Senin, 26 Mei 2008

Kesehatan Gratis, Massal, dan Berkualitas bagi Seluruh Rakyat

“tiap orang mempunyai hak untuk hidup pada standar yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan dan keluarga, termasuk hak untuk mendapat makanan, perumahan, dan pelayanan kesehatan”

Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), artikel 25

Tak jauh berbeda dari anggaran pendidikan yang hanya naik sedikit (0,2%) dari tahun sebelumnya, pada sidang paripurna DPR 16 Agustus 2007 Presiden SBY menyampaikan bahwa anggaran kesehatan dalam RAPBN 2008 hanya dialokasikan sebesar Rp 18,7 triliun. Jumlah tersebut lebih rendah dari pos APBN yang sama pada tahun sebelumnya- sebesar Rp 19,2 triliun. Sementara itu, alokasi RAPBN 2008 untuk pembayaran cicilan utang dan bunganya masih tetap tinggi- sebesar Rp 151 triliun. Di dalam negara miskin seperti Indonesia, dimana akses pelayanan kesehatan sangatlah langka dan mahal, pemerintahannya ‘tega’ mengalokasikan anggaran pembayaran utang luar negeri tujuh kali lipat lebih besar dari anggaran untuk kesehatan rakyatnya. Tindakan pemerintahan SBY-JK semacam demikian hanya masuk akal jika dipandang dari sudut kacamata neoliberal.

Lalu seperti apakah kondisi pelayanan kesehatan di negara ini. Beberapa fakta berikut dapat menjelaskan situasi yang sesungguhnya:

  1. Minimnya anggaran kesehatan

Dalam laporan WHO (2005) untuk setiap penduduk Indonesia, pemerintah hanya mengalokasikan US$ 4 (sekitar Rp 34.000) per tahun untuk sektor kesehatan. Bandingkan hal ini dengan Malaysia yang pemerintahnya mengalokasikan US$ 77 (Rp. 654.000) per tahun per kapita. Hal tersebut bukanlah diakibatkan terlalu banyaknya penduduk Indonesia. Secara umum, walau jumlah penduduknya terbanyak di Asia Tenggara, alokasi anggarannya (dihitung berdasarkan persen PDB dan APBN) masih terhitung paling rendah di wilayah yang sama. Selain itu, pengeluaran rakyat secara swadaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan masih sangat tinggi. Tabel di bawah (berangka tahun 2002) dapat menjelaskannya.

No.

Negara

Total Biaya Kesehatan terhadap PDB (%)

Anggaran Pemerintah untuk Kesehatan terhadap Total Anggaran (%)

Pengeluaran Masyarakat untuk Kesehatan terhadap Total Biaya Kesehatan (%)

1.

Brunei Darussalam

3.1

5.4

20,0

2.

Kamboja

8.1

20.5

75.5

3.

INDONESIA

2.7

3.1

76.3

4.

Laos

3.4

5,0

62,0

5.

Malaysia

2.5

5.8

41.2

6.

Myanmar

2.2

6.5

82.9

7.

Filipina

3.4

6.7

54.3

8.

Singapura

3.5

6.7

64.3

9.

Thailand

3.7

11.4

42.6

10.

Vietnam

5.2

6.5

74.2

11.

Jepang

7,8

15,4

23,3

  1. Minimnya tenaga kesehatan.

Saat ini jumlah dokter di Indonesia mencapai 70 ribu orang- terdiri dari dokter umum 50 ribu (1 dokter per 4200 penduduk), dan dokter spesialis 20 ribu (1 dokter per 10.500 penduduk). Lulusan dokter per tahun (dari 52 fakultas kedokteran) hanya 5.000 orang. Dari lulusan dokter baru ini, hanya 2.500 yang meneruskan profesi sebagai dokter. Tidak heran akhirnya muncul realitas 30 persen puskesmas di Indonesia tak memiliki dokter dan 60% rumah sakit tidak memiliki dokter spesialis. Begitupun dengan dokter spesialis. Dalam hal ketersediaan tenaga dokter spesialis, Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara lain. Menurut Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Fachmi Idris, saat ini Indonesia masih kekurangan sekitar 30 ribu dokter umum dan 45 ribu dokter spesialis bedah. Sedangkan, ketersediaan tenaga perawat, ahli gizi, apoteker dan sanitarian (ahli kesehatan lingkungan) kondisinya sama buruknya dengan dokter. Jumlah keempat profesi tersebut secara berturut-turut sampai dengan 2003 diperkirakan hanya sebanyak 233.116 orang (1 perawat per 900 penduduk), ±500 orang (1 ahli gizi per 420.000 orang), 12.000 orang (1 apoteker per 20.000 penduduk) dan 12.461 orang (1 sanitarian per 16.850 penduduk).

  1. Minimnya (kualitas dan kuantitas) infrastruktur kesehatan

Kuantitas infrastruktur kesehatan sangat berkaitan dengan jumlah rumah sakit, puskesmas, dan posyandu. Sampai saat ini jumlah rumah sakit, puskesmas di Indonesia berturut-turut tercatat 1.112 unit, 7.452 unit, dan 240.828 unit. Jumlah tersebut tidaklah cukup bagi 210 juta rakyat Indonesia. Lihat saja, saat ini rasio jumlah ranjang rumah sakit per penduduk hanya sekitar 6:10.000. Kondisi demikian juga yang dapat menyebabkan minimnya penyerapan tenaga kesehatan nantinya. Secara kualitas, pelayanan kesehatan di Indonesia juga masih minim dan tidak merata. Tak jarang kita temui di rumah-rumah sakit rujukan provinsi masih kekurangan fasilitas semacam mobil ambulans maupun peralatan medik semacam ct-scan. Hal barusan sudah tidak aneh lagi di bumi nusantara ini.

  1. Tingginya harga obat-obatan

Di tengah-tengah alam raya kekayaan tanaman medisinal (obat-obatan) begitu luar biasa, harga obat-obatan di Indonesia masih sangat tinggi. Secara umum, harga obat-obatan di Indonesia lebih tinggi dari harga internasional- bahkan termasuk yang tertinggi di Asia. Sebagai sesama negara yang jumlah penduduk miskinnya besar di Asia, harga obat-obatan kita kurang lebih tiga kali lipat harga di Cina dan India. Tingginya harga ini menyebabkan pengeluaran rakyat kita untuk obat-obatan dapat mencapai 40% dari total biaya perawatan kesehatan. Padahal di sisi lain kebutuhan obat-obatan terus meningkat di dalam negeri. Berikut ini adalah penyebab tingginya harga obat-obatan di negeri kita:

- Lemahnya industri farmasi nasional akibat minimnya perhatian pemerintah dan tingginya ketergantungan pada bahan baku impor.

- Monopolistiknya korporasi-korporasi farmasi internasional dalam pasar obat dalam negeri. Akibatnya walau tidak berbeda secara kualitas, obat generik produk korporasi yang harganya jauh lebih tinggi lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat dibanding obat generik keluaran pemerintah.

  1. Masih diskriminatifnya (akses) pelayanan kesehatan.

Bukan rahasia lagi jika pelayanan kesehatan untuk peningkatan kualitas hidup manusia belum bisa diakses dan dirasakan secara merata dan mudah oleh kalangan rakyat miskin, baik di perkotaan maupun pedesaan. Hal yang diakibatkan oleh tingginya biaya kesehatan yang ada dan tingkat perekonomian rakyat yang masih buruk ini secara langsung juga berakibat pada diskriminasi pelayanan rumah sakit bagi rakyat miskin. Meski pemerintah, melalui Depkes dan PT. Askes telah mengeluarkan program-program semacam Askeskin, Gakin, dll, dampaknya terhadap rakyat miskin masih kurang. Hal tersebut disebabkan oleh: minimnya sosialisasi pemerintah, efisiensi yang lemah, ‘kebandelan’ si rumah sakit, dan minimnya anggaran yang dialokasikan. Yang terakhir ini malah diperburuk dengan rencana pengurangan alokasi dana Askeskin pada RAPBN 2008.

Kesemua kondisi di atas, yang beberapa di antaranya saling berkaitan, menyebabkan kondisi kesehatan rakyat sebagai berikut:

- Resiko penyakit menular seperti malaria, DBD, dan tuberkulosis/TBC (sebagaimana laporan pembangunan manusia UNDP 2004) paling tinggi di antara sesama negara ASEAN.

- Sampai tahun 2006, jumlah kasus polio di Indonesia merupakan 18,5% total jumlah penderita polio didunia. Indonesia menduduki rangking ke 3 setelah Nigeria (629 kasus) dan Yaman (476 kasus).

- Rata-rata usia harapan hidup (UHH) penduduk Indonesia saat ini terendah di ASEAN. Hal ini antara lain disebabkan karena sebagian besar rakyat tidak mampu membiayai pelayanan kesehatan.

- Angka kematian ibu Indonesia tercatat 380 per 100.000 kelahiran hidup

- Angka kematian bayi tercatat 33 per 1.000 kelahiran hidup

Juga kondisi gizi rakyat sebagai berikut:

- 1,7 juta balita terancam gizi buruk dan sekitar 4 juta ibu hamil dan ibu menyusui menderita gangguan anemia karena kekurangan zat besi

- 350 ribu dari 4 juta bayi lahir dengan berat badan rendah

- 5 juta dari 18 juta Balita menderita gizi kurang,

- 10 juta dari 31 juta anak usia sekolah menderita anemia gizi,

- 3,5 juta dari 10 juta remana putri mengalami anemia gizi

- 30 juta dari 118 juta usia produktif mengalami Kurang Energi Kronik (KEK),

- 5 juta dari 9 juta USILA mengalami anemia gizi.

Kita sangat yakin bahwa jika sistem pelayanan kesehatan seperti sekarang masih terus diterapkan, kondisi kesehatan dan gizi mayoritas rakyat Indonesia tidak akan membaik. Apalagi setelah arus neoliberalisme (baca: liberalisasi) masuk ke sistem pelayanan kesehatan, dapat dipastikan kondisi tersebut di atas malah akan semakin memburuk. Maka dari itu, bagi rakyat Indonesia jalan yang terbaik adalah:

1. Menggratiskan seluruh layanan kesehatan diberbagai jenjangnya- pendanaan untuk penggratisan (beserta poin-poin berikutnya) diperoleh dari penyitaan harta koruptor, penghapusan utang luar negeri dan nasionalisasi pertambangan asing.

2. Menambah dan memeratakan jumlah dan kualitas infrastruktur pelayanan kesehatan dan institusi pendidikannya (fakultas kedokteran, sekolah farmasi, fakultas kesehatan masyarakat, sekolah perawat, dll) di seluruh Indonesia dengan tidak lupa meningkatkan pembangunan kualitas lingkungan hidup- terutama di wilayah yang rentan penyebaran penyakit.

3. Meningkatkan insentif bagi dokter, perawat, apoteker, ahli gizi, dan sanitarian.

4. Menerapkan sistem dokter keluarga secara utuh di wilayah Indonesia sebagai bagian dari pemassalan pelayanan kesehatan.

5. Mewajibkan penggunaan obat generik bagi seluruh fasilitas kesehatan publik beserta menerapkan hukuman yang berat bagi dokter yang berkolusi dengan apotek dan korporasi farmasi.

6. Membangun industri farmasi nasional yang besar dan mandiri- dalam tahap awal (sampai dapat memanfaatkan sendiri kekayaan tanaman medisinal) penghapusan pajak impor bahan baku dan PPN dapat dilakukan.

Asumsi jumlah penduduk 210 juta jiwa.

Di samping jumlahnya yang sangat sedikit, penyebarannya pun tidak merata, yaitu dengan rasio di pulau Jawa dengan luar Jawa = 4,1 : 1. Dokter spesialis bertumpuk di kota-kota besar di pulau Jawa, sedangkan di daerah lain masih sangat sedikit. Sebagian besar rumah sakit swasta sangat kekurangan dokter spesialis yang bekerja purna waktu. Di Jakarta saja terdapat 4441 spesialis yang merupakan 27 % dari jumlah spesialis yang ada di Indonesia

tambahan dokter spesialis obstetri dan ginekologi hanya 200 orang per tahun. Itu pun sebagian besar berdomisili di kota besar seperti Jakarta

Walau rasio ini kedua terendah di kalangan negara-negara Asia Tenggara (SEARO), pada kenyataannya sekitar 80% lulusan tenaga perawat di Indonesia masih belum terserap.

Standar jumlah ahli gizi menurut United Nation University adalah 1 orang per 10 ribu penduduk

Walau setiap tahunnya terdapat 2500 lulusan dari berbagai jurusan farmasi, dilansir hanya 10%nya yang memilih profesi apoteker.

terhitung jumlah tempat tidur keseluruhan yang ada hanyalah sekitar 123.168 buah

Ditambah puskesmas pembantu 21.959 unit, dan puskesmas keliling 5.818 unit

pasca-reformasi, jumlah posyandu aktif di Indonesia yang semula sekitar 500.000 posyandu merosot tinggal setengahnya.

Sekitar 25-30% di atas harga rujukan internasional (Studi MSH 2005)

jumlah industri farmasi nasional masih terbatas (hanya sekitar 190 buah). Bandingkan dengan India yang mencapai 13 ribu industri- yang cost production-nya disubsidi sampai 30-40% oleh pemerintahannya.

Sekitar 98% bahan baku obat kita diimpor, karenanya harga obat sangat tergantung pada gejolak pasar dunia.

Hal ini dimungkinkan oleh kuatnya kemampuan promosi produk korporasi-korporasi dibanding sosialisasi obat generik pemerintah dan (ditengarai) kuatnya kolusi antara dokter, apotek, dan korporasi soal rujukan obat bagi pasien.

Sebagai contoh adalah antibiotik jenis amoksisilin. Beberapa branded generic dari amoksisilin dijual di apotik seharga Rp2.800/kapsul 500 mg, sedangkan harga merk lain umumnya hanya sekitar Rp300/kapsul 500 mg.

Sering dengan pengurangan alokasi anggaran kesehatan secara umum di RAPBN 2008, dana Askeskin juga dapat dipastikan akan berkurang- mengingat dari tahun anggaran 2006 ke 2007 saja dana Askeskin turun dari Rp 3,6 triliun ke Rp 2,7 triliun.

Padahal sekitar 90 juta penduduk hidup di wilayah yang sering terjangkit malaria (Bappenas 2004)

Grafik jumlah penderita dan kematian akibat DBD terus meningkat dalam periode 1999-2004 (Bappenas 2004). Pada tanggal 6 Juni 2005, tercatat jumlah penderita demam berdarah dengue di seluruh Indonesia selama bulan Januari-Mei 2005 sejumlah 28.330 orang dengan jumlah kematian 330 orang (Subdirektorat Arbovirosis Ditjen P2M&PL 2005)

Bappenas (2004b) melaporkan bahwa Indonesia berada di urutan ketiga kasus tuberkulosis terbanyak di dunia, dengan sekitar 582.000 kasus baru setiap tahun

Indonesia (65), Brunei (76), Singapura (77), Malaysia (72), Thailand (72), Filipina (69) dan Vietnam (68)

Ini jauh di atas Singapura yang enam per 100.000 kelahiran hidup atau Malaysia yang 30 per 100.000 kelahiran hidup, bahkan dibandingkan negara relatif muda seperti Vietnam yang 95 per 100.000 kelahiran hidup

Singapura, Malaysia, dan Vietnam masing-masing berhasil menekan hingga tiga, delapan, dan 30 per 1.000 kelahiran hidup

Sistem pelayanan kesehatan ini akan dijelaskan secara terpisah.

Tidak ada komentar: