksibel mungkin dengan memenangkan hal-hal yang prinsipil untuk kebebasan mengolah arena tersebut. seberapa jauh kerugian yang dirasakan partai dalam mematuhi syarat formal mekanisme borjuis haruslah memberikan keuntungan lebih besar dalam capaian akhir taktik ini.

Inilah keanehan sistem politik borjuis di Indonesia, jika di bandingkan demokrasi borjuis di barat, maka aturan politik borjuis di Indonesia masihlah kanak-kanak, masih tambal sulam sana-sini, masih rendah levelnya dengan mekanisme demokrasi borjuis di barat. Di manapun, yang namanya partai koalisi adalah penggabungan beberapa parpol dengan tidak menghilangkan atau meleburkan partai. Partai koalisi itupun bekerja temporer, maksudnya bahwa koalisi bisa bubar setelah targetan politik tercapai oleh unsur-unsur dalam koalisi. Tetapi, di Indonesia yang dimaksud dengan koalisi hanyalah partai-partai peserta pemilu yang sudah ada di parlemen, sedangkan partai baru yang masuk di kenal istilah “fusi”.

Sehingga gambaran partai koalisi kedepan adalah mensiasati UU politik ini, dengan melakukan koalisi dalam parpol tetapi embel-embel kata partai di hilangkan, jadinya penyebutannya hanya “p-a-p-e-r-n-a-s”. Tidak ada perubahan papernas jadi ormas dalam koalisi, karena sejatinya koalisi adalah penggabungan parpol-parpol, dan eksistensi papernas sebagai partai tetap ada dalam koalisi. Hanya saja kita tidak akan menyebutkan kata “partai” karena kalau di lakukan maka dianggap tidak sesuai dengan penafsiran UU politik dan partai koalisi bisa di verivikasi sama dengan partai-partai baru (potensial kita susah lolos lagi).

Lantas, dengan tidak di sebutkannya kata “partai” berarti kita adalah ormas dalam koalisi? Tidak! Ini hanya persoalan diksi, secara substansi papernas tetap merupakan partai yang terlibat dalam koalisi. apakah ketika kata “Budi” di lepaskan dari manusia beridentitas Budi, lantas diganti dengan “Rudi” merubab substansi (bentuk, isi, watak) dari si “Budi”? (jawab sendiri). Dalam sejarah 32 tahun kekuasaan Orde Baru yang namanya Golkar itu tidak pernah menggunakan “partai”, malahah oleh Soeharto di katakan bahwa Golkar adalah golongan bukan partai, tetapi rakyat tetap menganggap golkar adalah partai karena ikut pemilu. Di pemilu 1955 yang ikut menjadi peserta pemilu bukan hanya parpol tetapi juga ada unsur golongan, daerah dan lain-lain. Bukankah kita manusia yang di persenjatai dengan logika dialektis bukan formalis, agar kita bisa melipatgandakan kekuatan untuk menghancurkan musuh massa rakyat.

Secara substansial tidak ada perubahan papernas jadi ormas karena kendati tidak menggunakan embel kata “partai” tetapi papernas bisa masuk dalam pemilu dengan kendaraan partai koalisi. Justru, tindakan menarik papernas dan ormas-ormasnya dari pertarungan politik real adalah logika berfikir Ormas. Karena, dalam logika berfikir rakyat sekarang partai itu adalah yang ikut pemilu.

Dari konfigurasi kekuatan politik borjuis sekarang yang ada di parlemen, tidak ada satupun yang betul-betul konsisten dengan perjuangan rakyat (namanya saja partai borjuis hehehehe). Sehingga dalam kepentingan koalisi, suka tidak suka (enak nggak enak) harus melakukan koalisi dengan mereka sebagai prasyarat masuk dalam arena pemilu sebagai kontestan. Prinsip yang kita pegang adalah bahwa arena koalisi harus memenangkan ruang keleluasaan berpropoganda program kita dan mengeritik teman koalisi kita yang tidak konsisten dengan kesepakatan. Bentuk propoganda papernas tentunya berdasarkan hitungan politik yang tidak merugikan kepentingan politik jangka panjang (hingga pemilu usai). Sehingga cara mengemasnya bisa di variasikan, disesuaikan antara kualitas program (maksimum/minimum) dengan alatnya (papernas, ormas pendukung, front yang menguntuangkan taktik). Hal ini yang kumaksudkan sebagai kelihaian dan keluwesan menjalankan taktik guna memperbesar kekuatan menuju kemenangan rakyat.

Tidak boleh kekanak-kanakan dalam memainkan ruang politik, karena selamanya kita hanya akan menjadi pengkhotbah masa depan masyarakat adil-makmur tapi takut dalam memanfaatkan segala ruang menuju kesana. Eep Syaifullah fatah, seorang pengamat politik muda berbakat (dalam diskusi di galeri publik, 1/10/2007) mengatakan bahwa salah satu kesalahan gerakan prodemokrasi di Indonesia (termasuk gerakan mahasiswa) adalah terlalu kaku melihat hal-hal yang tidak substansial. Sebagai contoh; karena pemahaman mereka bahwa pemilu itu arena borjuis, partai itu kotor, parlemen itu membohongi rakyat, sehingga mereka betul-betul menjauhi panggung itu. Padahal hal-hal yang dianggap buruk tadi masihlah menjadi kunci untuk melakukan proses perubahan, memutuskan kesinambungan politik kekuatan lama dan elit yang sudah usang. Justru pandangan kaum pergerakan yang seperti ini memberikan ruang yang sangat leluasa bagi kekuatan politik lama, elit politik usang, atau pemain baru tetapi wataknya sama dengan pemain lama untuk menjaga kesinambungan politik kotor dan korup ini. Mau tidak mau, gerakan harus masuk dalam arena tersebut, yang paling prinsipil adalah gerakan harus membawa visi-misinya yang sejati dan tidak meninggalkan garis politik dan ideologinya.

Supaya gerbong koalisi bisa bermain dalam kepentingan politik kita maka kita bisa mengikat partai teman koalisi dalam flatform dan kesepakatan-kesepakaatan program (Tripanji[6], program minimum, dan program sektoral) yang semuanya tertuang dalam konstitusi. Ada bupati partai A yang politiknya busuk, elit partai B menindas, maka adalah kepentingan kita untuk mengkritik/melawannya (dan menjatuhkannya). Ada pengalaman menarik dalam sejarah Gerwani, yakni ketika Presiden Soekarno memutuskan untuk ber-istri lagi ormas-ormas perempuan mengkritik soekarno karena berpoligami. Sedangkan, Gerwani berposisi tidak terlalu keras atas persoalan ini dalam kerangka menyokong politik anti-Imperialisme yang sedang digalang dalam front nasional dengan soekarno.

Soal flatform dan program perjuangan sejauh ini tidak ada penolakan dari calon sekutu taktis kita, kecuali penyesuaian-penyesuaian redaksional. Flatform yang kita tawarkan (dan potensial disepakati calon sekutu) adalah anti-imperialisme. Sedangkan program tripanji, secara substansi tidak ada penolakan, hanya saja kalau bisa ada perubahan redaksional untuk mengeleminir kampanye kontra yang menganggap tripanji idiom komunis. Soal program tuntutan (mendesak) seharusnya di fokuskan pada beberapa isu pokok yang secara politik nasional terus muncul dalam tuntutan perlawanan dan belum sanggup diatasi pemerintah. Di forum pleno DPP –Papernas sudah muncul usulan fokus program mendesaknya adalah (1) pendidikan gratis, (2) kesehatan gratis, (3). Turunkan harga.

Bagaimana Memaksimalkan Taktik ini?

Sebuah Organisasi revolusioner yang masih kecil harus mampu mengolah kemanpuan subjektifnya (struktur, program, dan organisasi) untuk mendapatkan capaian-capaian maksimum/minimum, sekaligus investasi (tabungan) untuk tahap perjuangan selanjutnya. Kita di tuntut kesanggupan memanajemen sumber daya organisasi meliputi; kader, simpatisan, kontak politik, simpatisan, dan logistik untuk sebuah targetan politik jangka pendek/jangka panjang. Dari sinilah, prinsip sentralisme demokrasi menjadi perkakas/alat untuk membuat mesin organisasi bisa berjalan dalam satu kesatuan. Maka, harus ada prinsip kesatuan tindakan dan kesatuan aksi yang menghubungkan seluruh badan dalam organisasi (dari nasional hingga komisariat/basis) dengan pekerjaan politik organisasi. Jadi, setiap upaya memecah belah kesatuan tindakan dan kesatuan aksi merupakan tindakan melemahkan organisasi, melemahkan politika organisasi, dan meminimalkan capaian program dan stratak organisasi. Ini adalah aspek pertama dalam manajemen organisasi dan prinsip geraknya.

Selanjutnya, bahwa dalam memaksimalkan capaian politik (kampanye program), maupun capaian organisasi (perluasan struktur) maka dalam pekerjaan organisasi dari nasional hingga komisariat/basis perlu mempertimbangkan apakah pekerjaan itu harus di konsentrasikan? Atau tidak perlu. Konsentrasi merupakan pilihan taktik bagi organisasi revolusioner di masa-masa kekuatan subjektif masih kecil dan momentum politik yang begitu banyak (luas). Dalam taktik intervensi pemilu 2009 ada beberapa hal yang patut di hitung; (1). Kemampuan dan kesanggupan subjektif kita (resources dan logistik), (2). Arena politik menuju pemilu 2009,(3). Faktor geografis indonesia yang cukup luas dan berkepulauan di hubungkan dengan sebaran struktur kita. (4). konstalasi politik borjuis dan dinamika perlawanan massa. (5). Serangan dan refresifitas rejim dalam bentuk hambatan ruang politik ataun serangan terbuka (fisik).

Aku mengusulkan bahwa pekerjaan organisasi kedepan harus lebih difokuskan lagi, perlu penegasan ulang kawan-kawan dalam mekanisme sentralisme demokrasi tidak berjalan. Dalam posisi menjalankan taktik pemilu 2009 sebagai panggung politik yang menyediakan kita ruang bagi kita untuk propoganda program, memunculkan tokoh alternatif, struktur, dan logistik, ditengah kesadaran massa yang masih percaya dengan ilusi parlementarisme, maka menjadi penting bagi kita untuk memaksimalkan arena ini. Itulah konsekuensi stratak, semua sumber daya organisasi harus di abdikan kesana, agar bisa di ukur capaian politik dan organisasinya secara objektif.

Kita mengakui bahwa arena pemilu adalah sebuah arena yang moderat, penuh batasan-batasan dan hambatan dalam menjalankan propoganda program kita. Tarikan pekerjaan organisasi tidak boleh hanya menghitung seberapa leluasa ruang gerak dan aktivitas kita, karena kalau logika yang seperti ini yang dipakai, maka di bawah situasi yang sangat refresif (tidak ada ruang) maka aktivitas organisasi akan dihentikan. Jika diletakkan dalam pengalaman sejarah, ketika di Jerman di berlakukan UU anti-sosialis maka partai jangan memanfaatkan ruang pemilu karena itu jebakan. Tidak! Tarikan dari aspek lain yang justru sangat penting adalah (1). menghubungkan dengan kesadaran massa sehingga dari titik ini program kita akan ketemu dengan massa dan harus memajukannya(lonjakan). (2). Karena massa masih terilusi dengan ruang itu maka massa termobilisasi kesitu, dan tugas kita adalah berpropoganda di ruang tersebut agar mereka sadar akan keterbatasan parlemen borjuis. Harus diakui bahwa pengolahan massa di arena pemilu adalah parlementaris, tetapi jika itu tidak dilakukan sejak awal dalam pekerjaan organisasi maka tidak ada langka kedepan (3). Konstalasi politik pertarungan klas borjuis menghadapi pemilu 2009 akan semakin memanas, persekutuan sementara terbentuk antara borjuis2 itu, manuver-manuver politik akan di lancarkan. Klas borjuis dengan menggunakan mesin politiknya akan memanfaatkan segala macam cara untuk mendapatkan dukungan rakyat; dengan janji, dengan uang, dengan kaos, dan segala macam cara. Klas berjuasi yang berkuasa sekarang pun akan menggunakan cara untuk mempertahankan posisinya, salah satunya dengan meminimalisir(mengurangi) kebijakannya yang di hitung kurang populis. Dalam situasi dengan begitu banyak sogokan dan bujuk rayu, maka akan susah berharap ada letupan/ledakan perlawanan massa yang menguntungkan pekerjaan ekstra-parlementer.

Maka tawaran bekerja di dua arena sekaligus adalah tawaran tidak masuk akan dalam aspek kesanggupan subjektif organisasi dan sekaligus proyeksi politik bojuis dan dinamika perlawanan massa kedepan. Tawaran itu tidak memberi kemaksimalan organisasi menghitung kemaksimalan strategi-taktik, karena sejak awal di fragmentasikan. Dan tawaran ini adalah merupakan bentuk spekulasi, kebimbangan politik, dan sekaligus inkosistensi dalam kewajiban berpropoganda kepada massa rakyat.

Maka bagiku, pekerjaan organisasi kedepan dari nasional hingga basis adalah di konsentrasikan pada taktik parlementer. Persoalan alat, bentuk panggung, dan metode akan di sesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan politik organisasi. Misalnya; pekerjaan basis komisariat A adalah merebut kepemimpinan BEM (sebagai potensi memaksimalkan ruang mendukung taktik pemilu) maka sejak awal bentuk pengolahannya di setup tidak lepas dengan pekerjaan taktik intervensi pemilu. Pemilu raya fakultas bisa jadi satu alat kita untuk mengumpulkan massa bicara program politik minimum( program komisariat) dan program politik nasional (tripanji, stratak pemilu, dll), dengan menghadirkan pimpinan kota LMND atau pengurus papernas setempat untuk berbicara disitu.

Ada potensi pergolakan di kampus A yang merupakan kabupaten/kota dapil papernas, dan ada ruang mengintervensi? Maka, pengolahan kampus A dengan maksimal akan memberikan keuntungan pada popularitas papernas dan politik dapil. Ini juga akan berpengaruh pada tekanan/pressure dari luar terhadap politik kampus yang menguntungkan kita dalam pekerjaan pengolahan kampus itu (front, radikalisasi, dan struktur).

Dalam hal politik front dan penggalangan sekutu karena ada konsentrasi pekerjaan organisasi di arena parlementer maka aspek penggalangan sekutu di prioritaskan pada (i) yang sepakat dengan taktik parlementer, (ii). Front yang terbangun di daerah dapil. Front-front dan organisasi yang tidak sepakat dengan taktik tetapi berada di daerah dapil akan tetap kita ambil. Sehingga dalam memposisikan organisasi-organisasi tersebut hanya sebagai mengambil peluang delegitimasi terhadap kekuatan politik borjuis; sebagai contoh aksi2 anti korupsi akan mendeligitimasi politisi korup, dan lain-lain. Praktek ini dalam kerangka mendukung fokus politik organisasi dan maksimalisasinya, yang bermuara pada popularitas dan dukungan terhadap partai.

Penutup

Sebuah organisasi harus menyusun pekerjaannya dengan tahapan kerja yang tersistematis, dan berlandaskan benar-benar pada perkembangan situasi objektif real. Tidak bisa, organisasi revolusioner terus menerus menyandarkan aktivitasnya pada menunggu letupan-letupan (momentum) dan kemudian datang kesana dengan propoganda sporadis. Meskipun kita tidak bisa menolak untuk mengakui bahwa beberapa revolusi justru di stimulasi oleh letupan-letupan. Tetapi, untuk sekarang, sangat susah untuk memproyeksikan dan memprediksi letupan-letupan akan membawa krisis revolusioner.


Dan tidak tepat, untuk menghakimi sebuah taktik dengan prasangka-prasangka buruk, asumsi-asumsi ketakutan dan sebagainya, sebelum taktik itu di praktekkan dan dinilai capaiannya. Hal-hal tersebut, hanya akan membuat kita kaku dalam melakukan aktivitas revolusioner atau malah jadi komentator yang hanya bisa berkomentar tetapi belum tentu sanggup mengerjakan.

Bukan kawan-kawan yang akan menjadi hakim yang adil untuk menghakimi kami! Tetapi sejarah-lah yang akan menyimpulkan “kebenaran”, dan siapa yang benar dalam menyimpulkan dan konsisten menjalankan taktik. Dan kalaupun kami akhirnya salah dan mengalami kekalahan! Maka sejarah dan massa rakyat-lah yang akan menyeret kami kedalam pengadilan di generasi berikutnya. Dan aku menutup tulisan ini dengan mengutip kata-kata Ali Archam, tokoh Pimpinan PKI dalam pemberontakan 1926-1927, sebagai berikut;

Suatu pemberontakan yang mengalami kekalahan adalah tetap sah dan benar. Kita terima kekalahan ini karena musuh lebih kuat; kita terima pembuangan ini sebagai resiko perjuangan yang kalah. Tidak di antara kita yang salah, karena kita melawan penjajahan. Pihak yang salah adalah pemerintah kolonial”

Selamat Berjuang!

Tidak ada komentar: